Tanganku meraba sisi ranjang sebelah kiri, tempat biasa Habib tidur. Tapi aku tidak merasakan tubuh kekar suamiku di samping sini. Saat aku membuka mata, aku terkejut, ternyata Habib sudah tidak ada di tempat.
Aku kembali menelusuri ruang tidur yang aku gunakan sekarang. Oh, aku baru ingat kalau tadi malam aku menginap di rumah bang Fahri bersama Habib. Dan aku rasa, Farida dan suaminya juga menginap.
Aku tidak tahu Habib kemana, tapi aku memutuskan untuk mencuci muka terlebih dahulu sebelum mencarinya. Aku masuk ke kamar mandi dengan kaki kiri setelah membaca do'a.
Di wastafel, aku mencuci muka. Namun aku di buat terkejut saat ada bayangan Habib di cermin. Untuk pertama kalinya, aku melihat Habib telanjang dada. Dan situasinya sangat tidak tepat, masa iya di kamar mandi.
"Ma—maaf," ucapku gugup lalu keluar.
Tapi Habib berhasil menarik tanganku dan kembali ke posisi semula dengan tangannya yang mengurung ruang gerakku. Dadanya begitu dekat, hampir tidak ada jarak di antara kami sampai aku bisa mendengar suara detak jantungnya yang cukup kuat.
"Kenapa menunduk? Tidak mau melihat suami mu ini?" tanya Habib.
Jelas saja aku menunduk, aku malu. Padahal dia yang tidak pakai baju, tapi aku yang malu. "A—aku ... aku mau keluar. Maaf karena mengganggu Mas mandi, habisnya pintu tidak kunci," kata ku masih tertunduk malu.
"Baiklah, silahkan keluar." Aku langsung menatapnya.
Aku kira dia tidak akan melepaskan ku. Atau mungkin akan melakukan hal yang menurutku wajar di lakukan suami istri. "Mas membiarkan ku pergi? Apa Mas tidak mau ..."
"Mas tidak akan memintanya sebelum kamu benar-benar bisa melupakan Umar," potongnya.
Bibirku melengkung ke bawah. "Maaf," sesalku.
"Ini masih pagi dan kamu sudah minta maaf tiga kali." Habib tersenyum memandang ku.
Aku semakin gugup, apalagi dadanya begitu dekat dengan wajahku. Rasanya aku ingin teriak, tapi malu. Akhirnya aku minta ijin keluar dan dia membiarkan ku pergi.
Hah, rasanya malu sekali. Padahal dia suamiku, tapi kenapa aku harus malu? Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranku. Tapi, ucapan Habib barusan mengingatkan ku pada Umar. Habib benar, aku harus segera menghilangkan Umar dari hatiku agar tidak ada lagi memiliki sekat antara aku dan Habib.
Hari masih jam setengah enam pagi, aku memutuskan untuk menghirup udara segar di kebun belakang rumah bang Fahri. Di sana ada banyak pohon buah-buahan, seperti rambutan, jeruk, mangga, jambu dan kelapa.
Aku menarik napas panjang, berusaha menghirup sebanyak-banyaknya oksigen ke dalam tubuh.
"Sedang apa?"
Aku terperanjat mendengar suara itu. Suara yang sangat familiar dan tentunya aku kenal. "Kamu sendiri sedang apa? Mengikuti ku?" tanya ku sewot.
Dia menggeleng. "Tidak, aku memang berniat kemari setelah sholat subuh," jawabnya.
Aku berjalan menjauhinya. Tapi dia terus mengikuti ku. Aku mulai merasa tidak nyaman, aku takut mbak Anisa atau bang Fahri memergoki aku dan Umar sedang berduaan di kebun. Yang lebih parah lagi, Farida. Dia akan salah paham nanti.
"Jangan ikuti aku, nanti ada syaitan," tegasku.
"Bagaimana kabarmu? Apa rumah tanggamu baik-baik saja?" Umar malah mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku baik, rumah tanggaku juga baik," jawab ku simpel.
Kami sama-sama terdiam setelahnya. Aku merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk kembali masuk ke rumah. Lagi pula, matahari sudah mulai naik. Aku takut, Habib mencari tehnya karena belum aku buatkan.
Tapi Umar mencekal tanganku. "Tunggu!" ucapnya.
"Tolong jangan seperti ini, Umar. Aku takut, kalau Habib atau Farida melihat kita, mereka akan salah paham. Aku tidak mau membuat Farida bersedih," kataku menghempaskan tangannya.
Aku kembali melangkah. Aku terkesiap saat sebuah tarikan begitu kuat menarik ku ke dekapan Umar. Buah kelapa tua hampir saja mengenai kepala ku, untung saja Umar cepat menarik ku. Jika tidak, bisa jadi aku sudah geger otak.
"Astaghfirullah, Umar. Kamu nggak seharusnya melakukan itu, nanti kalau ada yang lihat bagaimana?" sanggah ku melepaskan tangannya yang sempat ada di pinggang ku.
"El, aku hanya ingin menyelamatkan mu. Bagaimana jika buah kelapa itu mengenai kepalamu?" protes Umar peduli.
"Sudahlah jangan banyak alasan, kita sudah sama-sama punya pasangan. Anggap saja kita tidak pernah punya hubungan sebelumnya, lupakan masa lalu dan jangan pernah coba dekati aku lagi," ucapku sedikit meninggikan nada bicara.
Aku tidak suka berada di situasi seperti ini. Ini hanya akan membuat hatiku semakin sulit melupakan Umar. Bahkan sentuhannya juga masih terasa di tubuhku. Ya, Allah. Apa yang sudah aku lakukan?
"El, tidak boleh kah aku merindukan wanita yang pernah aku cinta?"
"Cinta? Itu masa lalu, Umar. Sekarang kamu adalah adik iparku, di antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Tolong, jangan mempersulitku untuk melupakan mu!" tegas ku.
"Mbak El!" Sebuah teriakan datang dari arah pintu belakang rumah yang tak lain berasal dari Farida.
Aku terkejut, sangat terkejut. Yang ada di kepalaku hanyalah pemikiran tentang apa yang di pikirkan Farida saat melihatku dan Umar berdua di kebun belakang. Adikku menangis, air matanya keluar deras sekali.
"Kalian jahat! Kalian mengkhianatiku!" umpat Farida lalu berlari masuk ke dalam.
Tidak! Ya, Allah! Bagaimana ini? Aku tidak bisa membiarkan Farida dengan asumsinya tentang aku dan Umar. Aku pun meninggalkan Umar dan mengejar adikku. Dia masuk ke dalam kamar dalam keadaan menangis.
Mbak Anisa yang melihat kami berlarian jadi ikut khawatir. Pasalnya, Farida sedang hamil dan dia tidak boleh stres. Aku akan merasa sangat bersalah jika sampai terjadi sesuatu padanya.
"El, ada apa ini?" tanya mbak Anisa.
"Mbak, tolong El. Farida salah paham sama El dan Umar. Sekarang dia pasti kecewa, aku takut itu mempengaruhi kandungannya," ucapku memohon.
Ku dengar tangisan Farida semakin menjadi-jadi di dalam sana. Aku pun jadi ikut menangis, aku yakin Farida sudah salah paham.
"Farida! Keluarlah, Mbak mau bicara. Mbak bisa jelaskan semuanya!" seru ku sambil bersandar di daun pintu yang tertutup.
"Mbak jahat! Selama ini Mbak dan Mas Umar ternyata memiliki hubungan di belakang ku! Kalian pengkhianat!" teriak Farida dari dalam kamar.
Aku sungguh tidak tahu harus bagaimana. Bingung harus menjelaskan seperti apa, sementara Farida tidak mau mendengar penjelasanku. Bahkan Umar pun tidak di dengarnya. Kami sudah berusaha, tapi Farida tetap menutup telinga.
"Ini semua gara-gara kamu, Umar. Kamu lihat sekarang, adikku sendiri menyebutku pengkhianat! Apa yang harus aku lakukan?" lirih ku pada Umar.
"El, maafkan aku. Aku tidak—"
"Umar! Seharusnya kamu bisa membujuk Farida, kasihan dia! Mbak takut kandungannya kenapa-napa," omel mbak Anisa memotong ucapan Umar.
"Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa, Mbak. Farida tidak mau mendengarkan penjelasan siapapun, apa yang bisa aku lakukan?"
"Memang tidak ada yang bisa kalian lakukan! Seharusnya kalian tidak usah punya hubungan sejak awal." Mbak Anisa tampak sangat marah. "Sebaiknya kalian pergi! Mbak akan masuk ke kamar dengan kunci serep, dan Mbak harap kalian bisa menyelesaikan masalah kalian setelah ini."
Untuk pertama kalinya, aku melihat mbak Anisa marah. Dia juga meninggikan nada bicaranya pada ku. Dalam keadaan seperti ini, aku semakin terluka. Sekali lagi, Farida di bela. Mbak Anisa membentak ku dan Umar. Hati ini rasanya sakit sekali, aku tidak sanggup lagi.
Aku berlari menuju kamar tanpa mempedulikan Umar. Aku sempat berpapasan dengan bang Fahri, tapi aku langsung masuk ke kamar. Ku lihat Habib sedang duduk di tepi ranjang sambil menatapku. Air mataku luruh, aku tidak sanggup melihat Habib. Aku tidak tega jika dia harus ikut terluka karena kesalahpahaman tadi.
"Sini, duduk.." Habib menepuk kasur di sebelahnya, menyuruh ku duduk.
Aku menurut. Habib memelukku erat. Lagi-lagi tangisku pecah di pelukannya. Aku kira dia akan marah, tapi ternyata dia malah menguatkan ku. Aku semakin merasa bersalah.
"Tenanglah, Farida akan baik-baik saja."