Sepulang sekolah, Nadia pergi ke sebuah kedai camilan kecil untuk bekerja part-time. Gadis yang akan berusia 18 tahun itu adalah gadis yang sangat mandiri. Seperti yang sudah di ketahui banyak orang, Nadia di perlakukan berbeda dengan adiknya.
Nadia harus bekerja untuk menabung, ia mengumpulkan sedikit demi sedikit uang nya untuk membeli keperluan yang ia butuhkan. Orangtuanya memang memberi Nadia uang saku, tetapi itu tidak cukup mengingat Nadia juga memerlukan hal lain untuk perlengkapan sekolah nya.
Gadis itu cukup bersyukur orangtuanya masih mau membiayai sekolahnya, jadi ia tidak ingin merepotkan mereka lagi dengan meminta keperluannya.
"Selamat datang di Cafe Berry. Anda mau pesan ap--" sambutan Nadia terhenti ketika melihat sosok lelaki tampan di depannya.
Rafa tersenyum melihat Nadia yang sedang memandangnya. "Kamu kerja part-time di sini?" tanyanya.
Nadia mengangguk, lalu menundukkan wajahnya.
"Ah, aku pesan lemon tea satu, sama macaron rasa green tea satu," ucap Rafa.
"Baiklah, totalnya Rp 36.000,-" sahut Nadia sambil tersenyum ramah.
Rafa pun membayar pesanan nya, kemudian duduk menunggu pesanannya. Jemarinya mulai memainkan ponselnya. Sementara Nadia menghela nafas sejenak sebelum mengantarkan pesanan yang sudah selesai ia siapkan untuk Rafa.
Gadis itu bergumam. "Kenapa harus ketemu sama dia sih?" Lalu berjalan perlahan mengantar minuman dan camilan pesanan Rafa.
"Ini pesanan kamu," ucap Nadia.
"Terimakasih, Nadia?" sahut Rafa.
"Kamu tahu namaku?" Nadia mengernyit heran karena ia merasa belum memperkenalkan diri pada Rafa.
Rafa mengangguk. "Yuna yang memberitahu aku," jawabnya jujur.
Nadia hanya ber-oh kecil. Dan hendak kembali ke stand-nya.
"Apa kamu masih lama kerja nya?" Rafa bertanya pada Nadia.
Gadis itu menoleh ke arah Rafa, kemudian mengangguk kecil. "Masih 2 jam lagi waktu ku pulang," jawabnya.
Rafa yang mendapat jawaban dari Nadia pun ber-oh kecil dan menganggukkan kepalanya.
"Kenapa?" tanya Nadia.
"Tidak, hanya bertanya saja." jawab Rafa, senyum itu merekah di wajah tampannya.
"Kenapa dia ganteng banget sih," batin Nadia.
Gadis itu cepat-cepat menggelengkan kepalanya agar tersadar dari pikiran nya yang mulai melantur. Ia kembali ke stand-nya dan tidak memperhatikan Rafa lagi. Jangan sampai ia berurusan dengan adiknya hanya karena kesalahan kecil yang ia buat itu.
***
Waktu terus berlalu. Rafa sudah tidak lagi berada di kedai itu. Jangan berpikir kalau Rafa menunggu Nadia hingga selesai bekerja ya. Itu tidak mungkin. Sebab Rafa juga sudah pasti memiliki kesibukan lain, terlebih ia juga belum sedekat itu untuk menunggu Nadia pulang bekerja.
Nadia berjalan menyusuri jalanan sepi yang sudah lumayan dekat dengan rumahnya. Beberapa langkah lagi, gadis itu sampai di depannya rumahnya. Namun, langkahnya terhenti melihat kedua orangtuanya dan adiknya baru turun dari mobil.
Mereka baru pulang sehabis jalan-jalan. Bersenang-senang tanpa Nadia. Memang Nadia siapa? Dia memang putri di rumah itu, tapi selama ini ia tak pernah merasakan kasih sayang dan juga perlakuan baik sebagai putri dari keluarga itu.
Nadia tetap bertahan di keluarga itu karena hanya mereka yang Nadia miliki. Gadis cantik berambut panjang itu sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi setelah ibu kandungnya meninggalkan dirinya. Jika bukan karena kasih sayang Nadia yang besar pada Bianca dan keluarganya, mungkin Nadia sudah dari lama memutuskan untuk pergi dari rumah itu.
"Ah, mereka pasti habis jalan-jalan lagi. Tenanglah Nadia, ini bukan kali pertama kamu ngelihat hal kayak gini kan?" monolognya.
Nadia tersenyum kecut dengan air mata yang sudah mulai menggenang di pelupuk matanya. Bohong jika Nadia mengatakan ia tidak masalah. Memangnya hati anak mana yang tidak sakit ketika ia tau dengan jelas bahwa di beda-beda kan oleh keluarganya sendiri.
"Jangan khawatir. Pasti akan ada saatnya kamu juga merasa bahagia seperti Aca. Jangan menyerah, kamu harus bertahan. Demi bunda.."
lanjut monolog gadis cantik itu.
Tanpa sadar, air matanya lolos begitu saja. Ia pun mengusap kasar air matanya. Menghembuskan nafas sejenak, lalu berjalan perlahan memasuki halaman rumahnya. Nadia harus tetap terlihat baik-baik saja meski sebenarnya ia sangat sesak menahan sakit dalam hatinya.
"Kamu baru pulang?" suara Arsa Wijaya -Papa Nadia- menghentikan langkah kecil gadis mungil itu.
"Iya, Pa..." sahut Nadia pelan.
"Buatkan Papa kopi dulu, baru kamu boleh istirahat!" pinta Arsa pada putri pertamanya.
"Baik, pa." Nadia mengangguk dan berjalan menuju dapur.
"Apa kamu suka sama baju nya?" tanya Irene pada Bianca putrinya.
"Suka sekali. Tapi, tadi kan aku mau beli yang lain, Ma..." sahut Bianca sedikit merengek.
"Iya, nanti kapan-kapan beli lagi. Kamu semuanya mau di beli, pilih yang di butuhkan dulu dong..." tutur Irene sambil mencubit gemas pipi putri kesayangannya itu.
"Ah, mama.." decak Bianca.
"Ya sudah, besok beli lagi sama Mama ya.." sahut Arsa.
"Ha?? Seriusan, Pa?" Bianca sangat antusias.
Arsa hanya mengangguk dan tersenyum.
"Terimakasih Papa. Papa yang terbaik," Bianca memeluk papanya dengan manja.
Nadia yang mendengar percakapan mereka, merasa sangat sesak. Ia benar-benar seperti tidak ada harganya, atau bahkan mereka hanya menganggap Nadia sebagai debu di antara mereka.
"Jika kehadiranku tidak di anggap, lalu kenapa aku harus di pertahankan sejauh ini? Harus sampai kapan aku menahannya? Apa aku bisa sekuat itu?" batin Nadia dengan segala rasa sesak dalam benaknya.
Sementara itu, Bianca beranjak ke dapur. Ia berniat untuk mengambilkan kopi Papa nya. Tentu saja hanya untuk mencari muka. Memang sejak kapan Bianca itu memiliki rasa perduli pada orang lain? Tidak pernah sekalipun.
Gadis itu melihat Nadia yang melamun di depan kompor.
"Lo tuli apa gimana sih? teko nya udah bunyi dadi tadi," ketus Bianca.
Nadia langsung tersadar dari lamunannya.
"Ah iya, maaf..." lirihnya.
"Ck, Lo tuh benar-benar nggak berguna tau nggak..." umpat Bianca kasar.
Gadis cantik berambut cokelat itu, mendekati kompor dan mematikan kompor tersebut, sambil sedikit mendorong Nadia menjauh.
"Biar gue aja yang bikin. Dasar lelet!" sarkas Bianca merebut paksa teko berisi air panas itu.
"Hati-hati, Ca. Itu pa--"
"AARRHHH!!!" Teriak Bianca kencang. Tangannya terciprat air panas dari teko yang di rebut paksa olehnya.
Arsa dan Irene langsung berlari melihat keributan apa yang terjadi di dapur.
"Ada ap-- . Astaga, Bianca. T-tangan mu kenapa sayang," Irene panik melihat tangan anaknya yang memerah.
"N-nadia, dia sengaja menuang air panas itu hingga terkena tangan ku, Ma.."
Fitnah. Itu adalah kata-kata fitnah yang di lontarkan oleh Bianca. Jelas-jelas dia sendiri yang merebut paksa teko panas itu. Bianca memang sungguh kejam pada saudaranya sendiri.
"A-aku ng-nggak- "
Plakkk!!!
"Berani banget kamu mencelakai putri ku?!" Irene menampar Nadia dengan keras.
"Bukan aku, Ma. Caca sendiri yang- "
"Diam!!" Arsa memotong perkataan Nadia cepat dengan nada tinggi.
"Kalau kamu iri sama adikmu, seharusnya bilang saja. Kamu nggak perlu sampe luka in dia seperti ini. Dimana akal sehat mu?!" Bentak Arsa.
"T-tapi benar, pa. Aku nggak laku in itu..." ucap Nadia parau. Gadis itu sudah menangis karena ucapan kasar orangtuanya.
Irene mengambil teko panas itu dan menarik tangan Nadia kasar. Gadis itu langsung histeris ketakutan.
"AARRGHHH... panas, ma... S-sakitt!!" rintih Nadia ketika tangan mulusnya dengan sengaja di siram air panas oleh Irene.
Kejam? Memang. Irene sangat kejam pada Nadia. Sekali Nadia berbuat salah, ia bahkan tak segan untuk memukuli gadis itu. Bahkan terkadang Nadia sampai pingsan karena di aniaya oleh mama tirinya sendiri.
"Kurang?? Atau kamu mau mama siram wajah cantikmu itu?!" ancam Irene.
Wanita cantik benar-benar hendak menyiram wajah Nadia dengan air panas di tangannya itu.
"Hentikan!!" cegah Arsa.
"Kenapa? Kamu nggak terima kalau bayangan wajah wanita itu hilang?" sarkas Irene dengan emosinya yang masih berada di puncak.
"Cukup. Dia sudah mendapatkan balasan yang sama. Jangan melampaui batasan mu, Irene..." Sahut Arsa.
Irene mendengus kasar. Wanita cantik itu menatap tajam Nadia yang meringis kesakitan, kemudian membawa Bianca pergi dari dapur.
Arsa melihat sekilas tangan Nadia. Terlihat sangat merah dan itu melepuh. Harus segera di obati secepatnya.
"Obati tangan mu, atau kamu akan kehilangan nya." Ucap Arsa dingin dan berlalu begitu saja.
Nadia menatap kepergian Papanya itu dengan perasaan tercabik-cabik. Bukan hanya tangannya yang sakit, namun batinnya lebih sakit. Bagaimana orangtuanya sama sekali tidak mau mendengarkan penjelasannya lebih dahulu, itu benar-benar membuatnya sangat sakit.
Gadis itu berjalan perlahan menuju kamarnya. Ia duduk di kursi depan meja belajarnya, dan mengambil kotak p3k dari lacinya. Mengeluarkan salep untuk mengobati tangannya.
Air mata Nadia terus jatuh tanpa bisa ia bendung. Meratapi kesedihan yang selalu menghampirinya setiap hari. Ia pun lupa kapan ia pernah tertawa lepas karena keluarganya. Di mata semua orang, keluarga Nadia masih lengkap. Tapi pada kenyataannya, Nadia seperti hidup sebatang kara yang selalu berteman sepi dan kesedihan.
"Bunda... Nadia rindu..."
Dan gadis cantik itu sudah tidak sanggup lagi menahan kesedihannya. Ia menangis tersedu-sedu hingga kedua matanya merah dan sedikit membengkak. Setidaknya, hanya itu yang bisa Nadia lakukan karena ia terlalu lemah untuk melawan atau menuntut keadilan.
..