Chereads / Skandal Pil Biru / Chapter 9 - Berpura-pura

Chapter 9 - Berpura-pura

"Pagi Lit!"

Lita menoleh melihat Tantri seniornya yang baru saja muncul dengan rona keceriaan. Berbanding terbalik dengan Lita yang sudah muncul di balik meja sedari tadi namun penampilannya awut-awutan seperti tunawisma yang terdampar di meja kerja perusahaan.

"Pagi, Mbak." Jawab Lita kurang bersemangat, tambah ia tidak percaya diri dengan penampilannya. Ia membatasi nada bicara, jarak, juga tingkat kelebaran untuk membuka mulut. Ia takut Tantri mencium bau tak sedap dari mulutnya.

"Wah jangan-jangan malem langsung tancap gas ke ranjang nih," goda Tantri mensikut Lita yang hanya bisa tertawa miris karena justru ia mendapat fakta bahwa tunangannya suka bergelut di ranjang dengan ibunya sendiri.

Lucunya mereka melakukannya di kamar mandi seraya membicarakan rencana mereka untuk melakukan seks sepanjang mereka di restoran sementara Lita di sini bekerja mati-matian, menabung dan membatasi pengeluarannya untuk membeli restoran Bali Cuisine itu. Yah meskipun ia baru bisa membayar setengah. Lita bahkan tidak membeli banyak skincare untuk memenuhi semua kebutuhan menabung, arisan dan biaya hidup.

"Wah kayaknya tebakannya bener nih. Habis berapa ronde ena-ena semalem? Sampe item tuh bawah mata. Hahaha." ledek Tantri lagi dengan gelak tawa, sementara Lita tidak hanya bisa meminta maaf pada seniornya itu dalam hati, karena ia tidak sedang dalam keadaan ingin tertawa padahal tawa Tantri terlihat begitu tulus dan renyah. Lita jadi merasa bersalah.

Jika saja Mbak Tantri tahu apa yang terjadi, mungkin seniornya itu akan menceramahi nya panjang lebar dan mengasihaninya. Mengingat, dulu ia adalah orang yang menentang kedekatan Lita dengan Harry. Bukan karena alasan penyakit jantung Harry, karena bahkan sampai sekarang pun tidak ada yang tahu, kecuali Lita sendiri dan ibunya, mungkin.

Dulu Tantri khawatir karena peraturan tidak boleh ada hubungan romantis di antara karyawan meskipun berbeda divisi. Tantri mengingatkan bahwa Elanda alias si Pak Bos, bisa mengendus status pacaran mereka. bahkan Tantri menyebut bahwa Elanda punya mata dan telinga batin. Elanda selalu tahu apa yang dilakukan para karyawannya.

"Ya begitulah, Mbak. Berapa rondenya enggak bisa kehitung saking-" kata terakhir kalimat itu tertahan, menggantung di tenggorokan Lita.

Tiba-tiba ia teringat suara geraman yang memabukkan, semalam. Ia ingin mengatakan kata bahwa ia terlalu menikmati, tapi ia baru teringat bahwa semalam ia tidak menghabiskan malam dengan tunangannya seperti bayangan Tantri. Melainkan dengan Elanda, orang yang membuatnya kesal dan mengumpat lalu kemudian menjadi orang yang membuatnya lupa bahwa ia baru saja merasakan patah hati yang begitu dalam.

"Lit?"

Lita tersadar dari lamunannya saat Tantri menggoyangkan pundaknya.

"Malah ngelamun. Duh, kayaknya nikmat banget yaa ...  sampai terngiang-ngiang gitu, wah emang ya, kalau hubungan sama orang yang dicintai dan mencintai kita itu ngebuat dunia serasa milik berdua. Jadi pengen...." Tantri terus berceloteh dengan dua tangan yang yang bertautan dan mengepal dramatis seperti seseorang yang sedang memainkan sandiwara di atas panggung. Lita hanya meresponnya dengan seutas senyum yang dipaksakan.

"Tapi awas lho terngiang-ngiang ranjang panas terus jadi lupa kerja-"

Tantri menahan napas, begitupun Lita yang terkejut saat tiba-tiba ia melihat ada paper bag coklat dihadapannya.

Lita mengangkat wajahnya, ia mengira bahwa seseorang yang ia harapkan muncul, namun ia malah menemukan Harry tersenyum ceria dengan dagu yang disandarkan pada pembatas meja, sok tebar pesona. Oh ternyata Harry, ia sempat mengira itu adalah Elanda.

"Morning sweet heart, Aku beliin sarapan."

Lita terdiam tanpa ekspresi, sorot netranya menelisik, menyelam pada apa yang membuat pria ini begitu tenangnya mengatakan kata-kata itu setelah ia melakukan hal menjijikkan malam tadi. Apa ia berpikir bahwa Lita tidak tahu perselingkuhan busuknya? Tapi jika dipikir lagi, itu justru lebih baik baginya agar rencana balas dendamnya bisa berjalan sempurna sampai akhir. Akan memuaskan jika orang ini terus dalam ketidak tahuannya.

'Morning sweet heart tai kotok' batin Lita, dalam hati. Namun detik selanjutnya Lita menampilkan senyum ceria seakan tidak ada terjadi apa-apa.

"Beb, kamu semalam-"

Lita menahan ucapan Harry dengan satu jarinya menyentuh mulut Harry, Lita mengedarkan tatapannya memperingatkan Harry bahwa mereka berada di lingkungan kantor, tidak baik jika karyawan lain melihat apalagi jika ketahuan Pak Bosnya yang ketat macam legging emak-emak itu mereka saling memanggil dengan embel-embel sayang, beb, dan panggilan khas sepasang kekasih lainnya.

Lita terbangun dari tempat duduknya lalu mengajak Harry untuk pergi dari ruangan itu menuju ruangan smoking room yang biasanya masih sepi di pagi hari.

"Gimana proposalnya Beb?" Tanya Harry mengawali topik pembicaraan. Lita mengangkat kepalanya.

"Masih ada yang salah, padahal aku udah berusaha. Tapi ya lumayanlah, Pak Elanda mau terima."

"Duh kasian banget sih bebeb aku ini. Coba aja kamu kabarinnya lebih siang, aku pasti usahain buat bantuin." Ujar Harry menarik Lita pada pelukannya. Sementara Lita dengan tubuh kaku menerima pelukan Harry, hanya bisa mengerutkan alis menahan jijik dan kesal.

'Bebeb, bebeb makan tuh tai bebek.' Lita kembali menggerutu dalam hati, mencemooh panggilan sayang pura-pura dari Harry. Rasanya ia ingin menyumpal bibir itu dengan sepatunya.

"Terus ada yang bilang ke aku kamu dimarahin habis-habisan sama Kanjeng legging, sampe kamu nangis?" Harry bertanya dengan nada kasihan yang dibuat-buat dan sungguh demi Tuhan, Lita sudah tidak bisa menahan perasaan jijiknya ini. Ia sungguh membutuhkan toilet untuk muntah, sekarang juga.

'Halah ... bukannya semalem justru Lo tenang gue enggak dateng, kan? Lo jadi bisa bebas skidipapap sawadikap tralala trilili ahoy melehoi indehoi- duh apa lagi ya,' Lita tanpa sadar membatin tidak bisa mengingat lanjutan kata sakral yang diberi tahu Dirga. Tapi kenapa pula ia malah mengucapkan kata-kata itu?

Ia jadi teringat bahwa Elanda bisa menghafalnya hanya dengan beberapa kali mendengar Dirga mengatakan hal itu. Ya Elanda memang cerdas, ia tidak mungkin bisa menjadi CEO dan membuat perusahaan rintisan ini sukses dalam waktu singkat, jika tidak cerdas bukan?

Lita menepuk pipinya lalu mendesis. Bukan saatnya memikirkan orang itu sekarang. Elanda membuatnya kesal tadi pagi. Lagi pula jika diingat lagi, apa yang Lita harapkan? Siapa yang tahu jika mungkin saja Elanda hanya mempermainkannya sebagai balas dendam karena Lita adalah karyawan yang paling sering menggosipkannya, biang gosipnya malah. Kemungkinan Elanda ingin balas dendam, masuk akal, bukan?

"Beb? Kamu kok diem?" Tanya Harry yang sedari tadi tak mendapat jawaban dari Lita.

"Ah, aku kayaknya mau balik ke kantorku. Udah mau jam delapan. Aku masih ada kerjaan yang belum direvisi. Deadlinenya juga hari ini." Lita membuat alasan agar ia tidak perlu berlama-lama dengan pria menjijikkan ini.

"Ya ampun Beb. Ya beginilah kalau jadi budak korporat. Kamu keliatan lelah, mata kamu sampe item. Kamu nginep di sini? Kata Mama kamu enggak pulang." Tanya Harry bermaksud menunjukkan perhatian. Lita hanya bisa mengangguk-angguk ingin segera menyudahi pembicaraan itu.

Lita memutuskan meninggalkan smoking room itu terlebih dahulu meninggalkan Harry yang sepertinya masih ingin membicarakan sesuatu.

"Beb, aku masih mau ngobrol sama kamu. Kamu enggak mau tau gimana obrolan aku sama Mama semalam tentang tunangan kita?" Harry menarik tangan Lita menahannya untuk pergi. Namun Lita menggeleng lemas.

'Tentang tunangan kita?' Lita berdecih dalam hati. Bukankah, itu tentang malam panas kalian?

Pikirannya lagi-lagi melayang pada kejadian semalam, telinganya berdengung terngiang suara desah menjijikkan itu. Ia tak bisa lagi, ia hanya sanggup berpura-pura sampai di sini. Semua kebaikan palsu Harry membuat hatinya semakin sesak tercekik.

Tanpa sadar Lita menangis, menepis genggaman tangan Harry padanya. Namun Harry tidak mau melepaskannya hingga membuat Lita hanya bisa berjongkok di lantai, dengan rambut menutupi seluruh wajahnya yang merah dan berlinang air mata.

"Ini gara-gara Kanjeng kan? Wah mesti gue kasih pelajaran tuh orang, dasar Bos sok-"

"Wah boleh, kebetulan saya juga emang mau belajar-" suara seseorang terdengar. Dan Lita sangat mengenal suara ini. "Coba kamu kasih tau, apa yang mau kamu ajarkan ke saya."