Chereads / Elyana : Jodoh Dari Allah / Chapter 15 - PESAN DARI UMAR

Chapter 15 - PESAN DARI UMAR

Salah satu hadits yang di riwayatkan oleh imam Al-Bazaar berkata, "Siapa yang mencintai seseorang karena Allah, kemudian seseorang yang di cintainya itu berkata, "Aku juga mencintaimu karena Allah." Maka keduanya akan masuk surga. Orang yang lebih besar cintanya akan lebih tinggi derajatnya dari pada yang lainnya. Ia akan di gabungkan dengan orang-orang yang mencintai karena Allah."

Aku merinding saat membaca salah satu hadits di buku yang Habib pinjamkan padaku. Aku pikir, ini hadits biasa. Tapi begitu aku baca, banyak hadits yang sepertinya menyinggung rumah tanggaku dan Habib.

"Mas, maksud kamu apa memberikan buku hadits ini padaku?" tanyaku pada Habib saat sarapan bersama.

"Tidak ada maksud apa-apa, hanya untuk menambah wawasanmu saja."

"Yakin? Bukan karena kamu menyindir ku?" tanyaku memastikan.

"Yakin, El. Memangnya kenapa?" Aku menggeleng lemah.

Kami kembali melanjutkan sarapan. Tidak ada lagi yang berani bersuara selain suara dentingan sendok dan piring. Habib pun tampak sesekali menyeruput teh hangat yang aku buatkan untuknya. Sampai pada akhirnya, ada sebuah pesan masuk ke ponselku.

Umar? Mau apa dia?

[El, hari ini aku akan ke Jakarta. Ada sesuatu yang harus aku urus di sana, setelah jam makan siang, apa kita bisa bertemu?]

Isi pesan itu membuat jariku gatal. Ingin sekali aku membalasnya dengan kata-kata kasar. Tapi aku tidak mungkin melakukan itu, sebagai wanita, aku masih harus menjaga tata krama.

"Siapa, El?"

Aku terkesiap saat Habib bertanya. Gugup, aku kembali menaruh ponsel di atas meja. "Bukan siapa-siapa, Mas." Astaghfirullah, aku bahkan sampai berbohong pada Habib.

Aku kembali melanjutkan sarapan. Habib juga tidak lagi bertanya mengenai pesan itu. Tapi pikiranku terus melayang-layang ke pesan itu. Tidak mungkin Umar datang ke Jakarta karena ada urusan lain, sebab dia tinggal di Bandung bersama ayah dan bunda.

Lagi pula, dia harus mengurus pesantren milik abinya. Tapi aku juga kurang tau kalau memang dia ada keperluan di Jakarta.

Aku dan Habib berangkat ke kampus bersama setelah sarapan selesai. Di mobil, kami sama-sama terdiam dan fokus pada kegiatan masing-masing. Sementara Habib fokus menyetir, aku pun fokus membaca buku hadits yang dia pinjamkan tadi.

[Aku tunggu kamu di caffe dekat kampus]

Sebuah pesan kembali masuk. Ini gila, benar-benar gila. Kenapa Umar tidak mengerti juga? Jika aku tidak membalas pesannya, bukankah itu sudah menjadi sinyal penolakan? Tapi kenapa dia masih saja ingin berusaha menemuiku?

"Pesan dari siapa, El?" tanya Habib melirik ku.

"Bukan dari siapa-siapa, Mas. Tidak penting," jawabku.

Aku kembali melanjutkan kegiatan membaca buku, meski pikiran melanglang buana menuju ke satu nama, Umar. Aku tahu ini salah, tidak di benarkan seorang istri memikirkan lelaki lain di saat sedang bersama suami. Tapi aku bisa apa?

Bahkan saat kelas di mulai pun, aku masih terus kepikiran dengan pesan Umar. Arkh! Kenapa dia selalu memenuhi kepalaku?

"El, kapan kamu punya anak?"

Aku terkejut mendengar pertanyaan Ayu. Teman sekampusku ini memang kadang suka asal bicara tanpa di saring dulu, seperti netizen saja.

"Kenapa bertanya seperti itu?" tanyaku pula.

"Karena kamu sudah menikah satu bulan lebih, tapi belum ada tanda-tanda. Apa jangan-jangan ..."

"Jangan berpikiran yang macam-macam. Tidak baik," potong ku cepat karena Ayu sudah mulai ngawur.

"Tapi, pernikahanmu dan pak Habib baik-baik saja, 'kan?"

"Tentu saja, kami baik dan selalu mesra setiap hari."

Tiba-tiba Ayu memandangku aneh, seperti ada sesuatu yang dia selidiki. Dia memperhatikan sekitar, memastikan kalau tidak ada orang yang berani menguping pembicaraan kami. Aku semakin bingung dengan tingkah lakunya yang aneh.

"Kamu ini kenapa?" tanyaku.

"Ssstt ... nanti ada yang dengar."

"Memangnya kamu mau ngomong apa?"

Ayu menarik tanganku agar bisa duduk lebih dekat dengannya. Padahal kami hanya duduk berdua di bangku belakang kampus, tidak akan ada orang yang mendengar sekalipun bicara seperti biasa. Maksudku, tidak perlu bisik-bisik.

���Pak Habib normal, 'kan?" tanya Ayu berbisik.

"Maksudmu?" Aku tidak mengerti arah pembicaraan Ayu sekarang ini.

"Maksudku ... dia tidak trauma seks?" Aku langsung melempar tatapan tajam padanya.

Pertanyaan macam apa itu? Sangat tidak sopan dan kedengaran begitu mendalam. Sementara yang di tatap hanya bisa nyengir kuda sambil mengangkat dua jari.

"Jangan sembarang kalau bicara, Habib itu normal!" bantahku.

Aku menggeleng karena tak habis pikir dengan pertanyaan Ayu. Ada-ada saja, masa iya Habib tidak normal?

Aku dan Ayu kembali terdiam setelah tadi sempat beradu mulut. Setelahnya, dia pergi karena harus mengejar jadwal kelas yang kemarin sempat ketinggalan. Jadilah aku sendirian. Dan di saat itulah Habib datang, dia duduk di sebelahku sambil membawa begitu banyak buku di tangannya.

"Assalamu'alaikum," ucapnya.

"Wa'alaikumsalam."

"Sedang apa duduk sendirian di sini?"

"Tidak ada, hanya sedang duduk santai saja," jawabku enteng.

Aku memperhatikan banyak buku yang Habib bawa, bisa jadi itu adalah buku para mahasiswa yang di ajarnya. Begitu banyak dan menumpuk.

"Mas mengajar berapa kelas hari ini?" tanya ku.

Dia memutar bola mata. "Sekitar tiga kelas," jawabnya pula.

Aku mengangguk paham. Kulirik jam tangan Habib, sudah hampir jam makan siang. Biasanya, Habib akan mengajak ku makan siang bersama di caffe miliknya yang terletak tak jauh dari kampus ini. Tapi bagaimana dengan hari ini? Apakah aku harus menemui Umar atau tetap makan siang bersama Habib?

"Hari ini ada menu baru di caffe, mari kita coba!" kata Habib menarik tanganku.

"Eum ... Mas, boleh tidak, kalau aku makan di tempat lain?" tanyaku ragu.

Habib tersenyum. "Tentu saja boleh, kita bisa mencoba menu baru itu lain kali," jawabnya.

"Ah, maksudku, aku makan di tempat lain sendirian. Mas tidak perlu ikut." Bibir ini bergetar hebat saat mengatakan kalimat ini.

Habib menatapku aneh, genggaman tangannya juga perlahan melonggar. Desahan napas berat terdengar jelas setelah dia mengalihkan pandang ke arah lain.

Jujur, sebenarnya aku tidak mau melakukan ini. Tapi aku juga penasaran dengan hal yang di sampaikan oleh Umar. Aku tidak bisa membiarkan rasa penasaran ini terus menggelitik. Tapi jika memang Habib tidak mengijinkan, aku tidak akan pergi.

[Ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Ini tentang Farida]

Pesan itu, baru saja masuk ke ponselku. Dan itu juga yang membuatku semakin penasaran.

"Kamu mau bertemu dengan siapa?" tanya Habib tiba-tiba seperti sudah mengetahui sesuatu.

"A—aku ... aku hanya ingin makan siang sendirian, Mas." Bodoh! Jawaban macam apa itu?

"Mas tau, kamu pasti mau menemui Umar, 'kan?"

Tuh, kan benar. Aku sudah tidak kaget lagi karena memang itu sudah menjadi dugaanku. Aku menatap bola mata coklatnya, dia tampak begitu gagah. Melihat sepasang mata itu, membuatku tidak berani menjawab.

"Baiklah, ayo Mas antar."

"Apa?! Mas mengijinkan aku pergi?" tanyaku kaget. Jelas saja aku kaget, Habib mengijinkanku pergi?

Habib mengangguk dengan senyuman manis khas-nya. "Iya. Mas percaya padamu, Mas juga tidak akan cemburu."

"Mas yakin? Aku tidak akan pergi jika memang Mas tidak mengijinkan," cicitku lemah.

Habib memegang kedua belah bahuku, hingga kami bisa berdiri saling bertatapan. Senyumnya yang teduh selalu membuatku merasa tenang. Aku tidak tahu kenapa sampai sekarang aku masih belum mencintainya, padahal dia sangat baik.

"InsyaAllah, Mas yakin. Mas juga percaya kamu bisa menjaga pandangan," katanya kemudian.

"Tapi aku tidak mau membuat Mas terluka. Tidak apa, aku tidak akan pergi."

"Jangan, Umar sudah menunggumu di caffe. Sebaiknya Mas segera mengantarmu."

Akhirnya, aku menurut. Selagi aku mengantongi ijin dari Habib, aku rasa tindakan ku ini tidak ada salahnya. Yang salah itu Umar, dia terus-terusan menggangguku tanpa henti. Aku harap, setelah pertemuan kali ini, dia akan mengerti kalau aku tidak ingin berhubungan lagi dengannya.