Sementara itu perawat wanita tersebut unjuk senyum seribu makna kala rekannya menghilang di bawa lift ke lantai atas, di ujung lorong. Sepasang mata berkilat aneh. Bahkan, untuk sepersekian detik, kedua pupil mata berubah bentuk menjadi jauh lebih besar berwarna merah seperti nyala api. Sedangkan bagian bola mata yang seharusnya putih, tapi malah terlihat berwarna hitam pekat bergaris-garis kekuningan. Hanya sekejap, sebelum kedua bola mata itu kembali ke bentuk normal—sebagaimana dengan bentuk bola mata manusia seharusnya.
Perlahan sang perawat mundur selangkah, lalu menutup pintu ruang rawat inap tersebut dengan pelan-pelan pula. Saat ia berbalik, ia sedikit terkejut mendapati pasien yang seharusnya masih tertidur dalam keadaan koma, kini duduk di tepi pembaringan sembari meremas-remas rambut di kepala, pun, sedang menatap lurus ke arah dirinya sendiri.
"Aaah," ujar si perawat, lalu unjuk senyum lebar seolah tidak ada kejadian aneh apa pun yang terjadi di sana. "Seharusnya Anda masih berada dalam kondisi koma."
"Begitukah?" sahut Ardha Candra dengan sebelah alis bak golok yang terangkat tinggi.
Jahat sekali, pikir si laki-laki. Sekalian saja kau doakan aku biar lekas mati.
"Kapan Anda bangun?"
Tapi di mata Ardha Candra, gerak-gerik perawat yang tak lebih dari seorang gadis berusia dua puluh lima tahun tersebut sedikit mencurigakan. Belum lagi hidungnya yang terbilang mancung itu bergerak-gerak sedikit agak tidak normal. Seperti hidung seekor hewan yang sedang mengendus-endus bau makanan atau sesuatu.
"Ermm… belum lama," jawab pria itu dengan tatapan miring pada tingkah laku si perawat. "Setengah jam, kurasa."
Aneh sekali, gumam Ardha Candra di dalam hati. Atau, pengaruh obat—apa pun itu, yang masih tersisa di dalam tubuhku, hingga jadi membayangkan hal-hal aneh? Halusinasi? Yaah, mungkin saja begitu. Mana ada manusia yang memiliki hidung bisa bergerak seperti hidung tikus.
"Ada hal aneh yang Anda rasakan?" tanya perawat itu lagi. Dan melemparkan beberapa arsip di dalam map kuning di tangannya ke atas meja di sisi kiri ranjang begitu saja.
Di mata Ardha Candra, perawat yang satu ini tidak mencerminkan perilaku dari seorang perawat yang seharusnya.
Ada apa ini sebenarnya?
"Hal aneh?"
"Iya," angguk si perawat, lalu meraba kening sang pasien. "Hal aneh yang Anda rasakan, ada?"
Ragu, Ardha Candra pun menggeleng saja. Tidak ada yang aneh, kecuali tingkah lakumu yang tidak pantas.
Lalu, si perawat pergunakan kedua tangan, membekap kedua sisi samping kepala Ardha Candra.
"Baiklah," ucap si perawat.
Awalnya, Ardha Candra merasa apa pun yang sedang ingin dilakukan si perawat tentulah sesuatu yang berkenaan dengan kesehatan fisiknya, terlepas dari tingkah lakunya yang benar-benar aneh itu. Hanya saja, sekian detik berlalu dalam keadaan yang sama, sedikit demi sedikit membangun ketakutan lain di dalam diri laki-laki tersebut.
Bagaimana tidak?
Kedua tangan si perawat yang membekap sisi kepalanya dengan sangat kuat, dan semakin terasa kuat tekanan di setiap detiknya. Tapi itu belum cukup, Ardha Candra pun mendapati gerakan tak wajar dari hidung mancung si perawat itu, lagi. Lalu, kibasan sesuatu di belakang pinggul perawat tersebut. Laki-laki itu yakin sekali melihat hal ganjil yang sama sebelumnya, saat si perawat masih berdiri membelakanginya di ambang pintu tadi.
"Hei…" ujar Ardha Candra sembari mengernyitkan dahi. "Kau menyakitiku!"
Tekanan kedua tangan si perawat semakin terasa meremukkan tulang tengkoraknya, dan ini bukanlah satu hal yang biasa terjadi—setidaknya, laki-laki itu tidak pernah mendengar ada pasien yang diperiksa dengan cara seperti yang ia alami sekarang ini. Terlalu ganjil dan sangat menyiksa.
"Benarkah?" tanya si perawat seolah tidak mengacuhkan suara meringis sang pasien.
"Tentu saja!" dengus Ardha Candra, dan tekanan itu semakin menjadi-jadi. "Apa yang sedang kau lakukan? Kau ingin memecahkan tengkorak kepalaku, hah…?!"
Tidak ingin berada di bawah tekanan terus menerus, Ardha Candra pergunakan kedua tangannya, mencengkeram pergelangan tangan si perawat. Meski, tenaga yang tersalurkan belumlah maksimal, mengingat ia baru saja siuman dari koma.
Dan benar saja, kedua tangan si perawat seakan tidak mampu dilepaskan oleh Ardha Candra. Ia bahkan sampai mengeluarkan suara menggeram demi menjauhkan tangan kasar itu.
Lalu, sesuatu yang mengerikan terjadi di depan mata Ardha Candra. Sepasang mata si perawat tiba-tiba berubah menjadi berwarna merah laksana bara api, dengan bagian putihnya menjadi hitam berbintik-bintik kuning.
Ardha Candra membelalak ngeri. Lalu berteriak kencang, kembali berusaha menjauhkan kedua tangan si perawat yang kini justru mencengkeram kepalanya dengan semua jari tangannya seakan berusaha melubangi kepalanya itu. Perih, teramat perih.
Dan saat mulut si perawat terbuka, barisan gigi itu bukan lagi serupa gigi manusia. Melainkan runcing-runcing seperti paku, kekuning-kuningan, berlendir. Juga lidahnya tersebut, bercabang dua berwarna merah pekat dengan bagian kedua ujung cabangnya berwarna hijau gelap.
Ini bukan lagi sebuah mimpi atau khayalan semata, jerit Ardha Candra di dalam hati. Rasa sakit ini, bau menyengat yang tiba-tiba menguar dari tubuh si perawat, jelas mengindikasikan hal berbeda. Dan kenyataan dengan kemunculan makhluk yang mengaku sebagai Malaikat Jibril tadi itu, jelas sudah… pikir laki-laki tersebut.
Hal ini pasti berkaitan.
Maka, sekuat tenaga ia tetap berusaha melepaskan diri dari cengkeraman yang menyakitkan di kepalanya.
Untuk sekian lama, Ardha Candra tak mampu menjauhkan tubuh si perawat, dan tekanan di kepalanya kian menyakitkan. Bahkan, kedua pandangannya mulai terasa berkunang-kunang, pusing luar biasa.
"Lepaskan…!"
Tidak ingin mengalami hal mengerikan lebih jauh lagi, Ardha Candra menghentakkan kedua kakinya ke perut si perawat.
Dan tendangan itu—meski tidak terlalu keras mengingat kondisi pria tersebut—namun berhasil melepaskan Ardha Candra dari cengkeraman si perawat.
Perawat itu terdorong, punggung membentur dinding. Dan dengan cepat Ardha Candra turun dari ranjang, bergerak ke arah pintu. Ia meringis kesakitan sebab jarum infus yang terpasang di tangan kanannya tercabut dengan paksa, bekas tusukan jarum itu meneteskan darah ke lantai.
Baru setengah jalan, Ardha Candra tersungkur. Kedua kakinya belum cukup kuat untuk bisa berjalan sempurna seperti sedia kala.
"Jahanam…!" maki laki-laki tersebut.
Ia tidak ingin menoleh ke belakang, laksana seekor buaya terluka, Ardha Candra merangkak menuju pintu.
"Seseorang…!" teriaknya dengan keras. "Tolong…! Hallooo…!"
Si perawat kembali berdiri tegak, tersenyum lebar memandang laki-laki itu merayap di lantai. Setidaknya, tendangan itu tadi mengenai lambungnya, juga bagian bawah perut, dan ini memancing amarah lain di dalam diri si perawat—atau makhluk apa pun itu dia sesungguhnya.
Brugh!
Sekali lompatan saja, si perawat tahu-tahu sudah berada di depan pintu. Lebih tepatnya, ia seakan menempel di dinding di mana beradanya pintu keluar-masuk ruang perawatan tersebut. Seolah-olah dia memiliki kemampuan sebagaimana seekor cicak.