"Apa yang terjadi?" tanya suami tante Sunny kembali.
"Tidak apa-apa, suamiku. Aku hanya sedih, kalau ada yang menilai buruk tentang keluarga kita, khususnya Mona, putriku."
Suami tante Sunny tampak kesal menatap wajah kami.
"Om, kami..."
"Terima kasih atas kedatangan kalian, tapi sebaiknya kalian pulang saja. Sebelum saya salah paham atas masalah ini," ujarnya menyela bicaraku.
Aku menahan sejenak napasku, mengepalkan kedua tanganku. Ingin marah sudah tentu, ingin memaki lebih ingin kulakukan. Ini sebuah pengusiran secara halus, tapi ini menyakitkan.
"Dasar sinting! Ayo, Mel! Kita pulang, untuk apa juga kita lama-lama di rumah keluarga yang tidak pernah menganggap kita keluarga." Keysa menarik tanganku menuju ke luar ruangan, melewati ruang tengah dimana saat ini kembali kami melihat pemandangan yang membuat kedua mata kami pedas.
Mona dan Cristian bercumbu mesra tanpa rasa malu, keluarga ini benar-benar memalukan.
Begitu sampai di luar rumah Mona, Keysa berteriak bahkan membuang ludah tepat di halaman rumah Monalisa.
"Aku menyesal datang kemari, ini suatu penghinaan. Aku akan sampaikan pada ibu dan ayahku," ucap Keysa bersungut-sungut.
"Jangan, Key! Jangan memperpanjang masalah, aku juga sangat marah. Tapi jika aku sampaikan hal ini pada kakek dan nenekku, apa yang akan mereka perbuat? Yang ada mereka akan menyakitiku," sahutku menimpali.
Keysa tertegun menatapku. "Yah, benar juga. Kakek dan nenekmu tidak akan membelamu, karena pasti tante Sunny mengatakan tentang Mona sudah memiliki kerjaan dan seorang pacar."
"Sudahlah, lupakan saja. Hal ini tidak penting, begitu juga dengan mereka."
"Ya, benar! Mereka tidak penting dan hanya membuang waktuku saja," sambung Keysa.
Aku mengangguk seraya kembali melangkah menyusul Keysa yang lebih dulu berjalan. Langkahnya sengaja dia hentakkan karena kesal.
"Tapi, Key. Laki-laki tadi, maksudku Cristian. Lalu Yash?" tanyaku pada Keysa.
"Akh, aku sudah tidak peduli pada mereka. Hanya saja, aku jadi kasihan pada Yash. Sudah jelas Monalisa hanya mempermainkannya," pungkas Keysa.
"Monalisa memang keterlaluan! Aku yakin dia hanya menjadikan Yash alat agar tidak kalah saing pada kita. Aku yakin setelah ini Cristian juga akan di buangnya, hahaha..."
"Tsk, kau terlihat sangat bahagia, Mel! Padahal baru saja kita di usir oleh ayah tiri Monalisa, sungguh memalukan."
"Akh, sudahlah. Kita terusir dari rumah yang hanya akan membuat kita semakin berdosa."
"Kau tepat sekali!" sahut Keysa menjentikkan jemarinya.
Setelah itu, kami tiba di sebuah gang dimana jalan itu menuju ke arah rumah nenek. Kami berpisah dan berjanji setelah pulang dari kampus esok kita akan pergi mencari pekerjaan paruh waktu.
Begitu sampai di rumah nenek, aku segera menuju kamar dan ingin merebahkan tubuhku di atas kasur. Namun, kudengar kakek dan nenek sedang berbicara serius di ruang tv bersama sepupuku, Black.
"Berapa kau butuh uang untuk memulai usahamu?"
Aku mengernyit saat nenek bertanya demikian pada Black.
"Tidak banyak, Nek. Hanya 50 juta saja," jawab Black.
Aku tersentak mendengar jumlah angka uang yang diminta Black kali ini. Tidakkah itu terlalu banyak dan berlebihan? Lagipula, usaha apa yang akan Black lakukan kali ini? Dia hanya bisa merepotkan saja.
Aku terpaksa melangkah kembali melewati mereka hendak menuju kamarku. Aku akan berpura-pura tidak mendengar percakapan mereka.
"Baiklah, kakek akan memberikanmu uang itu tapi kau janji setelah usahamu sukses dan berjalan kau kembalikan uang kakek itu."
Langkahku kembali tertahan mendengar kakek mengiyakan dengan mudahnya pada Black. Namun, tak ingin membuat mereka mengomeliku karena menguping pembicaraan mereka, aku segera melangkah kembali memasuki kamarku.
"Akh, ini tidak adil! Kakek dan nenek selalu mengomeliku setiap waktu, bahkan sampai mengungkit semua jasa dan biaya uang mereka keluarkan untukku. Sedangkan Black, mereka begitu mudahnya memberikan banyak uang. Usaha? Usaha apa? Siapa yang tidak tau kemalasan Black selama ini? Bahkan beberapa kali dia pernah menipu seseorang hingga membuat kakek dan nenek jatuh sakit. Menyebalkan!" aku berdecak sebal di dalam kamar.
Yah, hanya ini. Hanya ini yang bisa aku lakukan di kamar, saat kesal aku hanya bisa berbicara dengan dinding tembok kamarku.
Kuraih ponselku untuk mengirim pesan pada Keysa. Apapun caranya aku dan Keysa harus mendapat pekerjaan paruh waktu besok.
Akan tetapi, niatku untuk mengirim pesan pada Keysa terhenti saat melihat sebuah pesan mendarat dari Ryan di kotak masuk pesan ponselku.
"Mau apa lagi sih, dia?"
"Mel, aku minta maaf. Tapi sungguh, aku dan Dea hanya teman dekat saja. Memangnya tidak boleh aku berteman dengan temanmu juga? Dea bilang kau dan dia cukup dekat."
Rasanya ingin kubalas dengan makian dan cacian yang kasar, teramat kasar untuknya.
Bagaimana mungkin dia berpikir sesantai itu? Laki-laki sepertinya tidak pantas aku maafkan. Walaupun aku tidak benar-benar mencintainya, tapi yang kutahu, tidak ada seorang wanita yang rela melihat lelakinya dekat dengan wanita lain meski itu teman dekatnya.
Dengan memberikan bunga pada Dea di depanku, panggilan sayang dari Dea, tidakkah itu memuakkan? Tsk, laki-laki pembohong dan playboy.
"Akh..." aku mendesah dengan napas panjang setelah merebahkan tubuhku di atas kasur.
Aku tidak perlu membalas pesan konyol seperti itu, sebaiknya aku menonton tv saja. Aku belum mengantuk pula, aku kembali beranjak bangun untuk keluar dari kamar dan menonton tv. Mungkin kakek dan nenek sudah pergi, mungkin saja hanya Black yang tertinggal.
Kulirik jam yang tertempel di dinding kamarku, sudah menunjukkan pukul 9 malam.
"Amelie, nenek baru saja akan mengetuk pintu kamarmu," ucap nenek setelah aku membuka pintu kamarku.
"Ada apa, Nek?" tanyaku sambil menutup pintu kamarku kembali.
"Itu, buatkan kakakmu Black segelas susu. Dia sedang tidak enak badan, besok dia harus ke suatu tempat untuk memulai usaha barunya." Nenek berbicara dengan sangat santai lalu pergi begitu saja.
"Cih, kenapa dia tidak membuat susu sendiri saja? Memangnya dia tidak punya tangan?" balasku menggerutu sambil melangkah hendak menuju ruang dapur.
Beruntung saja nenek tidak mendengar ocehanku ini, sudah bisa di pastikan dia akan berbicara panjang lebar dan hanya membela Black saja.
"Ini, susunya!" ujarku sambil memberikannya pada Black.
"Oh, adikku yang paling cantik rajin dan baik hati, terima kasih..." ucap Black sambil meraih segelas susu hangat dari tanganku.
"Tsk, kau memujiku hanya di saat membutuhkanku."
Black menyembikkan bibirnya meledekku seraya kemudian meneguk susu hangat buatanku.
"Black, katakan padaku. Usaha apa yang akan kau jalani hingga kau meminta uang sebesar itu sama nenek dan kakek?" tanyaku menyelidik dengan paksa.
"Ooh, jadi adikku ini menguping pembicaraan kami tadi? Dasar nakal!"
"Dih, terserah apa penilaianmu, Black! Tapi tolong, uang dengan sejumlah itu tidak sedikit. Kau pikir kakek dan nenek dengan mudah mendapatkannya?"
Black membuang napas, lantas mengacak rambutku dengan gemas.
"Kau masih anak kecil, kau tidak tau apa-apa. Dan kau juga tidak tau kalau nenek dan kakek diam-diam memiliki tabungan banyak di Bank."
"Tapi bukan berarti kau seenaknya saj meminta uang pada mereka," tandasku menatap wajah Black tajam.
Lagi dan lagi, Black tampak santai dan acuh. "Bilang saja kalau kau iri karena kakek dan nenek lebih sayang dan selalu memanjakanku, iya kan?"
"Percuma bicara dengan orang pemalas dan tukang halu sepertimu, awas saja kalau kau berani memakai uang itu hanya untuk kepentingan pribadimu, Black," ancamku padanya.
"Hua-em... Aku mengantuk, aku tidur duluan ya! Jangan lupa matikan lampu di ruangan ini nanti, bye..." Black beranjak bangun dan dengan sengaja mengabaikan ancamanku barusan.
Aaaarght... Dia memang paling jago mengabaikan ancaman dari seseorang.