"Kamu udah enggak sedih lagi?"
Iris Lita membola. Lagi-lagi ia hampir lupa bahwa beberapa waktu lalu ia baru saja menangis. Kini jejak air mata mulai menghilang selain kantung matanya yang masih sedikit bengkak.
"U-udah, Pak." Jawab Lita sedikit malu mengingat saat ia menangis lalu mengingat bagaimana Elanda menariknya ke ruangan ini dan memberinya sentuhan yang membuatnya hampir kehilangan akal sehat.
"Wajah kamu, panas."
Lita terkejut saat Elanda menyentuh dahinya dengan telapak tangan, lalu ia menyodorkan segelas air hangat.
"Kamu pasti dehidrasi karena banyak nangis." Elanda menarik kursi lain di hadapan Lita. Dengan lembut ia menarik kursi Lita ke arahnya, memangkas jarak di antara mereka hingga lutut mereka bertabrakan.
"S-saya bisa kancingin sendiri, Pak." Ujar Lita saat Elanda meraih kemeja Lita untuk mengancingkan nya.
"Enggak papa, kan tadi saya yang buka." Ujar Elanda membuat wajah Lita seketika memanas. Lita dengan cepat mengangkat tangan dan mengarahkannya pada kemeja Elanda.
"Kalau gitu, saya kancingin punya Bapak." Ujar Lita canggung. Elanda hanya tersenyum simpul.
"Kita jadi kayak suami istri." Celetuk Elanda yang membuat Lita tertunduk tidak bisa berkata apa-apa. Perasaanya jadi begitu campur aduk. Jantungnya bertalu tak karuan, tangannya bergetar, sementara wajahnya terasa panas hingga ia takut Elanda menyadari kecanggungan Lita. Meskipun sebenarnya, Elanda memang sudah sadar, sih.
"Kamu kok jadi canggung gitu Lit?" Tanya Elanda yang membuat Lita seketika mundur menjauh.
"G-gimana enggak canggung? Bapak nyebut kayak suami istri, ya saya canggung lah! Bapak selalu kayak gini sama semua cewek ya? Ya iyalah cewek-cewek jadi baper, terus Bapak malah nyalahin orang yang menurut Bapak mudah baper, padahal itu salah Bapak yang tebar-tebar pesona!"
"Enggak kok, saya cuma sama kamu lho seperti ini. Memangnya kamu pernah lihat ada yang saya bawa ke kantor saya, terus saya kunciin berdua saja sama saya?" Tanya Elanda yang membuat Lita jadi berpikir dan membuat suatu perasaan asing merayap di dalam hatinya.
"T-terus kenapa Bapak cuma baikin saya? Jangan-jangan, Bapak lagi, yang suka sama saya!" Tuding Lita yang membuat Elanda terbahak.
"Kalau saya bilang suka, memangnya kamu mau langsung putusin Harry?" Tanya Elanda yang seketika membuat Lita mematung.
"Enggaklah, Pak! Saya tetap bakal balas dendam. Saya bakal lakuin hal apa pun supaya dia dapat karma. Apalagi dia selingkuh sama Mama saya sendiri!"
"Nah itu yang buat saya memilih kamu. Pertama, kamu meskipun blak-blakan dan tukang julid, tapi kamu apa adanya, kamu enggak munafik. Kedua, kamu enggak ribet dengan sikap tarik ulur, kode-kodean khas wanita. Ketiga, karena saya tahu kamu enggak akan berpaling dari Harry kamu enggak akan memaksa saya buat jadian sama kamu kan?" Tanya Elanda yang membuat Lita mengerutkan alis bingung.
"Jadi, Bapak intinya manfaatkan saya buat jadi selingan Bapak?" Tanya Lita yang membuat Elanda terdiam. Lita memang selalu menuju point.
"Jujur, saya memang berpikir seperti itu. Setelah kejadian semalam, saya mengakui kalau saya kecanduan tubuh kamu. Kalau kamu enggak percaya, kamu bisa cek, junior saya masih bangun lho ini." Elanda menunjuk celananya yang menggembung samar membuat wajah Lita lagi-lagi memanas.
"Dan karena kamu udah bertanya sampai sini, saya bakal jujur dan langsung ke intinya. Saya mau kamu jadi partner ranjang saya." Lanjut Elanda.
"M-maaf Pak?" Tanya Lita memastikan ia tidak salah mendengar.
"Saya mau kamu jadi partner ranjang saya. Saya enggak bisa sebut kamu pacar karena pertama, saya yang membuat peraturan dilarang ada hubungan asmara di area perusahaan, kedua kamu masih berstatus tunangan Harry dan belum mau putus, kan? Tapi tubuh saya merespon tubuh kamu. Tubuh saya menginginkan tubuh kamu." Jelas Elanda yang membuat rahang Lita menganga sementara otaknya blank tak bisa berpikir.
"E-ehh?!"
"Kok eh?"
"Ini namanya kaget Pak! Bapak enggak pernah lihat orang kaget ya?!" Pekik Lita lalu mengipas-ngipas tangannya di depan wajahnya. Wajahnya sedari tadi terus memanas, ia sampai takut jika ia akan meledak.
"Jadi kamu nolak saya?" Tanya Elanda yang membuat Lita memekik lebih kaget.
"EH?!" Pekik Lita.
"Jadi kamu mau?"
"EHH?! Bentar, bentar, Pak! Kasih saya waktu buat mikir dulu dong. Jangan ambil keputusan gitu aja." Lita menghembuskan napas berat. "Gini ya Pak, jujur saya baru semalam skidipapap sama Bapak aja, saya kepikiran terus Pak. Apalagi ini, jadi partner yang mungkin rutin skidipap?!" Pekik Lita heboh.
"Tapi tadi kamu menikmati?" Celetuk Elanda tanpa rasa berdosa sedikit pun membuat Lita ingin menjitak pria di hadapannya ini dengan keras.
"I-itu beda, Pak!"
"Ya kamu tinggal menikmati seperti itu. Saya enggak akan maksa kalau kamu lagi enggak mau."
"T-tapi Pak ...."
"Saya akan jadikan kamu personal asisten saya. Tapi tergantung kamu bisa belajar cepat atau enggak. Nanti kamu bisa ikut perjalanan bisnis sama saya, liburan sama saya dan gaji lebih besar."
"Pak, bukannya itu korupsi, kolusi, nepotisme?! Bapak kemarin marahin saya karena saya korupsi, sekarang Bapak malah menyuruh saya menerima kolusi sama nepotisme?"
"Makannya, saya bilang, saya akan tetap menguji kamu. Kalau enggak lolos ya sudah kamu cari pekerjaan lain supaya kamu bisa berhubungan sama saya dan enggak melanggar kode etik."
"Ya Tuhan, Pak. Kalau gitu, saya yang dirugikan dong?"
"Nanti saya buat surat rekomendasi saat kamu resign."
Lita terbahak pelan. Lihat, sekarang siapa yang hobi menyulitkan diri dengan peraturan yang dibuat karena ke-egoisan idealis.
"Sebenarnya ini hanya uji kompetensi, Lita. Jika kamu bisa mengerjakan pekerjaan personal asisten seperti yang saya harapkan, berarti diri kamu memang sudah siap dengan perkembangan dunia bisnis yang menuntut kita untuk multitalenta, kamu siap naik jabatan-"
"Huu ngeles huu...." Ledek Lita yang membuat Elanda tergagap.
"Saya enggak ngeles-"
"Ngeles teruuss kayak bajaj."
"Lita!"
"Hahahaha Bapak kok lucu sih kalau malu kayak gitu?" Puji Lita mengatakan itu jujur dari dalam hatinya. Lagi-lagi ia menemukan sisi lain tak terduga dari Elanda Bagaskara sang Bos ketat macam celana legging emak-emak.
"Saya enggak malu! Kenapa harus malu? Saya enggak melakukan hal yang memalukan-"
"Nah kamu, itu salah satu bibit korup, karyawan sendiri saja diajak untuk melakukan tindakan kolusi dan nepotisme. Apa saya salah?" Cemooh Lita berusaha menirukan suara Elanda saat Elanda kemarin menegurnya. Elanda terdiam menatap Lita kesal namun Lita tidak sedikit pun terganggu dan malah semakin asyik meledek Bosnya itu.
Ah sungguh Lita memang harus membenarkan bahwa karma itu nyata adanya dan bersifat instan! Kini ia berhasil mempermalukan Elanda Bagaskara, sama seperti saat Elanda mempermalukannya.
Lita jadi penasaran seperti apa wajah bosnya itu sekarang, namun saat ia menoleh ia malah mendapatkan sebuah benda kenyal nan hangat hinggap di atas bibirnya.