Chereads / DATING HOT NEWS! [INDONESIA] / Chapter 6 - HANCUR

Chapter 6 - HANCUR

Malam semakin larut, dan Helena masih belum menutup kedua matanya. Punggung wanita itu terasa pegal, hingga memilih untuk bersandar di kepala ranjang.

Kamar luas yang begitu gelap dan sunyi. Hanya sebuah lampu temaram di atas nakas yang dijadikan sebagai sumber pencahayaan.

Helena terdiam membisu dengan mata sembab. Air mata yang mengering masih membekas di kedua pipinya. Rambut yang kini telah kembali bewarna hitam, juga berantakan.

Helena baru saja menangis, dan sepertinya akan terus menangis.

Wanita itu menekuk kedua lututnya, melingkarkan kedua tangan di sana. Kepala yang akhir-akhir ini memiliki banyak pikiran, ia biarkan untuk menunduk. Ia lelah.

Ini adalah musim panas. Namun, Helena merasa kedinginan. Dia ingin dipeluk, disayang, dan diperhatikan.

Helena kesepian. Sangat.

Jauh dari rumah, jauh dari keluarga, dan jauh dari sanak saudara. Semua hal itu membuat Helena tersiksa.

Di saat banyak komentar-komentar jahat terus berdatangan, tidak ada seorang pun yang datang memberinya semangat. Fans yang selalu memberikan dukungan pun, entah ada di mana. Mungkin, tenggelam akibat banyaknya komentar negatif.

"Kapan semua komentar itu berhenti?" Helena bersuara lirih dan serak dari sela-sela kesunyian.

Wanita itu masih menelungkupkan kepalanya, bergumam tak jelas sendirian.

Sedetik setelahnya, suara isakan tangis terdengar. Semakin lama, semakin keras dan kencang.

Helena tidak perduli jika ada yang mendengar. Ya, walau pun hal itu tidak akan mungkin. Ini adalah apartemen miliknya, berada di kawasan elite yang memiliki penjagaan ketat.

Wanita itu ingin bebas menangis sendirian. Sesukanya, sekeras, dan sekencang yang ia mau. Bahkan kemera yang selalu mengikuti ke mana pun Helena pergi, tidak ada lagi.

Ya, rumah adalah tempat paling aman dan nyaman.

Namun, tetap saja. Helena tidak dapat tenang. Pikirannya terus berkecamuk, dirinya seakan sedang dikurung dan disiksa secara perlahan-lahan.

"Perebut ...." Helena menghentikan tangisan kencangnya. Kemudian, mengangkat kepala yang sudah sedari tadi menunduk.

Tangan kanannya terangkat, menyingkirkan helai-helai rambut yang berantakan menutupi wajah. Oh, Helena tidak berani untuk melihat ke cermin. Keadaannya sangat buruk sekarang.

Wanita itu kemudian menatap ke arah lantai, handphonenya hancur. Yah, tidak seharusnya ia melempar terlalu keras. Namun, apa yang bisa dilakukan? Tidak mungkin Helena memakai barang bekas yang telah rusak. Seleranya sangat tinggi. Dirinya bahkan bisa membeli pabrik handphone jika mau.

"Apa ... mereka sudah berhenti mengetiknya? Ini sudah tengah malam," lirih Helena.

Wanita itu kesulitan untuk bernapas, setelah tadi membaca hampir seperempat komentar.

'Kau perebut idol kami.'

'Kau cantik, kaya, banyak yang menyukaimu. Tapi, tolong. Tolong jangan rakus, hingga berkencan dengan Kai Oppa.'

'Sangat rakus! Bagaimana bisa orang seperti ini hidup?!'

'Aku mencintaimu, tapi kau mencintai orang lain! Keterlaluan! Ternyata sia-sia sudah mengidolakanmu sejak trainee!'

'Aku menyesal telah menjadi fans-nya. Hatiku sakit.'

'Dia akan bunuh diri, 'kan?'

Semua makian dan cacian tak ada habisnya. Banyak pula yang mengirim sebuah gambar-gambar menakutkan dan di luar batas wajar. Semua orang terlalu bebas menggunakan sosial media, mengetik dan mengirim apa pun yang dimau.

Jari-jari Helena bergetar ketakutan, tubuhnya menggigil seakan meminta perlindungan. Sejak menjadi trainee, wanita itu selalu menderita. Apa setelah debut-pun, akan semakin menderita?

Jika mengingat kembali komentar-komentar itu, rasanya Helena ingin sekali menghancurkan semua benda yang ada di sekitarnya. Namun, ia akan menjadi seperti orang gila. Helena tidak suka menjadi gila.

Tangan kanan wanita itu terulur, mengambil benda pipih di atas nakas. Berusaha beralih dari kesedihan.

Bukan ponsel pribadi yang biasa Helena gunakan. Namun, ponsel ini selalu dijadikan sebagai sarana mengurangi emosi.

Helena ingin membuka aplikasi YouTube, di mana banyak video-video yang menarik untuk dilihat. Jari yang semulanya lemas, perlahan-lahan mulai lihai untuk berselancar di layar benda pipih tersebut.

Namun, perhatian Helena teralihkan. Dari yang awalnya ingin membuka aplikasi MeTube, berpindah menjadi membuka aplikasi dengan ikon hijau.

Berbeda dari ponsel pribadi, ponsel satu ini memiliki banyak sekali nomor kontak. Mulai dari kalangan idol, staf, hingga teman sekolahnya dahulu.

Sudah diduga. Banyak sekali chat yang menumpuk, hingga jika dihitung mencapai tiga digit.

Wanita itu mencari nomor kontak dengan nama 'Kai'. Jangan salah paham. Helena hanya ingin tahu apa yang Kai jawab. Bukankah hal tersebut sangat penting?

"Hem?"

Balasan yang Kai kirim membuat kedua bola mata Helena membesar sempurna, hanya dengan membaca kalimat utama. Tubuh wanita itu mematung ketika membacanya.

[Hatiku sakit.]

[Akh!]

[Apa salahku?]

[Hingga kau menyakitiku seperti ini.]

[Kau tega!]

[Namun, apa yang dapat aku lakukan? Aku hanya dapat pasrah, meski hati ini gundah.]

[Aku terima kenyataan ini!]

[Hubungan kita berakhir!]

[Putus.]

Mulut Helena terbuka, wanita itu terbengong beberapa saat.

"A-apa ini?"

Wanita itu kembali menatap layar, masih dengan raut sangat-sangat tidak percaya. "Dia gila ...."

Helena tidak akan membalas pesan itu. Tidak akan.

Jika Helena membalas jawaban orang gila dengan serius, itu berarti dirinya juga gila. Jadi, lebih baik membiarkan chat berakhir sampai di situ. Helena tidak mau menanggapinya.

***

Seorang pria tidur bersandar di kepala ranjang. Wajahnya tidak berhenti menampilkan raut kegelisahan.

"Apa saran Leon Hyung dapat diandalkan?" Kai terdiam beberapa saat. Menimang-nimang akankah yang baru saja dirinya lakukan adalah hal benar.

Tapi, Leon sudah seperti kakaknya. Kai kini berusaha untuk percaya dan tetap positif thinking. Leon yang tertua, dan pasti lebih dewasa. Dia mampu membedakan mana yang lebih baik dan mana yang buruk.

"Tetap saja! Apa itu masuk akal?!"

Oh, sekarang Kai menjadi over thinking. Pria itu memiliki insting yang sangat kuat.

"Tentu saja itu masuk akal."

Kai menoleh, melihat Leon yang baru saja membuka pintu kamarnya tanpa izin. Pria itu berjalan mendekati ranjang, lalu duduk dengan tenang.

"Tapi, kenapa aku merasa tak masuk akal? Apa kau menjebakku, Hyung?"

"Menjebakmu? Mana mungkin." Leon menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan tuduhan yang Kai berikan.

Pria itu kemudian memposisikan duduknya dengan benar. "Kai, dengar, ya."

Melihat wajah serius Leon, Kai mengangguk-anggukan kepalanya antusias. Ia menunggu dengan apa yang akan leader group-nya katakan.

"Sebagai orang yang sudah berpengalaman, mana mungkin aku memberikan saran yang sama sekali tak masuk akal? Ketika kita putus, tentu akan merasa sedih, bukan?" Leon menghentikan penjelasannya, beralih menatap Kai yang menggeleng pelan. Dia bahkan tak merasa sedih ketika putus.

Menghembuskan napas pelan. Leon melanjutkan kalimatnya. "Oh, kau pasti tidak sedih. Tapi, ketika kau membalas tanpa ada rasa sesak, wanita yang memutuskanmu itu akan membenci dirimu, Kai. Karenanya, tadi kau kusuruh untuk mengetik se-dramatis mungkin!"

Satu detik, dua detik, tiga detik, Kai membulatkan matanya. Ia berjingkrak, berdiri di atas ranjang. "Kau benar, Hyung!"