Hari ini aku bersama bang Fahri dan mbak Anisa harus kembali ke ibukota. Ya, setidaknya itu bisa membuatku merasa lebih lega karena tidak harus melihat kemesraan Umar dan Farida lagi. Mereka selalu saja membuatku iri dengan tingkah mereka yang kadang jahil atau ... romantis.
"El, udah siap?" tanya mbak Anisa seraya mengetuk pintu.
Aku yang kala itu tengah merapikan hijab, langsung terkesiap. "Udah, Mbak! Sebentar lagi aku turun," jawab ku.
Lagi-lagi aku harus menyaksikan kebersamaan Farida dan Umar. Mereka sedang cekikikan di tangga sana. Aku pun memperlambat langkah supaya mereka bisa turun lebih dulu. Aku lihat Umar mengusap lembut kepala Farida, mereka sungguh membuat hati ini panas.
'Ya, Allah ... jauhkan lah perasaan cemburu ini. Umar adalah suami adikku, aku tidak boleh cemburu padanya'
"El, jaga dirimu baik-baik. Nanti tanggal pernikahan akan segera kami kabari. Mungkin dalam waktu dekat," ujar Ayah.
"Apa tidak bisa menunggu sampai kuliahku selesai, Yah?" Harapku.
"Tidak. Itu terlalu lama. Pernikahanmu lebih penting. Kalau rasanya mengganggu ... kamu berhenti saja kuliahnya." Jawaban Ayah tegas.
Aku membelalakkan mata, "berhenti? Apa tidak ada pilihan lain, Yah?" Rengekku.
"Elyana," Bunda menengahi, "jangan membantah Ayah. Semua demi kebaikanmu."
'Apa? Kebaikanku atau kebaikan mereka?' batinku.
Aku diam, tak lagi menjawab. Hanya menahan rasa kesal dalam hati.
Kemudian dengan malas aku memeluk mereka satu persatu. Ayah, Bunda, Farida ... lalu saat sampai pada lelaki itu aku hanya menangkupkan tangan di dada, begitupun yang ia lakukan. Dia tidak tersenyum sama sekali, membuatku semakin merasa yakin kalau dia pasti sudah mengarang cerita tentang kejadian salah lamar waktu itu.
Bukannya suudzon, tapi ... aku hanya masih belum bisa menerima pernikahannya dan Farida.
"Jaga adikku baik-baik!" Kalimat itu keluar begitu saja dari bibirku.
Sempat kulihat ia hanya mengangguk pelan.
Kemudian aku bergegas masuk ke dalam taksi yang akan mengantar kami ke bandara. Bang Fahri dan keluarganya sudah menunggu di dalam.
Aku memandang mereka yang mengiringi kepergian kami. Bahkan ketika mesin beroda empat itu bergerak perlahan, kulihat Umar menyeka sudut matanya, dan mencoba terenyum meski terlihat sekali kalau itu dipaksakan. Perih rasanya. Tapi aku tak kuasa berbuat apa-apa. Hanya bisa berdoa semoga mereka bahagia meskipun dada terasa sesak.
[Jaga dirimu baik-baik ... Mbak El]
Sebaris pesan yang masuk ke ponselku benar-benar membuat air mataku akhirnya jatuh. Mbak Anisa memegang tanganku erat, seolah ia tahu apa yang sedang kurasakan. Mungkin juga dia memang sudah tahu dari bang Fahri tentang apa yang sudah terjadi.
"Semua akan baik-baik saja, El. Percayalah!" lirihnya.
Aku mengigit bibir bawahku, berusaha agar luka ini tak terlalu sakit rasanya. "Tapi rasanya begitu sakit, Mbak," sahutku dengan suara hampir tak terdengar.
Bang Fahri yang duduk di depan menoleh ke belakang, lalu ia juga mengulurkan tangannya padaku dan ikut menggenggam tanganku. "Ingatlah bahwa sabar dan shalat adalah sebaik-baik penolong." Ucapnya lugas. "Ada abang dan mbak-mu yang akan membantu merawat luka itu. Kamu nggak sendiri,"
Aku hanya terdiam mendengar ucapan Fahri. Ya, hanya bang Fahri yang sangat mengerti aku. Sejak aku masih kecil ia sangat menyayangiku. Selalu melindungi dan tak sedikitpun pernah menyakitiku. Hingga kini saat kami telah dewasa, rasa itu masih sama. Ia tak pernah berubah.
Meski bang Fahri hanya abang angkat, tapi dia memperlakukan aku seperti adik kandungnya. Tidak pernah ada jarak di antara kami, bahkan kami juga pernah tidur satu kamar saat masih kecil dulu.
"Tapi aku nggak mau berhenti kuliah, Bang," ujarku diantara isak tangis, "Ayah terlalu egois, selalu mementingkan diri sendiri."
"Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Walau bagaimanapun dia orang tua kita. Kalau soal kuliahmu, masih bisa kita bicarakan nanti. Yang jelas sekarang kamu jalani saja hari-harimu seperti biasa. Minta sama Allah apa saja yang kamu inginkan." Pungkasnya.
Aku menarik napas panjang, berusaha menghentikan tangis yang masih terasa menyesak di dada. Bang Fahri benar, aku harus berusaha menjalani hari-hariku seperti biasa. Menunggu takdir yang telah digariskan untukku.
***
Satu bulan setelah aku kembali ke Jakarta, aku menjalani kehidupan ku seperti biasanya. Kuliah, dan juga menjaga Azka, keponakan ku. Kebetulan hari ini mata kuliah ku tidak terlalu banyak, jadi aku bisa pulang lebih awal setelah sholat zuhur di musholah.
Aku lihat mbak Anisa memasak banyak makanan. Meja makan juga hampir penuh. "Kenapa Mbak masak banyak sekali? Apakah akan ada tamu?" tanya ku.
Mbak Anisa membawa tumis kangkung ke meja makan. "Kamu belum tahu, ya? Hari ini Habib dan Umar akan datang. Sebenarnya mereka sudah datang dari kemarin, hanya saja mereka menginap di hotel," jawab mbak Anisa dengan senyum ramah khas-nya.
"Mau apa mereka kemari?"
"Katanya mereka mau belanja keperluan untuk persiapan pernikahan kamu dan Habib."
Tenggorokan ku terasa tercekat. Persiapan pernikahan? "Apa tanggal pernikahan sudah di tetapkan?" tanya ku pula.
"Sudah. Semalam abang mu bilang tanggal ..." Mbak Nisa berusaha mengingatnya. "Ah, Mbak lupa. Coba nanti kamu tanyakan sendiri sama abangmu. Sekarang dia sedang menjemput Habib dan Umar di hotel," imbuhnya.
Aku merasa tidak percaya dengan ini. Aku segera naik ke atas menuju kamar. Aku memandang diri ku dalam pantulan cermin. Masih ada pertanyaan tentang kenapa Habib mau memilih ku sebagai istrinya. Padahal, aku tidak memiliki kelebihan apa-apa.
Lelah dengan semua itu, aku memutuskan untuk tidur tanpa mau berganti baju. Tidur siang mungkin bisa membuat perasaanku lebih tenang.
Aku merasa baru sebentar memejamkan mata, tapi mbak Anisa sudah membangunkan ku.
"El, kamu kecapekan atau bagaimana? Tidur siang sampai tidak ganti baju begini," katanya.
Dengan malas, aku bangkit lalu nyengir menatap mbak kesayangan ku ini.
"Sana mandi, Habib dan Umar sudah datang."
Aku pun mengernyit. "Terus? Apa kita mau makan siang bersama?" tanya ku bingung.
"Tentu saja tidak, mereka bahkan sudah selesai makan siang dari tadi dan sekarang sedang ngobrol di depan sama abang mu." Kata mbak Anisa. "Mbak bangunin kamu, karena Azka minta di antar ke toko buku. Dari tadi dia udah nungguin kamu di bawah,"
"Oh, iya. El lupa, hari ini El janji mau antar Azka ke toko buku," ujar ku mengingat janji ku pada si kecil Azka.
"Ya sudah, cepat siap-siap. Kasihan dia sudah menunggu ammah-nya dari tadi."
Aku mengangguk dan segera bangun dari tempat tidur. Aku bergegas mandi dan berganti pakaian. Gamis panjang berwarna pastel menjadi pilihan ku sore ini. Dengan segera, aku turun ke lantai bawah.
Ada bang Fahri, Habib dan juga ... Umar di ruang tamu. Mereka tersenyum memandang ku. Termasuk Umar yang juga tersenyum tipis padaku. Rasanya canggung sekali, tapi inilah situasi kami sekarang. Sementara Habib hanya melihat ku sekilas saja, dia benar-benar menjaga pandangannya terhadap yang bukan muhram.
"Bang, El pamit dulu ya. Mau antar Azka ke toko buku," pamit ku pada bang Fahri.
"Iya, hati-hati ya."
Aku mengangguk. "Umar, Mas Habib, El permisi. Assalamualaikum," pamit ku pada kedua pria lain di ruang tamu itu.
Tak mau berlama-lama, setelah mendengar jawaban mereka, aku langsung neloyor ke luar. Azka sudah duduk manis di motor matic merah milik ku. Agaknya dia sudah tidak sabar untuk segera pergi ke toko buku.
"Elyana!" Suara itu menghentikan gerakan tangan ku yang baru saja hendak memakai helm half face.
"Ada apa?" tanya ku.
"Maaf kalau saya lancang, tapi saya sudah ijin sama abang mu tadi," katanya menjelaskan. "Saya hanya ingin menanyakan sesuatu, karena kamu sama sekali tidak bicara saat kita bertemu kemarin," katanya lagi.
"Eum ... ya, silahkan. Tapi cepat ya, karena Azka sudah menunggu sejak tadi. Kasihan dia," jawab ku.
"Oh, kalau begitu nanti malam saja saya tanyakan setelah kamu pulang." Putusnya pada akhirnya.
Aku pun mengangguk dan segera pergi. Padahal hati ini juga sudah penasaran dengan pertanyaan yang akan di ajukan Habib.