Lita berjalan ke arah toilet untuk membersihkan tangan yang tadi disentuh Harry. Jijik, ia merasa sangat jijik. Hingga ia membasuh tangannya berkali-kali dengan sabun.
Lita menatap refleksinya di kaca. Penampilannya semakin kacau, mata dan hidungnya merah, dibawah matanya hitam sisa maskara acara semalam, ditambah keadaan hati ya yang kacau. Bukankah ini hari yang sempurna?
Lita hendak merogoh sakunya saat merasakan telepon genggamnya bergetar beberapa kali, sepertinya bukan panggilan, mungkin beberapa pesan di grup kantor . Ia menghela napas berat, lalu meraih tisu untuk mengeringkan wajah dan tangannya. Sekali lagi ia menatap refleksinya lalu menepuk-nepuk pipinya dengan tanganya cukup nyaring.
"Stop nangis Lita, yuk yang kuat yuk. Lo tuh kuat Lit, Lo berharga, Lo enggak pantes nangisin cowok brengsek kaya Harry." Lita terdiam menatap wajahnya lalu teringat ucapan Elanda dan bagaimana semalam Elanda menepuk-nepuk kepalanya saat ia menangis.
Lita kembali menarik napas, kali ini napas panjang untuk memenuhi rongga parunya. berharap itu dapat melapangkan dadanya yang sesak. Semuanya akan segera membaik. Ia harus optimis.
Lita terkejut saat telepon genggamnya kali ini bergetar dengan sangat lama dan nyaring. Sepertinya ini adalah panggilan telepon. Lita segera merogoh sakunya seraya menarik pintu toilet untuk pergi keluar. Sinyal di toilet sangat buruk ia pasti akan kesulitan mengangkat telepon ini.
"Masih hidup ternyata."
Lita yang keluar dari toilet nyaris meloncat dan melempar telepon genggamnya saat mendengar suara dan siluet seseorang dari samping toilet.
"Saya kira kamu bakal loncat dari gedung."
Lita terdiam masih dengan rasa keterkejutannya karena di sergap di pintu toilet. Namun keterkejutannya tidak bertahan lama, kini ia malah jadi merasa kesal karena terkejut, dan kesal dengan ucapan orang yang menyergapnya ini.
"Jadi Bapak maunya saya meninggal?" Lita bertanya sinis saat melihat bahwa ternyata Elanda lah yang menyergapnya dan memberi pertanyaan menjengkelkan itu.
"Saya perhatian lho sebagai atasan."
"Jadi Bapak khawatir sama saya?" Tanya Lita menebak.
"Iyalah. Coba kalau kamu ternyata benaran loncat. Operasional kerja akan terhambat, kematian kamu masuk berita, saya bakal repot di wawancara, kantor bakal diliburkan dan yang paling merepotkan, mungkin kantor harus ditutup untuk kepentingan penyelidikan TKP. Coba kamu bayangkan proses itu akan makan berapa hari? Pasti berminggu-minggu. Dan saat berminggu-minggu kantor enggak beroperasi, kamu tahu apa yang terjadi?" Elanda mendekatkan wajahnya pada Lita membuat Lita sedikit mundur karena terdesak.
"Bapak rugi?"
"Sangat rugi. Bagaimana jika nilai saham perusahaan ini jadi turun? Bagaimana jika calon investor jadi ragu berinvestasi di sini? Dan berapa uang yang akan menghilang karena pelayanan yang terhambat prosesnya hanya karena pemikiran egois seseorang yang mau bunuh diri." Elanda tidak menyebutkan nama Lita, namun Lita berpikir bahwa yang Elanda maksud adalah dirinya.
"Saya enggak kepikiran buat bunuh diri, Pak. Bapak terlalu overthinking."
"Ya gimana saya enggak berpikir sampai situ? Kamu enggak balik lagi ke meja kamu setelah nemuin Harry, kamu juga enggak kunjung buka hape kamu."
"Saya butuh waktu buat sendiri sebentar, Pak."
"Buat nangis? Buat meratapi nasib? Bukannya kamu bilang semalam, kalau kamu enggak mau nangisin cowok seperti itu?"
"Psstt! Jangan ngomongin itu di sini Pak! Nanti kalau tiba-tiba orangnya lewat atau ada yang dengar gimana?" Ujar Lita menutup bibir Elanda dengan satu jarinya.
"Iya Pak saya inget kok, tapi praktek itu enggak semudah pas kita ngomonginnya Pak.
"Harry lagi saya suruh temuin HRD, saya kan udah bilang kamu harusnya ke kantor saya. Inilah kenapa tadi saya juga nawarin kamu buat izin aja. Kamu jadi enggak profesional di kantor kan?"
"Saya minta maaf, Pak. Saya bakal ke ruangan Bapak sambil bawa proposalnya."
"Dengan keadaan kacau seperti itu? Kamu barusan di toilet, perhatiin wajah kamu enggak?" Tanya Elanda.
"Perhatiin, Pak."
"Coba kamu bayangkan apa yang akan dipikirkan karyawan lain."
"Terus saya mesti gimana, Pak?"
"Lho, kok kamu malah tanya sama saya? Udahlah, kamu pulang, nanti saya info HRD."
"Saya enggak mau pulang, Pak." Jawab Lita jujur.
"Kamu jangan keras kepala, Lita. Percuma keadaan kamu di kantor juga kacau. Saya ngerti kamu sedang patah hati. Tapi saat di kantor kamu harus profesional."
"Saya minta maaf, Pak. Tapi saya enggak tahu harus bereaksi apa pas ketemu Mama saya kalau saya pulang. Saya kecewa, marah, tapi bagaimanapun dia Mama saya. Saya enggak tahu mesti gimana, saya cuma pengen meledak aja. Makannya saya pikir sebaiknya saya kerja biar lupa. Tapi di kantor saya juga malah kayak gini."
Elanda menatap Lita bingung lalu menarik napas panjang. Ia tidak seharusnya coba ikut campur urusan pribadi karyawan. Bodohnya ia malah ikut campur dan saat sudah seperti ini, ia tidak bisa berpura-pura bahwa ia tidak melihat kekacauan Lita. Ia tidak bisa mengabaikan wajah sedih Lita.
"Apa kamu perlu saya panggilan Dirga buat dandanin kamu lagi? Jadi kamu enggak bakal nangis karena enggak mau dandanan mahal kamu luntur?" Tawar Elanda. Tapi ia sudah membayangkan jika Dirga pasti menolak. Apalagi Dirga tidak memiliki hubungan dengan Lita.
"Enggak perlu Pak, saya cuma butuh waktu buat tenangin diri dulu. Saya izin untuk tetap di kantor. Kalau saya tidak profesional, Bapak boleh menganggap bahwa saya izin, atau potong cuti saya, atau apa pun. Tapi saya mohon izinin saya buat kerja atau ngerjain sesuatu. Asal saya enggak pulang." Lita memohon dengan nada memelas yang membuat Elanda semakin bingung dengan apa yang harus ia lakukan.
Elanda menarik tangan Lita, Lita terperangah. Namun ia rasanya tak memiliki tenaga untuk melawan atau bahkan hanya sekedar bertanya kemana Elanda akan membawanya.
Setelah melewati lorong, kini mereka berjalan melewati deretan meja karyawan. Para karyawan menatap kaget dan penasaran pada keadaan Lita yang diseret Elanda menuju ruangan kantornya.
Saat Lita dan Elanda menghilang dibalik pintu kantor, keadaan kantor divisi Lita yang paling dekat dengan kantor Elanda riuh dengan bisikan. Semua berbisik tentang apa yang terjadi dan kemungkinan kenapa Lita dibawa ke kantor.
Elanda menurunkan roller blinds yang jarang ia turunkan agar bisa memantau kinerja karyawannya.
Tantri melirik meja Lita dan ruang kantor Elanda bergantian. Ia begitu penasaran apa yang terjadi pada Lita juniornya di kantor Elanda.
Tantri mendapat jawaban saat Pak Ardi, kepala divisinya memberi kabar di grup bahwa Lita ketahuan oleh Pak Elanda melanggar kebijakan perusahaan yang melarang adanya hubungan spesial diantara para karyawan.
Tantri meneguk ludah kasar. Ia dulu pernah ia peringatkan ini pada Lita. Dan mengingat sifat Lita yang agak keras kepala, mungkinkah Lita berdebat dan membuat Pak Elanda marah hingga Pak Elanda menariknya ke kantor dengan kasar seperti itu?
Tantri menghela napas. Ia hanya bisa berdoa semoga saja juniornya itu tidak dipecat dan hanya mendapat teguran.