"Bolehkah aku tau posisi Monalisa disini?" aku bertanya kembali, seharusnya aku menjawab pertanyaan wanita ini barusan.
"Dia sebagai asisten bos pengelola perusahaan ini, mmh... Belum lama ini sih, masih masa percobaan. Bukankah kau sepupu Nona Lisa?".
Heh, dia masih dalam masa percobaan tapi sudah bertingkah. Mona... Mona, kau sungguh picik. Aku berbicara di dalam hati.
"Amelie," panggil mbak Maria padaku kembali, menghentakkanku untuk menatap wajahnya.
"Yah? Emh... Iya, dia memang sepupuku."
"Ya sudah, ayo! Kita ke ruanganku," ajak mbak Maria kembali sambil melangkah lebih dulu di depanku.
Kembali aku melangkah mengikuti langkah mbak Maria. Dalam hatiku bertanya-tanya, apakah Monalisa sejenius itu? Bukankah pendidikan terakhir Monalisa hanya sekolah menengah pertama saja?
Berbagai pertanyaan terus mengalir di benakku. Hingga langkahku terhenti pada satu ruangan minimalis dan mbak Maria menolehku.
"Ini akan menjadi ruanganmu selama kau menjadi bawahanku. Mohon kerjasamanya ya, Mel! Mbak yakin kamu juga orang yang gigih dalam bekerja."
"Siap, Mbak! Eh tapi, siapa yang akan mengajarkanku tentang awal pekerjaanku?"
"Pekerjaan yang akan kamu lakukan tidak banyak, dan tidak sulit juga, Mel. Sebentar aku panggilkan seseorang yang akan menjadi tutormu nanti," jawab mbak Maria sambil memanggil seseorang kemudian.
Menit berikutnya datang seorang laki-laki yang sepertinya baru berusia 27 tahun. Dia berjalan dengan menatap sekilas ke wajahku, seketika aku menjadi canggung.
Kenapa harus laki-laki yang menjadi tutorku?
"Amelie, kenalkan, ini Yogi. Dia yang akan menjadi tutormu nanti," terang mbak Maria padaku.
Aku tersenyum tipis pada laki-laki itu, lalu kemudian dia mengulurkan tangannya padaku.
"Hai, namaku Yogi."
"Ha-hai, namaku Amelie, Kak. Mohon bantuannya," jawabku terbata-bata menyambut perkenalan dirinya.
"Oh, selamat datang di perusahaan ini. Semoga betah ya!" ucapnya lagi padaku.
Aku tersenyum tipis menanggapinya, postur tubuhnya yang lumayan tinggi, berat badan standar, wajah manis, senyuman ramah, dan... Ah, apa yang aku pikirkan?
"Baiklah, ayo... Kita mulai sekarang," ujarnya mengajakku.
"Ah, iya. Baik," sahutku canggung.
Lantas aku melangkah mengikutinya memasuki ruangan yang akan menjadi tempatku bekerja mulai hari ini.
Ada beberapa banyak dokumen dan buku-buku yang sangat tebal di atas meja. Aku menelan ludah paksa sejenak, kupikir pekerja paruh waktu bukanlah pekerja yang akan menguras otak seperti ini.
Kak Yogi mulai memberikan banyak arahan dan penjelasan padaku, dengan membolak-balik setiap halaman buku dan dokumen di atas meja. Sementara aku, yang baru saja akan mengenal dunia kerja hanya bisa mengangguk saat memperhatikannya berbicara.
"Kamu mengerti, Amelie?"
Aku terkesiap mendengar pertanyaan yang tertuju padaku itu, tentu saja aku hanya mendengar dan menyimak apa yang dia terangkan. Akan tetapi, sedikitpun tidak mampu kutampung dalam otakku, rasanya memalukan sekali.
"I-iya, Kak. Aku mengerti, tapi..."
Lelaki itu tersenyum lembut padaku sebelum aku menyelesaikan bicaraku. "Tidak apa-apa, pelan-pelan pasti nanti bisa."
"Iya..." Jawabku singkat. Aku tertegun sejenak memandang senyumannya yang manis.
Beberapa menit berlalu, mbak Maria muncul di tengah pintu ruanganku yang minimalis ini.
"Yogi, tolong print data ini ya!" Titahnya pada kak Yogi.
"Oh, oke, siap!" Jawab kak Yogi seraya melangkah menghampiri mbak Maria untuk mengambil beberapa lembar kertas di tangannya.
Mbak Maria kembali pergi ke ruangannya, sedang kak Yogi masih berdiri dan menatapku di tengah pintu. "Kamu mau ikut?" Tanya nya padaku.
"Oh? Iya, aku ikut!" Jawabku kemudian seraya berdiri menghampirinya.
Kak Yogi lagi-lagi hanya tersenyum, sepertinya dia memang murah dalam senyuman. Atau mungkin hanya pada seorang wanita saja?
Setelah melewati beberapa ruangan, banyak staf diantaranya menyapa dengan ramah pada kak Yogi. Bahkan banyak juga wanita diantara mereka terlihat berusaha mencuri perhatian kak Yogi.
Terkadang inilah hal yang tidak aku sukai saat bekerja atau berada di dalam suatu kelompok, mereka terlihat lebih mengutamakan mencuri perhatian dibanding dengan tugas dan tujuan mereka.
Langkah kaki kak Yogi berhenti di sebuah ruangan dimana terlihat banyak mesin dan alat-alat untuk menfoto copy segala dokumen.
"Amelie, perhatikan cara kakak menggunakan alat ini ya!" pinta kak Yogi padaku.
"Hem, baik." Aku menjawabnya dengan serius sambil memperhatikannya menekan setiap tombol di alat tersebut.
Ditengah keseriusanku memperhatikan cara kak Yogi bekerja, dia melirikku dengan terkekeh-kekeh yang seolah itu ungkapan ledekan untukku.
"Pffftt... Amelie, kenapa kau begitu serius menatapnya?"
"Ah? Emh... Bukankah kakak yang minta aku memperhatikannya?"
"Ya... Iya sih, tapi wajahmu itu... Jadi terlihat imut tau gak sih," jawabnya menggodaku.
Aku salah tingkah, sudah tentu ucapannya itu terdengar jelas dia menggodaku. Dia bilang aku imut? Hahaha... You are right, Darling!
Kak Yogi kian tertawa saat aku hanya tersenyum dengan malu-malu. Dan di tengah senda guraunya, seseorang masuk ke dalam ruangan dan membuat kak Yogi segera menghentikan tawanya.
Aku menoleh lantaran penasaran siapa yang telah menyusul masuk ke dalam ruangan ini.
"Mona?" ucapku menyebut nama Mona. Dia lah yg saat ini tengah memasuki ruangan dengan banyak dokumen di tangannya.
Dia hanya diam saja saat aku menyebut namanya, tanpa menoleh dan bersikap acuh padaku, seolah dia tidak mengenalku sebagai sepupunya disini.
"Mona," panggilku kembali.
Dia menoleh dengan lagaknya yang sombong. "Eh, Amelie. Kupikir siapa," sahutnya tanpa rasa bersalah.
Gila! Dia menantangku?
"Tsk, sudahlah, Mona. Aku tau kau berpura-pura tidak melihatku, apakah begitu caramu menyapa sepupumu?" aku tidak ingin terlihat lemah dan mau saja di perlakukan begitu olehnya.
Kulihat kak Yogi tampak kebingungan melihatku dan Mona saling berpandangan sengit satu sama lainnya.
"Kalian saling mengenal?" tanya kak Yogi kemudian. Sepertinya dia tidak tahu hal ini, bahwa aku dan Monalisa memang ada hubungan darah.
"Kami sepupu, Kak!" jawabku lebih dulu. Mona tampak kesal melihatku mendahului untuk menjawabnya.
"Oh ya? Sungguh? Woah... Aku hampir tidak percaya itu," ujar kak Yogi dengan sumringah.
"Cih, kenapa kak Yogi terkejut begitu? Biasa aja dong," cetus Mona pada kak Yogi.
"Wah... Tentu saja kakak terkejut. Sikap kalian sungguh jauh berbeda, hihihi..."
"Pfffttt..." aku menahan tawa mendengar jawaban kak Yogi yang jelas terdengar meledeknya.
"Ih, kak Yogi." Monalisa mendecak sebal. "Tentu saja kami berbeda, aku dan Amelie bukan hanya berbeda dari sikap, tapi dari fisik jelas lebih terlihat."
Monalisa kembali keluar dengan langkah dan raut wajah kesal setelah mengatakan hal demikian. Aku tersenyum kecil, aku mengenal betul bagaimana Monalisa terlebih lagi di depan laki-laki.
"Kau baik-baik saja?" tanya kak Yogi padaku.
"Hem, aku baik-baik saja. Aku sudah terbiasa dengan sikap kekanakannya itu," jawabku dengan senyuman.
Kak Yogi tertegun menatapku tersenyum menjawab hal itu padanya. Dia manatapku saat tersenyum padanya.