Chereads / Elyana : Jodoh Dari Allah / Chapter 12 - SALAH PAHAM 2

Chapter 12 - SALAH PAHAM 2

"Gimana, Mbak?" tanyaku cepat setelah melihat mbak Anisa keluar dari kamar Farida.

Sudah dua jam lebih Farida mengurung diri di kamar. Dia bahkan tidak mau sarapan ataupun bertemu dengan Umar, apalagi aku. Hal ini membuatku sangat khawatir padanya. Aku takut dia kenapa-napa, atau kandungannya bermasalah.

"Farida sudah tidur, tadi dia kelihatan capek setelah menangis. Mbak tidak tega, jadi Mbak suruh dia tidur," jawab mbak Anisa.

"Apa dia masih marah padaku?"

"Jelas saja dia marah, katanya dia melihat kamu dan Umar sedang berduaan di kebun belakang. Dia cemburu, El," kata mbak Anisa menjelaskan perasaan Farida.

Aku menggeleng. "Mbak, tolong percaya sama El. El dan Umar tidak ada hubungan apa-apa, tadi kami hanya—"

"Sudahlah, Mbak capek. Dari tadi pagi juga belum sarapan, Mbak makan dulu ya." Mbak Anisa pergi begitu saja tanpa mendengar penjelasanku.

Apa ini? Apa mbak Anisa juga marah padaku? Tapi aku dan Umar sungguh tidak ada apa-apa. Yang terlihat bukan seperti yang terjadi sebenarnya. Aku ingin menjelaskan itu pada mbak Anisa, tapi dia kelihatan masih kecewa sampai aku memutuskan untuk membicarakan ini lagi nanti.

Aku kembali ke kamar dan mendapati Habib sedang sibuk dengan ponselnya. Tadi dia juga sempat cuek pada ku, aku yakin dia pasti salah paham juga.

"Mas, Mau aku bikinkan teh?" kataku menawarkan.

"Tidak usah." Hanya itu jawaban singkat darinya.

Air mata ini kembali jatuh, tapi cepat aku usap kasar. "Baiklah, kalau perlu apa-apa jangan lupa panggil aku." Aku segera keluar dari kamar dengan perasaan hancur.

Di balik pintu, aku menangis tanpa suara. Hati ini sakit, sesakit-sakitnya. Mbak Anisaa cuek, Habib juga mulai dingin, apalagi Farida yang sama sekali tidak mau memandang wajahku. Apakah aku sehina itu di mata mereka? Kenapa mereka tidak mau mendengarkan penjelasaanku dulu?

Saat jam makan siang, aku memasak untuk semua orang. Bang Fahri juga baru pulang kerja, Habib masih di kamar dan Umar entah di mana. Mbak Anisa juga di kamar, menemani Farida.

"Bismillah, semoga dengan masakan ini, mereka mau makan. Aku lihat banyak yang melewatkan sarapannya tadi," ujarku melihat beberapa menu makan siang yang aku masak.

"Assalamu'alaikum!"

Kudengar seruan salam dari arah pintu. Bel rumah juga berbunyi berkali-kali seiring dengan ucapan salam. Aku ingin membuka pintu, tapi Farida sudah berlari dan lebih dulu sampai di pintu utama.

"Bunda.!" Seru Farida memeluk sosok yang muncul di balik pintu.

Aku terkejut, sangat. Bagaimana bisa tiba-tiba ayah dan bunda datang dari Bandung ke Jakarta? Mereka juga tidak memberi kabar atau menelpon.

Mbak Anisa yang baru saja sampai di bawah, segera menghampiri mertuanya. Mereka bercengkrama layaknya anak dan orang tua. Aku tidak mendengar jelas apa yang mereka bicarakan karena posisiku masih ada di dekat meja makan.

"Mana Elyana?" Suara ayah terdengar jelas.

Farida menunjukku yang berdiri mematung. Kulihat ayah menghampiriku. Aku bersiap untuk memeluknya, aku juga rindu padanya. Langkah ayah semakin cepat, aku pun semakin cepat berlari menghampiri ayah, namun ....

Plak.!

Sebuah tamparan keras aku dapatnya sebagai salam pertemuanku dan ayah. Pipiku langsung memerah dengan bekas lima jari.

"Ayah!" seru bunda mendekati ayah.

"Berani sekali kamu merusak kebahagiaan adikmu! Kakak macam apa kamu ini?! Kamu sudah punya suami, tapi masih saja menggoda suami orang. Padahal Umar adalah adik iparmu sendiri!" Terlihat jelas ada kemarahan dalam nada bicara ayah.

Detik itu juga aku menangis. Air mata seakan tak punya bendungan lagi untung menahannya. Ternyata, Farida sudah mengadu pada ayah dan bunda tentang masalah tadi pagi. Dasar pengadu!

"Ayah menikahkan kamu dan Habib, dengan tujuan agar kamu bisa melupakan Umar! Tapi nyatanya apa? Kamu bahkan datang ke sini setelah Umar dan Farida menginap lebih dulu. Pasti itu rencanamu untuk menggoda Umar, 'kan?!" bentak ayah lagi.

"Tidak, Yah! Itu semua tidak benar, aku sama sekali tidak sepeti yang Ayah pikirkan. Aku dan Umar tidak ada apa-apa, sungguh!" kataku membela diri.

"Mbak El tidak usah mengelak! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Mbak El menyebut-nyebut kalimat cinta pada mas Umar. Kalian berkhianat di belakang ku!" bantah Farida.

Jika aku mau, aku bisa saja menampar Farida detik itu juga. Aku sudah lelah dengan semua kesalahpahaman ini. Aku terus-terusan menjadi korban dan Farida selalu mendapat perhatian. Kenapa mereka tidak mencoba bertanya apa yang sebenarnya terjadi? Setidaknya dengarkan dulu penjelasanku.

"Ayah, itu semua tidak benar. El tidak menggoda Umar, yang Farida katakan tidak benar," kataku memelas. "Bunda ... Bunda percaya pada El, 'kan? El tidak mungkin mengkhianati adik El sendiri," ucapku pula pada Bunda dengan bercucuran air mata.

"Tidak usah banyak alasan Elyana! Ayah dan Bunda sudah dengar sendiri ceritanya dari Farida, kamu benar-benar keterlaluan!" bentak Ayah.

"Ayah, tolong jangan terlalu kasar pada El." Bunda memegang lengan Ayah, berusaha meredam amarah lelaki itu.

Apa lagi yang bisa aku lakukan selain menangis? Sudah tersiksa batin, sekarang fisikku pun di serang. Ayah menamparku lagi sambil mengataiku sebagai wanita penggoda. Entah setan apa yang merasuki ayahku hari ini, tapi dia kelihatan sangat marah.

Dia bahkan tidak memberi kesempatan padaku untuk bicara. Saat Umar datang, ayah tidak lagi menceramahiku. Tapi tatapannya tentu tidak pernah lepas dari tubuh ini.

"Ingat, El! Umar itu suami Farida, adikmu sendiri. Dan dia sekarang sedang hamil, bisakah kamu menjaga perasaannya?"

"El tidak melakukan apapun, Ayah. Percayalah! El dan Umar tidak ada hubungan apapun selain kakak dan adik ipar." Aku masih berusaha meyakinkan Ayah akan statusku dan Umar yang sebenarnya. Air mata terus mengalir deras seperti sungai di bawah mata.

"Mbak El jangan mengelak terus! Aku melihatnya sendiri, Mbak!" sungut Farida sambil mendorongku.

Aku tidak menyangka dia akan sekasar ini padaku. Untungnya ada bang Fahri yang cepat datang dan menopang tubuhku, kalau tidak, mungkin aku jatuh kebelakang.

"Farida! Jaga sikapmu," tukas bang Fahri.

Farida hanya merengut dan memeluk Bunda. Aku lihat bunda sama kecewanya seperti Ayah, hanya saja dia tidak berani menceramahiku. Sedangkan mbak Anisa? Dia terlihat takut dengan amukan ayah, sampai dia tidak berani buka suara. Umar sendiri hanya bisa terdiam, tanpa melakukan apapun atau berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

"Sudahlah! Tidak ada gunanya bicara sama Elyana. Ayo kita ke dalam," ajak Ayah pada semua orang termasuk Umar.

Aku semakin merasa di permainkan. Tadi Umar yang memaksa untuk bicara sampai kami terlibat perdebatan kecil, tapi sekarang? Dia malah diam seribu bahasa seperti orang bisu. Apa ini caramu menjatuhkan ku, Umar?

Ku alihkan pandangan ke atas, ada Habib yang menatapku iba. Sepertinya dia juga sudah tau semuanya. Tapi dia tidak berani mendekat. Kenapa semua orang jadi penakut? Aku hanya bisa menangis, sendirian.

"El ..."

Aku tidak mau mendengar ucapan bang Fahri. Hati ini terlalu sakit setelah menerima hinaan dari ayah. Aku berlari keluar rumah dan duduk di teras. Tangisku lagi-lagi pecah saat bang Fahri datang dan memelukku.

Seperti biasa, dia selalu menjadi tempatku mengadu segala keluh kesah.

"Menangislah, El. Menangislah kalau itu membuatmu merasa lebih baik." Bang Fahri mengusap kepalaku dengan lembut.

"Kenapa, Bang? Kenapa semua orang berpihak pada Farida? Kenapa semua orang membela Farida dan tidak peduli padaku?" tanyaku dengan suara serak bercampur air mata.

"Tidak, El. Mereka tidak membela Farida, mereka hanya tidak ingin Farida merasa kecewa. Kamu tahu, 'kan Farida sedang hamil? Makanya dia di manja."

"Tapi ini tidak adil, Bang! Farida selalu di sayang, semua orang akan membelanya. Dia selalu di nomor satukan, ini tidak adil! Ayah menamparku karena Farida, Bang. Ayah hanya sayang Farida!" Derai tangis dan air mata membasahi baju bang Fahri. Biarlah, dia juga tidak marah.

"Jangan bicara seperti itu, El. Ayah sayang pada El, sangat sayang. Cobalah mengerti posisi ayah sekarang. Dia hanya tidak mau Farida sedih karena kejadian ini."

Aku tidak bisa menjawab lagi selain dengan tangisan. Aku bersyukur karena selalu ada bang Fahri yang menampung air mataku. Kesedihan ini tidak sanggup aku tanggung sendiri jika tidak ada dia.

"Abang ...."