Kutepuk-tepuk pelan pipi Habib sambil terus memanggil namanya agar dia bangun. Darah sudah berceceran di lantai saat aku membalikkan tubuh Habib agar bisa dibawa keatas pangkuanku. Semua pegawai dan wartawan mengerumuni kami dengan rasa yang sama, ketakutan. Dengan mata bercucuran, masih kuusahakan untuk membangunkan Habib.
Namun usahaku sia-sia saja. Habib tetap menutup mata tanpa mendengarkan ucapanku. Hati ini teriris perih melihat orang yang kucintai bersimbah darah di lantai. Sesak didada seperti tiada obat, menangis adalah satu-satunya caraku mengeluarkan semua yang kurasakan.
"Cepat, bawa pak Habib ke ambulan! Gotong dia!" titah lelaki berjas hitam yang kurasa adalah manager caffe ini.
Dengan bantuan tandu dari petugas ambulan, Habib di gotong dan dibawa kerumah sakit. Aku ikut masuk dan duduk disamping Habib yang tidak sadarkan diri. Melihatnya tak berdaya seperti ini tentu saja jauh lebih menyakitkan dari pada harus membiarkan dia bersama wanita lain.