Aku memulai pekerjaanku dengan semangat dan tekun, begitu pula dengan Keysa. Namun, semenjak memulai aktivitas bekerja, kebersamaan kami mulai berkurang. Bahkan sekedar bertemu dan nongkrong di kafe seperti sebelumnya tidak lagi kami sempat lakukan.
Ini sudah hari ke tiga kami menjalani pekerjaan paruh waktu. Pagi ini, aku sudah duduk di ruang kerjaku dengan banyak dokumen di atas meja. Kuhempaskan napasku dengan kasar, rasa kantukku sepulang dari kampus semalam masih terasa olehku.
"Hah, beginikah rasanya mencari uang sendiri? Sangat melelahkan, jika boleh memilihnya. Aku ingin berhenti kuliah saja," ujarku berbicara sendiri.
"Kalau kak Yogi lebih mending kuliah dong." tiba-tiba kudengar suara kak Yogi memasuki ruanganku, sehingga seketika aku terkesiap dan berdiri dari posisi dudukku.
"Selamat pagi, kak Yogi." aku menyapa nya dengan gelagapan.
"Pagi, Amelie. Hehehe, maafkan aku. Menguping apa yang kau bicarakan tadi," sahut nya dengan jujur.
Aku tercengang sejenak, sehingga membuatnya kembali tertawa kecil seolah meledekku.
"Ups, maaf. Kau mau kopi?" tanya nya mengalihkan.
"Aku tidak terbiasa minum kopi," jawabku canggung.
"Oh, baiklah. Kalau begitu kakak buat kopi dulu ya," pamitnya kemudian berlalu pergi begitu saja.
Aku hanya mengangguk lantas kembali duduk, segera kuraih beberapa dokumen di depanku. Aku mulai memutar otak untuk menyelesaikannya.
Sesaat kemudian, kak Yogi kembali masuk ke dalam ruanganku dengan membawa dua cangkir di tangannya.
"Aku membawakanmu teh hangat, minumlah! Ini akan memberimu semangat yang lebih," ujar nya padaku sembari memberikan secangkir teh padaku.
"Terima kasih..." ucapku sembari menerima secangkir teh dari tangan kak Yogi. Tanpa sengaja jemari kami bersentuhan, kami saling salah tingkah dan juga gugup.
Tok tok tok...
Kami dikejutkan suara ketukan dari luar setelah beberapa saat suasana canggung di antara kami.
"Tsk, Mel. Kamu berniat bekerja atau berpacaran?" Monalisa tiba-tiba masuk ke dalam ruanganku.
Aku terkesiap, begitu juga dengan kak Yogi yang tampak kebingungan menatapku dengan Monalisa.
"Mmh... Kebetulan, aku sedang ingin bekerja. Tapi andai, bertemu dengan seseorang yang pas di hati. Ya, why not?" balasku dengan santai.
Tampak wajah Monalisa terlihat kesal mendengar jawabanku. "Kak Yogi, bisa tolong tinggalkan kami berdua? Ada yang harus aku bicarakan dengan Amelie."
"E-eh... Apakah hal itu sangat mendesak? Karena pagi ini aku juga sedang ingin bersama Amelie. Ada hal yang jaaa...uh, lebih penting." kak Yogi berbicara dengan nada dimainkan seolah sengaja dia sampaikan guna meledek Monalisa.
"Iih, kak Yogi!" decak Monalisa pada nya.
"Ya ya ya, baiklah... Aku pergi, tapi... Hanya 5 menit saja, oke!" ujar kak Yogi seraya melangkah pergi meninggalkan kami hanya berdua.
Aku mengacuhkan Monalisa dengan sengaja kembali duduk di kursi dan meraih dokumen di depanku.
Brak!
Monalisa menggebrak meja di depanku, tentu saja membuatku terkejut dan menatapnya seketika.
"Mel, kamu sengaja mau tebar pesona di perusahaan ini?" tanya Mona dengan menatap kesal padaku.
Aku mengernyit. "Tebar pesona? Apakah itu berlaku untukku? Aku tidak perlu melakukannya, Mona. Karena semua akan merasa terpesona padaku, iya bukan?"
"Amelie! Jangan menjadi wanita sok cantik disini, dan jangan coba-coba kau mengatakan pada yang lain, bahwa aku sudah memiliki seorang kekasih." Mona menghardikku kian menjadi. Tatapannya seperti ingin rasanya menerkamku saja.
"Aduh, Mona... Jadi, kau datang kemari sepagi ini hanya untuk mengancamku dengan hal konyol seperti itu?"
Mona terlihat sedang menahan napas sesak, kurasa emosinya sudah sampai di ubun-ubun, dalam hati aku menertawakannya.
"Terserah kau saja, aku tekankan sekali lagi. Jangan pernah bersikap seolah kau mengenalku dan mengetahui semuanya tentangku, meski kita bersaudara, tapi dalam hal apapun kita selalu menjadi saingan."
Usai berkata demikian, Mona beranjak pergi dari hadapanku. Dia memang selalu begitu, berbicara seenaknya tanpa mau menunggu tanggapan dari lawan bicaranya. Semua itu terjadi karena sebenarnya dia bukanlah wanita pemberani.
"Huhft... Mona, kita bersaudara. Tapi entah kenapa seperti ada jarak diantara kita berdua." aku kembali berbicara sendiri di dalam ruanganku.
Jarum jam terus berputar, hingga waktu jam istirahat telah tiba. Aku bergegas keluar ruangan ingin menemui Keysa, namun kak Yogi lebih dulu menghampiriku.
"Hai, Mel. Mau makan siang bersama?" dia menatapku dengan penuh harap.
"Mmh... Aku baru saja ingin menemui Keysa, sejak bekerja disini kami jadi jarang bertemu."
"Apa kau yakin?"
Aku menaikkan satu alisku ke atas, apakah maksud di balik pertanyaannya itu padaku?
"Jarak ruangan ini menuju ruangan Keysa cukup memakan waktu, kita hanya punya waktu jam makan siang 1 jam saja."
"Sungguh?" aku bertanya dengan kedua mata melotot. Seakan tak percaya akan ucapan kak Yogi, aku belum mengetahui hal ini.
"Pfffttt... Astaga, kau dan... Emh, siapa nama saudaramu itu, Key-sa... Yah, dia sedang di tugaskan di gudang yang berbeda. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk bisa bertemu dengannya," jelas kak Yogi memberitahuku.
Aku tidak tahu akan sebesar dan seluas itu perusahaan yang tampak biasa saja dari luar ini. Aku sangat ingin bertemu Keysa, ingin menceritakan apa yang telah Mona katakan padaku pagi tadi.
Ah, mungkin aku harus menunggunya sampai di rumah saja nanti.
"Mel..." panggil kak Yogi kembali, mengejutkanku dari lamunan.
"Ya?"
"Mau makan siang bersamaku saja? Aku pikir akan sangat membosankan jika kau makan siang sendiri, sementara disini kau masih karyawan baru."
"Aku hanya pekerja paruh waktu saja, Kak! Apakah boleh makan bersama senior seperti kakak?"
"Cih, hahaha... Astaga, kau sungguh lugu. Ayo, kita makan siang bersama di kantin." kak Yogi mengajakku dengan sedikit memaksa seraya berjalan lebih dulu.
Tidak ada alasan untukku menolaknya, bukan? Aku melangkah mengikutinya dari belakang melewati setiap lorong dari perusahaan swasta ini.
Begitu sampai di kantin, rasa malu dan takjub juga canggung seketika menyerangku. Ramainya kantin dengan banyak staf yang hampir semua laki-laki membuatku merasa gemetar, bahkan aku merass semua mata hanya tertuju padaku saja saat ini.
"Ayo, kita pesan makanan dulu."
"Kak Yogi, tunggu!" cegahku menahan langkah kak Yogi yang hendak kembali berjalan menuju meja kasir.
"Ada apa, Mel?"
"Kak, apakah kantin ini selalu ramai begini? Sepertinya pekerja wanita hanya sebagian saja disini," tanyaku dengan setengah berbisik.
"Oh, hahaha... Yah, begitulah. Mereka rata-rata bekerja di bagian gudang, jadi hanya laki-laki yang di perbolehkan bekerja disana."
"Lalu, para wanita lainnya apakah hanya beberapa saja?" tanyaku semakin dibuat penasaran.
"Emmh..." kak Yogi terlihat sedang berpikir dan enggan mengatakannya padaku. "Nanti kau akan mengetahuinya juga, sekarang... Kita makan siang dulu, oke!" sahutnya melanjutkan.
Akh... Aku sungguh penasaran, bicaranya itu seperti menandakan sesuatu yang tak baik untuk di bicarakan. Tapi meski begitu aku sangat ingin tahu.