Chereads / Elyana : Jodoh Dari Allah / Chapter 6 - MAHAR

Chapter 6 - MAHAR

Baru saja aku menyelesaikan tilawah saat terdengar tiga lelaki itu kembali dari masjid untuk menunaikan shalat Isya.

[Maaf Elyana, sepertinya tidak memungkinkan untuk kita bicara, karena sudah malam, besok kami pulang jadi harus segera siap-siap. Mungkin pertanyaannya Mas simpan saja sampai kita menikah nanti, akan lebih leluasa untuk kita bicara dan tidak ada syaithan yang akan ikut campur. Mas pamit dulu, jaga diri dan jangan suka keluyuran. Ini Jakarta, tidak baik untuk wanita sepertimu sering keluar tanpa mahram begitu. Oh ya, ada hadiah kecil untukmu, Mas titipkan sama bang Fahri. Assalaamu'alaikum]

Beberapa baris pesan tertera di layar ponselku. Meski nomor itu tidak kukenal, tapi aku yakin itu adalah Habib. Tak ada niat untuk membalas pesan itu, hingga ponsel kuletakkan kembali di atas tempat tidur. Menarik napas dan mengembuskannya perlahan.

"Dia bilang aku keluyuran? Memangnya aku wanita apaan?" Desisku kesal.

[El, aku pamit ya. Jaga diri baik-baik]

Satu pesan singkat dari Umar. Ah, lagi-lagi dia! Tak bisakah dia bersikap cuek padaku? Nggak usah gini juga, pake pamit segala. Bikin nyesek aja!

Kembali tak ada niat untuk membalas. Aku lebih memilih mengutak atik laptop untuk mengerjakan beberapa tugas kuliah. Dari pada pikiranku tertuju pada adik iparku itu lagi.

***

"El, abang masuk ya?" Terdengar suara bang Fahri tak lama setelah aku menaruh ponsel.

"Iya bang, masuk aja nggak di kunci."

Dan bang Fahri pun muncul, ditangannya ada sebuah kotak kado yang cukup besar. Padahal, aku Habib bilang kado kecil. Tapi kotaknya besar.

"Kamu nggak makan dulu?"

"Tadi udah makan di luar sama Azka," sahutku sambil tetap memainkan jari-jariku di atas keyboard.

Bang Fahri mendekat dan menyodorkan kado yang tadi di bawanya.

"Habib menitipkan ini untukmu tadi." Aku menatap lekat kado itu. Dengan ragu mengambilnya dari tangan bang Fahri.

"Pernikahanmu dua minggu lagi."

"Iya. El tau," sahutku pelan tanpa memandang wajahnya.

Terdengar helaan napasnya. Lalu ia mengusap kepalaku. "Semua akan baik-baik saja," ucapnya.

"Oh ya, tadi abang sempat menanyakan perihal kuliahmu pada Habib. Katanya biar itu di bicarakan setelah menikah, karena itu akan jadi urusan kalian berdua nantinya."

"Iya Bang, nggak apa-apa. Terima kasih," ucapku.

"Ya sudah, abang mau tidur dulu. Ngantuk banget. Kamu juga tidur, jangan begadang, bentar lagi mau jadi pengantin," selorohnya.

"Apaan sih!" Hampir saja lengannya kucubit kalau saja ia tak berhasil menghindar. Kemudian tubuhnya hilang di balik pintu kamarku.

Suasana kembali hening. Kupandangi kado yang terletak di atas mejaku. Perlahan aku membuka tutupnya. Dan ... MaasyaaAllah! Mataku membesar saat melihat isinya. Sepasang gaun pengantin ala India muslim berwarna maroon kombinasi gold. Ini pernah kulihat disebuah olshop dan harganya lumayan, jutaan. Dan sekarang benda itu ada di hadapanku. Amran memberikan ini untukku? Bagaimana dia tahu tentang pernikahan impianku?

Ada secarik kertas kecil terselip di dalamnya.

'Aku tahu tentang pernikahan impianmu dari bang Fahri beberapa hari yang lalu. Dan aku sengaja datang ke Jakarta hanya untuk mencari gaun ini. Pakailah disaat hari pernikahan kita, aku ingin melihatmu dengan gaun ini setelah ijab qabul di ucapkan.'

Aku tersenyum senang. Air mata menetes begitu saja, entah karena apa. Tapi aku senang, meski tidak ada cinta ataupun pacaran seperti muda-mudi pada umumnya, Habib tampak benar-benar serius pada ku.

Aku tidak sampai hati kalau harus mengkhianatinya seperti ini. Hati ku masih milik Umar, aku belum bisa melupakannya. Apa kata Habib nanti, seandainya dia tahu kalau calon istrinya ini tidak menerimanya sepenuh hati?

***

Habib : [El, Mas harap kamu suka dengan hadiahnya. Oh ya, Mas lupa bertanya, kamu mau mahar apa? Mumpung Mas masih di jakarta, siapa tahu masih bisa Mas penuhi malam ini. Takutnya kamu minta mahar yang susah di cari lagi]

Aku : [Jika aku meminta hafalanmu, tentu sangat mudah bagimu kan? Bagaimana kalau aku meminta ...] aku menggantung kalimatku sambil berpikir.

Habib : [Apa El?]

Aku : [Kembalikan kebahagiaanku]

Habib : [Apa maksudmu? Apa kamu tidak bahagia dengan rencana pernikahan kita?]

Aku : [Wanita mana yang tidak bahagia jika dapat bersanding dengan laki-laki seperti Mas Habib?]

Habib : [Jangan bercanda terus Elyana, Mas serius. Kamu mau mahar apa? ]

Aku : [Tanyakan pada Umar, mahar apa yang dia berikan pada Farida, maka aku juga mau yang seperti itu]

Habib tak lagi membalas. Pesanku hanya dia baca. Aku menghela napas, kembali ada sesak di dalam dada.

'Apa yang barusan kulakukan? Meminta sesuatu yang sama dengan Farida? Konyol sekali rasanya tindakanku. Ah tapi biar saja, aku juga tidak tahu apa yang diberikan Umar pada Farida sebagai mahar. Soalnya waktu mereka ijab qabul, aku tak begitu mendengar dengan jelas, sebab ijab qabulnya menggunakan bahasa arab. Dan aku pun tak mau tahu.'

Aku tersenyum. Pahit. Lalu merebahkan diri di ranjang. Menikmati masa-masa lajang yang sebentar lagi akan segera berakhir dan memulai hidup baru dengan laki-laki yang belum pernah kukenal sama sekali. Apakah aku akan sanggup?

[Maaf El, Mas tidak bisa memberikan mahar seperti yang di berikan Umar untuk adikmu]

Akhirnya setelah 15 menit Habib membalas pesanku.

Aku : [Kenapa?]

Habib : [Kamu konyol sekali. Bagaimana mungkin aku harus mencari cincin Rubi di Arab?]

Aku tertawa geli membayangkan ekspresi wajah Habib. Tanpa aku sadari, aku sudah tertawa hanya dengan berbalas pesan dengan Habib. Dan tawa yang aku rasakan sangat nikmat, seperti ada beban yang baru saja lepas.

Habib : [ Jangan mempersulit, El]

Aku : [Ya sudahlah, aku juga nggak mau menyusahkan. Aku akan terima apa saja mahar pemberianmu]

Habib : [Alhamdulillaah ... baiklah, terima kasih El]

Semua bukan berarti aku sudah bisa menerimamu begitu saja Habib. Masih butuh waktu bagiku. Dan aku juga ingin meminta bantuan padamu, agar aku bisa segera melupakan Umar setelah kita sah nanti.

***

[Mbak, El. Aku hamil!]

Aku ambruk seketika setelah membaca pesan dari Farida. Kaki ku lemas dan tubuh ini meluruh ke lantai, tak lupa air mata juga ikut membanjiri wajah. Apa ini?! Jika memang pernikahan Umar dan Farida hanya karena sebab kesalahan saat lamaran, kenapa Farida bisa hamil?

Ini jelas bukan kesalahan. Umar memang sudah mengkhianati ku. Aku balas pesan itu dengan ucapan syukur, tapi hati ini menangis penuh duka. Jiwa ku berteriak marah. Rasanya sakit sekali.

'Farida, beruntungnya dirimu. Apalagi sudah ada benih milik Umar di rahimmu. Hasil buah cinta kalian berdua. Entah aku harus bahagia atau sedih, karena lelaki itu telah menunjukkan kalau dia mencintaimu. Dan pastinya, karena kehadiranmu di sampingnya setiap saat, akan membuatnya lupa kalau seharusnya aku yang mendampinginya.'

Kuusap setetes air mata yang mengalir di sudut netra. Air mata yang sama sekali tak ada gunanya. Karena mulai sekarang aku harus meyakinkan diri, bahwa Umar bukan jodohku dan Habib ... mungkin dialah jodohku. Meskipun butuh waktu untuk bisa menerimanya.