"Tidak!" nada tegas Raja Lorcan menggema di telinga Indira. Saat ini Indira hendak meminta izin untuk berkunjung ke desa Astor. Namun ia harus mendengar jawaban yang tidak enak dari sang Ayah.
"Ayah izinkan aku ke sana. Kau tau kita diserang lagi!" ujar Indira mantap, ia merasa harus kesana mencari informasi lanjut. Raja tidak menjawab, hanya fokus menulis laporan dengan pena bulu ayam. Indira yang merasa diabaikan segera mendekati ayahnya, jika hanya mereka berdua Indira akan memanggil ayah, layaknya hubungan ayah dan anak gadisnya.
"Ayah kumohon, kenapa kau tidak memberiku izin?" tanya Indira tidak sabar dengan nada sedikit mengiba. Raja Lorcan mengehentikan kegiatanya kemudian memandang putrinya tajam. "Jangan bertindak sesuka hatimu, aku sudah mengutus Panglima Hunter menuju kesana dan sudah kupastikan mereka aman,dan tugasmu hanya fokus belajar menjadi Putri yang selayaknya. Besok kita harus bersiap menggelar acara." Jelas Raja Lorcan panjang dengan nada yang tidak ingin dibantah.
Lagi -lagi tentang menjadi putri yang layak, jawaban yang Indira kurang sukai. Baginya menjadi seorang putri tidak hanya sebatas memamerkan kecantikan atau gaun gaun indah saja, mereka juga harus tau keadaan rakyatnya. Itulah alasan Indira tidak begitu akrab dengan putri bangsawan lainya.
"Ay-" ucapan Indira terputus ketika Raja mengangkat tanganya, menandakan bahwa keputusan Raja tidak bisa dibantah dan pembicaraan sudah selesai. Karena kesal tidak mendapat izin, Indira segera keluar dari ruangan Raja. Lebih baik mengalah, daripada harus membantah dan berakhir dengan tidak enak.
"Uhh, kenapa ayah selalu seperti itu!" sungut Indira kemudian ia segera mencari Liara ke kandang kuda. Indira berlari kecil ke belakang istana, para prajurit berjaga di setiap sudut pintu istana lengkap dengan baju zirah mereka, sejak serangan Castaro penjagaan semakin ketat.
"Putri kuda sudah siap-" ucapan Liara terpotong ketika Indira mengangkat tangan.
"Kita tunda hari ini Liara, besok setelah acara selesai kita akan ke sana." Tukas Indira cepat kemudian ia pergi kembali ke kamarnya.
Indira menutup pintu kamarnya kasar, karena kesal dengan ayahnya yang tidak mengijinkan pergi ke Desa Astor. Rahangnya mengeras, hingga ia juga tidak sadar bahwa kedua tanganya mengepal erat.
Indira kembali berganti gaun tidurnya, tak lupa menyimpan baju zirahnya di lemari khusus.
Demi meredakan rasa kesalnya, ia segera naik ke tempat tidur dan mencoba untuk tidur saja agar rasa kesal ini hilang setelah bangun.
----
Matahari mulai menyebarkan rasa hangat,beriringan dengan angin yang bertiup hingga rasa nyaman menjalar disetiap inci tubuh. Seperti Indira yang bisa merasakan kehangatan ditidurnya, hingga suara pintu terbuka yang menandakan bahwa Liara akan masuk untuk membangunkan sang Putri.
"Putri, sudah waktunya bangun,"ujar Liara dengan membawa teh hangat dan kue sabit, salah satu ritual Indira ketika bangun pagi ia hanya sarapan dengan hidangan tersebut. Teh hijau dan kue sabit adalah menu wajib pada pagi hari. Indira mengeliat, kemudian beranjak dari tempt tidur, setelah itu duduk di kursi baca yang terletak di dekat jendela.
Kulit sepucat gerhana Indira bersinar ketika sinar matahari menyorot melalui jendela. Manik sebiru samudra memandang keindahan di luar jendela.
"Liara, aku ingin setelah perayaan nanti kita harus menyelidiki batu badai itu," tiba-tiba saja Indira membahas tentang batu abadi itu, setelah mengigit kue sabitnya.
Liara menatap Indira tidak yakin."Baik Putri, tapi darimana sebaiknya kita menyelidiki batu tersebut. Hampir semua orang sudah tidak memperhatikan tentang batu tersebut," sambung Liara yang berdiri di samping Indira yang sedang duduk menghadap jendela.
Mendengar pertanyaan Liara, Indira tampak berpikir sejenak. "Aku menemukan buku tentang batu itu, ternyata Ayahku menyimpanya di perpustakaan. Mungkin aku bisa menemukan petunjuk di buku itu." Indira mengaduk tehnya, kemudian menyesapnya dengan pelan dan menikmati teh hangat yang menjadi kesukaanya. Liara berjalan menuju lemari Indira, kemudian menyiapkan seragam yang akan dipakai untuk Parade Kerajaan nanti.
"Itu kita pikirkan nanti Putri, sekarang kita harus bersiap siap. Sebelum anda kena marah lagi," balas Liara sambil tersenyum. Indira hanya mendesah mendengar respon datar Liara, setelah itu bergegas untuk mandi.
Seragam Indira sejenis, coat biru tua yang panjangnya mencapai pantat dan dihiasi enam kancing emas serta saku dikanan dan kiri, Tidak lupa celana panjang katun yang melekat pada pinggulnya setelah itu ia menyarungkan pedang shamsirnya (sepanjang 92cm) di kantong khusus. Indira selalu mengepang rambut merahnya ke samping. Indira paling menyukai seragam ini, karena ia tidak dipaksa memakai gaun. Karena gaun hanya digunakan ketika ada Kerajaan yang mengadakan pesta, seperti pesta topeng atau pesta dansa.
Setelah berkaca dan memastikan semua rapi Indira keluar dari kamarnya, dan bersiap menyambut Parade Kerajaan dengan semangat.
----
Para prajurit istana begitu sibuk menyiapkan perayaan ini, terlihat sang Ratu yang terlihat cantik memakai gaun biru langit panjang yang menjuntai kebawah, dengan dihiasi mahkota di atas kepala membuat Ratu terlihat semakin menawan.
"Selamat pagi Ratuku," sapa Indira dengan setengah menunduk. Ratu tersenyum cantik, memandang Putrinya. "Sayangku, kau sungguh menawan dengan seragam itu," pujinya kemudian mengamit lengan Putrinya. Setelah itu Mereka berjalan menuju lorong depan dan bersiap untuk naik kereta kuda.
"Tentu saja ibu, aku selalu menawan sepertimu," ujar Indira bangga, kemudian mencium pipi sang Ratu. Ratu tersenyum melihat Indira sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan pemberani. Karena sejak kecil, Indira memang gadis yang tomboy, suka dengan tantangan dan suka mencari tahu sesuatu hal yang tidak ia ketahui.
Ratu mengusap wajah putrinya lembut. "Kau akan lebih menawan jika men-"
"Aaa,aa aku tau arah pembicaraan ibu. Astaga pernikahan bukan hal yang utama bu. Bisakah kita tidak membicarakanya?" potong Indira cepat dengan menutup kedua telinganya. Kenyataanya Ratu akan mendesak Indira secara halus untuk menikah, namun Indira selalu mengindari pembahasan itu. Mengingat usia Indira yang sudah beranjak 19 tahun. Namun untuk urusan pernikahan adalah hal terakhir yang akan Indira pikirkan.
Ratu menghela napas sabar. "Kau ini selalu saja menghindar. Apa kau tidak mau dijodohkan dengan pangeran dari kerajaan sebrang. Mereka begitu Tampan dan gagah," ucap Ratu bersemangat. Liara yang sedari tadi mengkawal mereka berdua tanpa sengaja menarik sudut bibirnya.
"Demi Dewa, ibuku yang cantik. Tujuanku sekarang adalah aku harus banyak belajar dan pengalaman." Tandas Indira yang sudah menyerah berdebat dengan Ratu. Sedangkan Ratu hanya berdecak, melihat putrinya yaang begitu keras kepala.
"Ratu dan Putri Indira, kalian sudah ditunggu Raja. Mari" ucapan sorang prajurit mengakhiri perdebatan kecil mereka.
Anggota Kerajaan berkumpul di depan halaman Istana, kereta kuda yang panjang dikawal dari beberapa sudut sudah siap menjalankan tugas. Raja Lorcan tampak begitu gagah memakai baju Kebesaranya jubah biru gelap dengan lambang Varka yang bertengger di jubah Raja, tubuh tegapnya masih terlihat jelas di dalam balutan seragam.
"Wah kau sangat menawan Elsie." puji Indira melihat penampilan Elsie begitu cantik bagai bunga di musim semi, bahkan Elsie lebih pantas berperan sebagai Putri daripada dia sendiri. Dengan gaun sampai lutut berwarna putih tulang dan sedikit memamerkan kedua bahu mulusnya. Tatanan Rambut hitamnya yang di gulung dengan rapi hingga Elsie terlihat begitu menawan. "Jangan bercanda Putri Indira, kau yang terbaik hari ini," balasnya merasa tidak enak dengan Indira karena pujian itu sangat berlebihan. Indira bisa melihat pipi merah sepupunya itu bersemu seperti apel.
Kemudian mereka semua menaiki kereta kuda. Sang Raja dan Ratu berdiri didepan kereta , tampak sang Ratu mengamit lengan Raja Lorgan dengan mesra.
Kereta berjalan keluar dari gerbang istana, saat ini cuaca di Varka begitu cerah dan hangat. Situasi yang sangat mendukung, dan Indira bersyukur bahwa mereka bisa menjalankan parade Kerajaan dengan tenang, mengingat Varka sudah berganti musim dari musim penghujan menuju musim semi.
Dengan pelan mereka berjalan dengan diiringi pengawal dari sudut kanan kiri baik bagian depan dan belakang dengan menaiki kuda masing masing. Parade Kerajaan adalah salah satu kegiatan yang disukai Indira, karena ia bisa melihat keadaan rakyatnya dari dekat.
"Hidup Raja Lorcan, kami mencintaimu"
"Hidup Raja Lorcan, diberkati dengan segala kebaikanya"
Suara sorak sorai rakyat Varka menggema di sepanjang kereta berjalan. Kereta Kerajaan menyurusiri jalanan, Varka terkenal dengan desa penghijau. Pemandangan di Varka begitu indah, penduduk Varka menyambut Raja mereka dengan hormat. Sepanjang jalan Raja dan Ratu melambaikan tangan mereka, rakyat masih bersorak sorai.
Indira tersenyum manis melihat penduduk Varka antusias menyambut mereka, ini pertama kalinya di umurnya yang ke delapan belas melihat langsung rakyatnya. Kerajaan Varka dihuni penduduk yang memiliki keramahan yang tinggi. Siapapun akan mereka layani termasuk orang asing yang masuk ke Kerajaan tersebut.
"Wah rupanya kau sudah tampak terlihat anggun Indira," puji Elsie yang mendekati Indira, sedangkan Indira mendengkus namun tetap menampakan senyum manisnya. "Apa kau sedang meledeku, sepupu. Kau bahkan yang terlihat seperti Putri Varka dibanding aku."
Elsie mengerucutkan bibir. "Ah jangan seperti itu Putri, kau selalu saja merendahkan diri," jawab Elsie yang merasa tak enak atas tanggapan Indira. Sedangkan Indira tersenyum hanya mengangkat bahu.
Parade Kerajaan berlangsung lancar, suara sorakan para rakyat mereka membuat acara semakin meriah. Semua anggota Kerajaan tidak ada hentinya tersenyum, melihat rakyatnya bergembira bersama. Hingga suara kuda merintih tiba -tiba menggema di persimpangan jalan Desa Roll , dan ternyata salah satu kuda di kereta Raja tersungkur karena tertancap anak panah.
Semua anggota Kerajaan Panik setelah kereta kuda mereka setengah roboh, "Ada apa ini Ehren!!" Tanya Raja Lorcan cemas. Belum sempat Ehren menjawab, sebuah anak panah tertancap lagi di kuda mereka. Kereta kerajaan sudah setengah ambruk "Astaga, apa yang terjadi Yang Mulia?" suara Ratu yang bergetar dan panik. Mereka semua berhasil keluar dari kereta kuda, namun rasa panik melanda karena kuda mereka sudah tersungkur tidak berdaya. Hanya rintihan kesakitan dari kuda kuda tersebut.
Rakyat Varka berteriak ketakutan mereka berlari tak tentu arah, kekacauan ini datang tiba- tiba begitu saja. "Castaro menyerang secara diam diam Yang Mulia," ucap Ehren yang melihat keadaan sekitar, meskipun kereta kuda masih berjalan walau tertatih.
"Suruh prajurit berlari ke arah depan, Lindungi Keluarga Kerajaan!!" teriak Panglima Hunter yang sudah mengambil pedang scimnya dari kantong seragam. Setelah itu Hunter menyusul kereta Kerajaan."Yang Mulia sepertinya Castaro melancarkan serangan mendadak. Anda tidak perlu khawatir saya sudah menyiapkan satu kereta untuk menjemput anda," jelas Panglima Hunter sambil berpacu dengan kudanya.
Indira berlari menghampiri Liara dengan cemas."Ada apa sebenarnya Liara?" desak Indira, karena bingung melihat situasi yang kacau ini.
"Putri! sepertinya Castaro menyerang diam –diam,"kata Liara mengamati keadaan sekitar.
"Apa? aku tidak habis pikir. Mereka sangat pengecut dengan menyerang kita sepeti ini." Indira menatap dengan marah, kemudian mata birunya mengedarkan keseluruh penjuru Varka, dan ia melihat seorang yang mencurigakan mengenakan jubah hitam menaiki kuda di sela para rakyat yang kelewat panik, tanpa berpikir panjang Indira loncat dari kereta dan menaiki salah satu kuda dari salah satu pengawalnya
"Putri anda m-" salah satu prajurit terkejut, karena tiba tiba melihat sang Putri merebut kudanya.
"Aku harus melakukan sesuatu!" tandasnya kemudian Indira menaiki kuda dan berpacu cepat. Teriakan prajurit dan lainya Indira abaikan, karena ia harus memastikan sesuatu yang sudah membuatnya penasaran. Kekacauan ini tidak bisa dibiarkan.
****
Indira memacu kudanya begitu kencang, manik birunya menangkap sosok yang mencurigakan di tengah kekacauan. Indira menyelip di jalan sempit, melewati kios kios pedagang sehingga membuat sebagian orang terkejut melihat dirinya.
"Heii tunggu!!!" seru Indira kepada sosok tersebut yang sepertinya memasuki kawasan hutan.
Indira semakin berpacu lebih cepat, sehingga tanpa disadari dirinya memasuki sebuah hutan rimbun. Hutan Sombrio(rindang), hutan yang terletak di dekat desa Astor. Hutan tersebut sangat sunyi namun udara di hutan Sombrio anehnya terasa sejuk dan membuat damai. Pohon- pohon pinus yang menjulang tinggi, beberapa bunga liar yang tumbuh di sepanjang hutan membuat Sombrio terasa sangat nyaman.
"Aneh bukanya tadi orang itu masuk ke hutan ini," guman Indira seraya mengamati sekeliling hutan, dengan hati- hati ia turun dari kuda, mengikat kudanya di salah satu pohon. Indira melihat kanan dan kiri, lalu terdengar suara ranting patah membuat Indira semakin waspada terhadap sekitar. Udara yang semakin lama terasa dingin, begitu sunyi, hanya ada suara burung kicuit dan daun yang jatuh.
Srrrraakkkkkk.....sraaakkkkk
Tiba- tiba saja terdengar suara di antara pohon pinus, seperti ada sesuatu yang bergerak disana hanya saja tertutup rumput tinggi. Dengan sigap Indira berbalik. "Siapa disana!" teriaknya, dengan nada bergetar. Indira sudah mengeluarkan Shamsir untuk berjaga jaga.
Brak...suara sepatu boots seseorang menapak tanah.
Seorang yang tiba- tiba saja muncul diantara pohon pinus dan rumput-rumput tinggi , Indira terkejut melihat sosok tersebut. Ternyata seorang pria memakai jubah hitam dengan tudungnya yang menutupi kepala, Indira tidak bisa melihat seluruh wajahnya, karena pria tersebut menutup sebagian wajahnya dengan cadar hitam. Tangan besarnya yang terlapisi dengan sarung tangan hitam, membuat pria itu terlihat begitu misterius.
Indira hanya bisa melihat sepasang mata pria tersebut. Pria tersebut berbadan tegap dan kekar, memiliki tinggi kira kira 190 cm lebih. Indira berpikir jika pria tersebut adalah seorang petarung, melihat dari penampilan dan bentuk tubuhnya yang sepertinya memiliki otot sekuat baja walaupun tertutup oleh pakaiannya.
"Siapa kau?" tukas Indira lantang, menatap tajam pria itu. Namun tidak ada jawaban, melainkan pria itu maju dengan perlahan mendekati Indira.
Sedangkan Indira yang merasa terancam mundur perlahan dengan mencondongkan pedang Shamirnya ke arah pria tersebut. Tanpa pertimbangan lagi Indira menyerang pria tersebut, mengayunkan pedangnya. Namun dengan sigap pria tersebut menangkis shamshir tersebut dengan pedang Saber yang ia keluarkan dari balik punggung pria tersebut. Pedang Sober merupakan jenis pedang tajam yang memiliki panjang 82 cm dengan bilah yang ramping dan panjang namun melengkung di bagian single edgednya, meskipun shamshir Indira lebih panjang dari Sober namun pedang tersebut mampu memenggal kepala orang hanya dengan hitungan detik.
Sial!! darimana dia mendapatkan pedang itu geram Indira dalam hati, pasalnya Sober adalah pedang yang sangat langka dan hanya orang-orang tertentu di dunia ini yang dapat memiliki Sober. Indira bisa menyimpulkan bahwa pria ini bukan sembarang orang.
Dengan lincah pria itu menganyunkan sobernya ke arah Indira, sehingga membuat Shamsir Indira terpental jauh. Pria itu langsung menubruk tubuh Indira gesit, sehingga mereka berdua jatuh ke tanah. Dan sekarang posisi pria itu berada di atas tubuh Indira, demi neraka jahanam Indira merasakan tubuhnya bergeleyar panas, karena pertama kalinya mendapat posisi yang begitu intim dan bahaya seperti ini. Pria misterius ini memiliki aroma cengkeh bercampur hutan yang menusuk indra penciuman Indira.
"Lepasskan aku brengsek!" bentak Indira berusaha meronta keras, namun pria itu berhasil mengunci tubuh Indira dengan merentangkan kedua tangan Indira di atas kepala Indira lalu mencengkeramnya.
Indira menatap mata pria itu, warna matanya sehijau permata zambrut, indah namun ada hawa dingin dan kegelapan ketika menatap mata itu. Lama mereka saling menatap, membuat Indira semakin bergetar, namun ia sebisa mungkin menyembunyikan rasa takutnya.
"Rupanya putri Kecil ini sangat pemberani ya." Pria itu akhirnya berbicara dengan tenang dan terselip nada mengejek, suaranya begitu berat dan lembut, namun tersirat ada sesuatu yang berbahaya di setiap ucapannya. Pria itu mendekatkan wajahnya ke Indira, hanya berjarak beberapa inci sehingga membuat Indira menahan napasnya. "Aroma Lavender, aku menyukai itu," ucap pria itu masih menatap gelap Indira.
"Apa maksudmu!dan siapa kau!" desis Indira yang semakin geram dengan tindakan pria ini, Indira bisa meraskan bahwa tubuh pria ini begitu keras dan sangat kuat. Pria itu tidak menjawab, salah satu tangan pria itu menyentuh bibir Indira, setelah itu menarik rambut Indira hingga kepangan Indira terlepas. Kemudian tangan pria itu menyugar rambut merah Indira. Indira
"Ap-"
Tasss.....pria itu menebas beberapa senti rambut Indira dengan Sobernya, begitu cepat tanpa ada keraguan.
"Apa yang kau lakukan. dasar sintghhhhhhhhhhhgmmmmmmpp-" mulut Indira dibekap oleh pria itu. Indira semakin merasakan kengerian pria ini, manik hijaunya semakin liar dan membara.
"Putri Kecil, kau sudah menarik perhatianku. Bermain sedikit denganmu tak masalah." Pria itu berbicara dengan nada tenang. Posisi pria itu masih sama, masih berada di atas tubuh Indira, sehingga membuat seluruh tubuhnya merasa kebas, sial harusnya Indira juga belajar bela diri. Memanah dan Anggar saja tidak cukup.
"Hooi As, kita harus pergi sekarang!"suara teriakan seseorang muncul dari arah Hutan,seorang pria berbadan kekar memiliki rambut pirang dan jangut tipis. Membuat pria itu menghentikan aksinya.
Pria itu terpaksa menghentikan aksinya, mata hijaunya berkilat bahaya melihat Indira "Kita pasti akan bertemu lagi putri Kecil"bisik pria itu dingin, tangan satunya mengelus pipi halus Indira dengan lembut. Kemudian pria yang dipanggil As itu bangkit, lalu menaiki kuda milik Indira memacu kuda tersebut dengan cepat. Indira masih dengan posisi yang sama, dan tiba-tiba saja merasakan ia pusing yang hebat, lututnya terasa lemas dan kebas, susah payah ia berusaha untuk berdiri. Tangan kananya memijit pelipis karena rasa pusing yang tidak segera reda. "Dasar pria brengsekk!,dia sudah mencuri kudaku," geram Indira lemah karena baru menyadari kudanya sudah dibawa lari. Ia tertatih -tatih berjalan menuju desa Astor mencari bantuan.
"Putri Indira!" Seru Panglima Hunter dan Liara bersamaan. Mereka baru saja masuk ke wilayah hutan Sombrio. Liara dengan sigap turun dari kuda dan berlari menuju Indira. "Anda darimana saja? Anda membuat seisi kerjaaan panik!"cerocos Liara dengan nada cemas.
"Kau cerewet sekali, sekarang bawa aku pulang," jawab Indira lemah, ia sudah tidak tahan lagi dengan rasa pusingnya. Dan yang ia ingin lakukan adalah segera beristirahat.
"Liara, jangan banyak bicara! Cepat kau bawa putri ke istana!" perintah Hunter dengan nada sedikit tinggi. Setelah itu Liara memapah Indira menuju kuda, dan Hunter membantu Indira menaiki kuda dengan mengendongnya. Kemudian baru Liara naik, dengan Indira di belakangnya. "Hati-hati di jalan Liara, jaga Putri. Aku harus menyelidiki sesuatu,"lanjut Hunter kemudian ia menaiki kudanya, dan masuk lagi ke dalam hutan disusul prajurit kerajaan Varka lainya.
Panglima Hunter meninjau hutan Sembrio lagi, menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi hari ini. Mata elangnya mengamati keadaan sekitar hutan. "Semuanya! Periksa hutan ini dengan cermat!" perintah Hunter kepada para prajurit sambil merentangkan tangan. Ketika menyusuri hutan dengan jalan kaki, tak sengaja Hunter menginjak sebuah benda tajam. "Hmm, bukankah ini shamsir Putri?" gumam Hunter kemudian ia mengambil Shamsir tersebut. Sepertinya Putri habis bertarung, namun dengan siapa? Hunter sibuk dengan pemikiranya sendiri. Ia akan menyelidiki kasus ini lebih lanjut, walaupun tahu kemungkinan besar ini ulah Castaro.
----
Visual-Instagram: penikmatkopi_fiksi