"Nah sekarang kita bebas."
Elanda yang baru saja menurunkan roller blinds memutar tubuhnya menatap Lita yang tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Bosnya itu.
"B-bebas, Pak?" Ulang Lita bingung. Dijawab anggukan oleh Elanda.
"Kita bisa lakuin apa aja dengan tenang tanpa takut ada yang lihat. Oh ya ini kedap suara juga. Jadi enggak bakal ada yang dengar. Oh sebentar, saya kunci pintu dulu biar lebih aman-"
Pupil Lita membesar seiring langkah Elanda yang semakin mendekat menuju pintu. Ini Pak Elanda mengunci mereka di sini agar mereka berduaan? Untuk apa?
"P-pak, saya mau disuruh ngapain?"tanya Lita ragu. Elanda memutar tubuhnya menatap Lita. Tanpa sadar tangannya bergerak menarik blazernya.
"Ya menghibur kamu. Tunggu, kamu enggak pikir saya mau ngajak kamu ... hahaha saya enggak sangka ternyata kamu terus kepikiran semalam terus. Sehebat itu saya sampai buat kamu enggak bisa lupa?" Tanya Elanda dengan raut wajah terlihat bangga,
sementara Lita yang semula malu-malu malah jadi menatap Bosnya itu dengan menyedihkan.
"Saya sempat berpikir Bapak bipolar lho." Jawab Lita jujur lalu teringat dengan kekonyolan yang Bosnya lakukan sedari kemarin. Nanti marah, menyebalkan, lalu tiba-tiba menjadi baik, sangat baik, kemudian kembali menyebalkan dan spesial hari ini, bertambah jadi narsis. Besok akan bertambah apa?
"Kenapa kamu mikir gitu?"
"Ya habis Bapak ini, nanti ngeselin banget, terus jadi baik dan baik banget, terus nanti jadi nyebelin lagi." Jawab Lita jujur. Awalnya ia ragu mengatakan ini, tapi jika Lita membiarkan begitu saja, siapa yang bisa menduga jika besok petugas kepolisian tiba-tiba datang karena Bosnya ini memiliki kelainan jiwa?
"Itu tergantung siapa yang sedang bersama saya. Tapi memang bukannya semua orang begitu? Kamu juga begitu lho. Kadang kamu keliatan cantik banget pas lagi presentasi. Tapi kadang kamu jelek pas lagi ngedumel apalagi menggebu-gebu ghibahin saya." Ujar Elanda yang seketika membuat wajah Lita meledak panas. Cantik? Apa-apaan dengan pujian itu.
Menyadari suhu tubuhnya meningkat, Lita menutup wajahnya dan memalingkannya. Elanda akan semakin narsis jika Lita memujinya.
"Lho emang Bapak juga enggak ada pas jeleknya? Bapak pikir Bapak ganteng terus?"
"Memangnya saya bilang kalau saya pasti selalu ganteng?"
Lita tertohok menyadari bahwa ia baru saja memberi jawaban Bodoh. Ah kenapa ia malah menjawab seperti itu?
"Tapi tadi Bapak muji diri Bapak sendiri." Jawab Lita berusaha menyelamatkan sisa harga dirinya
"Ya habisnya kamu mikirnya ke situ terus." Jawab Elanda jujur membuat Lita merasa ia ditusuk tepat di jantung. Ia memang tidak memungkiri bahwa ia terus berpikir bahwa Elanda akan melahapnya.
"E-Enggak gitu, Pak!" Lita semakin memejamkan matanya dalam-dalam. Ah ia ingin membelah bumi dan mengubur dirinya saja sekarang. Bukankah itu terlihat seperti Lita begitu mesum? Meskipun ia memang tak memungkiri bahwa tebakan Elanda benar.
"Ya kalau kamu mau lagi, sih bisa. Tapi bukan di kantor. Saya enggak suka orang yang enggak profesional. Mau ke rumah saya lagi?" Tanya Elanda yang membuat Lita mematung tak bisa berkata-kata.
Ah Tuhan! Ia sudah tidak kuat lagi, Elanda benar-benar menguji kesabaran, insting seksualitasnya dan akal sehatnya!
"K-kenapa Bapak semudah itu sih nawarin kayak gitu?"
"Lha, terus kamu mau saya nawarin nya bagaimana? Pakai proposal? Eh tapi itu ide bagus. Kamu bisa sekalian belajar."
"Ha? Bapak bicaranya makin ngelantur deh!"
"Saya serius Lit. Kamu bisa sekalian belajar bikin proposal, nanti saya buat proposal tawaran seks."
"Eh? Ha?"
"Ya habisnya kamu bilang saya semudah itu ngajak kamu seks. Melihat dari tingkat alay dan bucin kamu. Kamu pasti sukanya diperlakukan romantis gitu? Kamu suka drama Korea?" Ujar Elanda menyimpulkan.
"Pak, tolong ya jangan bawa-bawa alay sama bucin. Mulai hari ini saya bukan Lita yang dulu!" Jawab Lita terlihat menggebu. Dan itu membuat Elanda tersenyum. Elanda terlihat merogoh telepon genggam di sakunya lalu detik selanjutnya ia memberi kode pada Lita untuk menghampirinya.
Lita menurut karena penasaran apa yang ingin diperlihatkan Bosnya itu. Elanda menarik sedikit pinggang Lita karena ia merasa bahwa Lita terlalu jauh dan akan kesulitan untuk melihat layar telepon genggamnya.
Lita menegang dan refleks mendongak untuk melihat wajah Elanda. Keduanya terlarut pada tatapan masing-masing hingga mereka dikejutkan oleh suara agak nyaring seorang bocah dari layar telepon Elanda. Rupanya Elanda
Mengajak Lita untuk melihat video bocah bernyanyi yang lagunya sempat viral beberapa tahun yang lalu.
"Lita yang dulu, bukanlah yang sekarang. Dulu bucin plus alay, sekarang tegar nan kuat." Lita yang semula shock dan bingung saat tiba-tiba Bosnya itu melepas kaitan pinggangnya pada Lita dan tiba-tiba melangkah ke tengah ruangan, lalu membuat gerakan seperti tarian yang terlihat sangat kaku.
"Hahaha! Bapak ngapain sih? Duh sumpah ... Hahaha." Lita tak bisa berhenti melihat tarian Bosnya yang benar-benar kaku seperti boneka jerami pengusir burung dan hama.
"Saya bisa nari juga. Dulu diajarin Dirga. Dirga lebih jago lho." Puji Elanda yang membuat Lita penasaran bagaimana Dirga saat sedang menari.
Jika diingat wajah Dirga yang oriental, tambah kulit putih dan badannya yang sedikit kurus, membuat Dirga lebih terlihat seperti seorang idol negeri ginseng.
"Mas Dirga emang oriental sih ya. Mirip Boy band dari Korea."
"Hahaha! Dia dulu memang pernah ikut audisi begituan. Sumpah kalah kamu lihat dia pas lagi alay-alaynya dan joged itu pasti kamu ketawa sampai sakit perut. Jogednya enggak jelas banget!" Ujar Elanda terbahak membayangkan jika Lita melihat video audisi Dirga dulu yang menurutnya Alay.
Lita tanpa sadar ikut tersenyum. Ia merasa bahwa tawa Pak Elanda begitu renyah dan menular. Lita sebenarnya sudah bosan dengan pertanyaan ini, tapi benarkah orang dihadapannya ini adalah Bosnya?
"Maaf, Pak." Celetuk Lita tiba-tiba, membuat Elanda yang semula tertawa, menjadi bingung dengan maksud permintaan maaf Lita.
"Karena proposal? Ya sudahlah saya-"
"Maaf saya tadi marah sama Bapak, pas kita di mobil. Saya pasti lagi sensitif banget." Ujar Lita jujur. Ia menyadari bahwa tadi pagi ia terlalu sensitif, ditambah ia merasa harga dirinya sebagai perempuan dipermainkan saat tahu Elanda tidak tertarik padanya.
"Haha kamu enggak usah pikirkan sampai seperti itu. Asal jangan ke sembarang pria aja kamu salah paham seperti itu." Ujar Elanda menatap Lita dengan teduh. "Untung prinsip saya cukup kuat. Jadi enggak main terkam."
Lita merasakan tubuhnya tersengat, ia mengangkat wajahnya dan menatap Elanda yang menatapnya dengan sendu.
"P-pak?" Ujar Lita saat menyadari bahwa Elanda melangkah lebih dekat kearahnya lalu memainkan rambutnya.
"Kamu tadi tanya kenapa semudah itu saya ngajak seks ke kamu? Jawabannya, karena saya juga pria, Lita. Saat kami diberi keleluasaan, kami bisa memanfaatkannya dan jadi semena-mena." Elanda merendahkan kepalanya menghirup aroma rambut Lita yang masih beraroma hair spray sisa semalam.
Lita menahan napas saat hembusan napas Elanda semakin turun menjelajah telinga, hingga ceruk lehernya. Lita tergelitik namun juga menikmati tatkala hidung mancung Elanda mengelus kulit lehernya, sementara bibirnya bergelirya meninggalnya jejak-jejak yang Lita harap tidak meninggalkan tanda ungu yang akan membuatnya dalam masalah nanti.
"Lita, kamu mau mandi kan?"