"Alex! Aku pulang ... "
Bergegas Angga melarikan kakinya menuju pintu rumahnya. Setelah perdebatan yang panas dengan ayahnya, akhrnya Angga bisa kembali ke kosan. Terburu-buru hingga tangannya gemetar dan membuat kunci rumahnya terjatuh ke lantai.
"Ah, sial!" umpatnya sambil mengambil kunci yang terjatuh.
Cklek! Pintu rumah terbuka.
Hal pertama yang dilihat oleh mata Angga adalah keadaan ruang tamu yang gelap dan sunyi. Hatinya mendadak mencelos. Debaran jantungnya semakin berpacu.
"Alex! Kamu di mana?" teriaknya lagi sambil terus memasuki rumah.
Satu tempat yang ada di pikirannya saat ini. Kamar Alexa! Bergegas Angga menaiki anak tangga, ia bahkan melangkahi dua anak tangga sekaligus demi sampai ke kamar Alexa dengan cepat.
"Alex ... kamu ada di dalam kamar?"
Angga mengetuk perlahan pintu kamarAlexa. Ketukan pertama, Angga tak mendapat sahutan apapun dari dalam kamar. Kembali ia melakukan hal yang sama hingga panggilan ketiga. Dengan perasaan hawatir, Angga memutuskan untuk menarik tuas pintu dan membukanya. Terbuka!
Angga dengan mudah membuka pintu kamar Alexa. Ia mengira sang penghuni masih berada di dalam kamar. Ia bahkan berharap bisa menemukan sosok Alexa yang tengah terbaring di atas ranjang mengingat saat ini sudah pukul sepuluh malam.
"Arrgh!!! Alex, kamu di mana?!" teriak Angga frustrasi.
Yang ia temui hanya ponsel Alexa yang tergeletak di atas ranjang.
***
Alexa memberengut wajahnya, kesal. Bagaimana tidak! Ia tidak bisa menghubungi Angga. Berulang kali ia menghubungi Angga selalu saja dijawab oleh pesan operator yang mengatakan nomer ponsel Angga sedang tidak aktif. Semua pesan Alexa pun belum tersampaikan karena si pemilik nomer sedang tidak mengaktifkan ponselnya.
"Kenapa gak aktif? Angga kamu mau pulang jam berapa? Ck." Alexa berdecak kesal.
Sekali lagi Alexa menilik jam dinding di ruang tamu. Entah sudah berapa kali ia melakukn itu. Tak hanya itu, ia juga berkali-kali menyibak gorden demi mengecek apakah Angga pulang ke rumah.
Ting!
Tiba-tiba suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wajahnya berubah cerah. Ia bergegas membuka ponselnya. Tak dinyana ternyata sebuah pesan dari dokter Rifda. Tak kalah antusias menunggu balasan pesan dari Angga, Alexa tak sabaran membuka pesan dari dokter Rifda.
Alexa membaca pesan dari dokter Rifda, hingga akhir kalimat dari pesan itu mata Alexa membulat penuh.
"Mama!" pekiknya.
Segera setelah mendapatkan kabar tentang mamanya dari dokter Rifda, tanpa pikir panjang lagi. Alexa berlari menuju ke kamarnya lalu membereskan semua barang-barangnya. Ia harus ke rumah sakit.
"Maaf Ngga, aku harus pergi. Mamaku membutuhkanku," lirih Alexa seraya menutup pintu rumah yang etlah menjadi tempat berlindung dirinya.
Alexa berjalan kaki menuju halte terdekat dari kosan Angga. Ia hanya punya uang untuk menaiki bus. Bukan tidak punya uang. Hanya saja, ia belum sempat mengambil uang, karena Angga selalu menolaknya jika ingin mengambil uangnya sendiri.
Tak sampai lima belas menit, Alexa sudah sampai di depan bangunan yang menjadi pusat harapan semua orang yang ingin kembali sehat, yaitu Rumah Sakit.
Lorong demi lorong, Alexa lewati dengan perasaan hawatir. Dalam pesan di ponselnya, dokter Rifda hanya memberitahukan bahwa ibunya tengah berada di dalam ruangan UGD dengan keadaan yang kritis. Untuk penyebabnya, dokter Rifda tidak memberitahukan dengan gamblang.
"Permisi, suster. Saya ingin bertemu dengan dokter Rifda. Bisakah, saya bertemu dnegan beliau?"
Alexa terpaksa memhentikan langkah seorang suster yang tengah berjalan melewatinya.
"Anda siapa? Dokter Rifda sedang menangani seorang pasien," jawabnya.
"Mm ... maaf. Saya mendapat pesan dari dokter Rifda bahwa mama saya sedang dalam keadaan kritis. Bisakah saya menemui mama saya? Saya tidak tahu harus ke mana," ujar Alexa dengan wajah yang putus asa.
"Baik, silakan anda tunggu sebentar di kursi tunggu. Saya akan mengecek jadwal dokter Rifda," ujarnya lagi.
Perawat itu lalu memberitahukan maksud Alexa pada seorang perawat lainnya yang kebetulan bertugas di bagian informasi. Alexa melihat keduanya nampak berbincang dengan sesekali menoleh ke arah Alexa.
Alexa duduk dengan gelisah. Dia menunggu sambil menggetarkan kakinya. Sesekali mengedarkan pandangannya ke sekitar sambil mencari sosok dokter Rifda.
Tak lama kemudian, seorang suster mendekati Alexa.
"Silakan, nona Alexa bisa menemui dokter Rifda di ruangannya," ujarnya sambil menggiring Alexa menuju ruangan dokter Rifda.
Alexa patuh mengikuti langkah perawat itu hingga ke depan pintu yang bertuliskan nama dokter Rifda.
Perawat itu membuka pintu dan mempersilakan Alexa masuk ke dalam ruangan.
Saat pintu terbuka, ia mendapati dokter Rifda sudah duduk di kursi miliknya. Rupanya dia sudah menunggu kedatangan Alexa.
Alexa mendaratkan bokongnya di atas kursi perlahan setelah dokter Rifda mempersilakannya.
"Dokter, mama saya kenapa? Apa yang terjadi dengan mama saya?"
Alexa langsung memberondongi dokter Rifda dengan banyak pertanyaan. Ia sudah tidak sabar mendapatkan penjelasan dari dokter Rifda.
"Nona Alexa, tenang dulu. Saya mengerti perasaan nona Alexa yang hawatir pada nyonya Renata. Kejadian seperti ini merupakan kasus baru bagi sejarah rumah sakit ini."
Dokter Rifda menjeda ucapannya. Matanya menelisik netra Aexa yang terus memancarkan aura kekhawatiran.
"Kejafiannya berlangsung pada jam makn siang kemarin. Lagi-lagi, nyonya Renata mengigau dan meracau. Beliau meminta diberikan permen yang biasa ia konsumsi. Kami menolak. Namun siapa sangka, nyonya Renata mlah beringas, mengamuk. Suster yang tengah memberikan menu makan siang pun mendapatkan imbas dari amukan nyonya Renata. Hingga akhirnya, insiden itu tak terelakkan. Nyonya Renata mengambil sendok dan menghunuskan ujung sendok ke lehernya. Secara spontan kami melaluka. evakuasi nyonya Renata ke ruang Unit Gawat Darurat untuk melakukn tindakan penyelamatan," tutur dokter Rifda.
"Astaga! Mama ... "
Alexa tak mampu membendung air mata kesedihannya. Ia menangis mendengar penuturan dokter Rifda. Rasa merinding menjalari bulu kuduknya.
"Lalu bagaimna keadaan mama saya sekarang, dokter? Tolong selamatkan mama saya, dokter. Kumohon ... "
Alexa tergugu. Tangisnya pecah tak terelakkan lagi. Aliran air asin mengalir membanjiri pipinya.
"Kami akan berusaha yang terbik untuk menyelamatkan nyonya Renata. Operasi pengambilan sendok sudah berhasil dilakukan. Saat ini nyonya Renata sedang berada dalam masa kritis. Kita berdoa saja, semoga nyonya Renata bisa melalui masa kritisnya dan kembali sadar ke tengah-tengah kita," ujar dokter Rifda.
Alexa sudah tidak mampu berkata-kata. Ia sudah tenggrlam dalam kesedihan. Bagaiman ini semua bisa terjadi dalam hidupnya? Satu persatu kebahagiaan seolah menjauhinya.
"Mari, saya antar nona Alexa ke ruang tunggu. Satu jam lagi, nona Alexa bisa menemui nyinya Renata."
Salah satu perawat mendekati Alexa yang masih menangis. Dia menuntun Alexa agar keluar dari ruangan dokter Rifda dan berpindah ke ruang tunggu pasien, sebab dokter Rifda sudah harus menerima pasien selanjutnya.
Alexa duduk di kursi besi dingin depan ruang informasi. Badannya seolah tak bertenaga. Tulangnya seolah terlolosi sejak ia mendengar penuturan dokter Rifda. Entah apakah ia sanggup menjalani hidup yang sulit seperti ini.
"Angga ... kamu di mana? Aku sendirian ... " lirih Alexa.
Tangisnya kembali pecah.