"Permisi pak. Saya mau menyerahkan ponsel ini pada bapak. Sepertinya milik anak bapak," ujar seorang gadis mungil, malu-malu.
Bapak Darmawan menoleh. Dia tengah asyik berbincang dengan kawan seprofesinya mendadak terinterupsi oleh suara lembut seorang gadis. Netranya langsung menatap benda pipih yang disodorkan oleh tangan gadis itu.
"Ponsel? Punya siapa?" tanya pak Darmawan.
"Menurut petugas kamar mandi, ponsel ini ditemukan di kamar mandi yang dipakai oleh anak bapak," jelasnya.
Bapak Darmawan memicingkan mata. Dia teringat tadi, Angga meminta ijin untuk ke kamar mandi.
"Ah iya, mungkin ini punya Angga. Terima kasih," ujar pak Darmawan.
Ia menerima ponsel itu dan menilik layar benda pipih itu. Gelap. Rupanya ponsel itu kehabisan baterai.
Pak Darmawan melirik ke arah putranya yang tengah berdiri di dekat jendela. Ia ingin menyerahkan ponsel itu pada Angga. Namun, sekelebat ide menghampiri benaknya. Ia urung memberikan ponsel itu. Alih-alih memberikan ponsel, dia malah memasukkannya ke dalam saku jasnya.
***
Rasa penat menggelayuti tubuh tua milik pak Darmawan. Seorang pengajar yang bergelar profesor di universitas ternama. Tak seperti masa jayanya. Dia seringkali berpindah kota, bahkan negara untuk mengisi perkuliahan di beberapa universitas terkenal. Namun di usianya yang sudah melewati setengah abad, ia memutuskan mengurangi jadwal mengajarnya.
Pak Darmawan melepas jasnya. Ia sempat tertegun karena jasnya terasa lebih berat dari biasanya.
"Ah, iya. Ponsel Angga ada di saku jasku," lirihnya.
Ia lalu merogoh saku jasnya dan mengambil ponsel dari dalamnya. Tanpa sengaja ibu jarinya menekan tombol "power" pada sisi ponsel yang otomatis membuat ponsel itu menyala. Rupanya masih ada tersisa baterai 1% pada layar ponsel.
Pak Darmawan berinisiatif untuk mengisi daya ponsel itu. Kebetulan, ponsel itu mirip dengan ponsel miliknya. Teringat dulu, saat dirinya hendak membelikan ponsel untuk Angga, anak itu merengek untuk menyamakan ponselnya dengan milik ayahnya. Saat itu Angga masih duduk di bangku SMP. Meski padahal, ayahnya selalu mentransfer sejumlah uang untuk keperluan pribadinya, termasuk alat komunikasi, Angga sepertinya tidak mau mengganti ponsel itu dengan ponsel keluaran terbaru seperti anak muda jaman sekarang pada umumnya.
Ting!
Tiba-tiba saja satu pesan muncul dari layar ponsel Angga. Netra Pak Darmawan menatap tajam. Meski ponsel itu tidak dapat dibuka olehnya karena harus membuka angka sandi, tapi dari layar bisa terlihat nama pemilik pesan.
"Alex-ku? Siapa Alex?"
Pak Darmawan menilik kembali pesan yang tertera di layar ponsel Angga. Sebuah pesan menanyakan keberadaan Angga.
"Apakah anakku ... ?" kerongkongannya tercekat.
Pikirannya mendadak dipenuhi oleh banyak hal negatif tentang anak semata wayangnya itu. Ia tak ingin mengakui bahwa pikiran yang sangat ekstrim singgah di benaknya. Mendadak semua ingatan ia sambung-sambungkan dan terangkailah sebuah kesimpulan dini bahwa Angga tidak normal. Awalnya, dia menduga bahwa Angga selalu menolak perjodohan karena telah memiliki kekasih, tapi setelah melihat pesan itu, hati pak Darmawan mendadak kalut. Apakah sesuai dengan pikiran negatifnya, bahwa Angga tidak menyukai seorang gadis dan memiliki kelainan dalam hal hubungan asmara?
"Astaga, Angga!" geram pak Darmawan sambil mengeraskan rahangnya.
***
"Terima kasih, karena sudah mengantarku membeli kue," ujar Anis dengan senyum yang merekah.
"Hmm ... " sahut Angga.
Ia tengah sibuk memarkirkan sepeda ontel ke sisi tembok villa. Rasa lelah karena telah mengayuh sepeda mendera otot kakinya. Sudah lama sekali, Angga tidak mengayuh sepeda.
Angga mendengus kesal. Ia merutuki perintah ayahnya. Kenapa juga harus mengendarai sepeda onthel? Bukankah ia melihat ada sebuah mobil sport di garasi villa. Menurut ayahnya, jarak ke toko kue yang diinginkan Anis tidak jauh, karena itu tidak perlu menggunakan mobil.
Anis merasa tak enak hati dengan jawaban Angga. Ia dengan segera mendekati Angga yang telah duduk di kursi teras sambil memijat-mijat betisnya.
Tanpa diduga, Anis malah berjongkok di hadapan Angga lalu tangannya sudah terjulur meraih betis Angga yang telanjang. Ya! Angga memakai celana pendek dengan membiarkan betis yang berbulu itu terekspos oleh mata siapapun yang memandang ke arahnya.
Angga tersentak. "Kamu mau apa?!" sergahnya.
"Aku mau membantu memijat betismu."
Bola mata Angga membulat penuh. 'Astaga! Apakah dia tidak ada batasan diri antara wanita dan laki-laki? Semudah itu dia menawarkan diri untuk memijat betisku,' batin Angga gerah.
"Tidak perlu!" hardik Angga. Ia tanpa sengaja menepis tangan mungil Anis yang hampir mengenai permukaan kulitnya.
Mata Anis berkaca-kaca. Mungkin hatinya terluka mendapat perlakuan kasar dari Angga.
"Haish ... sial!" desis Angga. Ia bangkit dari kursi lalu meraih bahu gadis itu.
"Bangunlah ... kamu gak seharusnya berlutut di kakiku. Maaf ... tadi aku menepis tanganmu. Apakah sakit?" tanya Angga melembut.
Gadis itu menggeleng lemah. Kepalanya masih tertunduk karena takut dan malu. Malu jika laki-laki di hadapannya itu melihat benda bening yang luruh dari matanya.
"Oh iya, aku belum bilang terima kasih padamu. Kemarin kamu menemukan ponselku. Terima kasih, Rengganis ... " ujar Angga sambil menegakkan dagu.
Mendapat sentuhan lembut seperti itu dari laki-laki yang ia taksir, membuat hati Rengganis berdesir. Wajahnya memerah karena malu.
"Ya sudah ... aku masuk ke dalam duluan, ya."
Angga meninggalkan gadis itu di luar. Ini kali keduanya meninggalkan Anis sendirian. Ia tidak peduli. Baginya, ia sudah menepati janji pada ayahnya.
Berderap langkah Angga terburu-buru. Dia mencari sosok ayahnya ke dalam villa, namun tak di dapatinya.
"Ke mana ayah? Mana mungkin 'kan dia meninggalkanku di pulau ini?" dengus Angga.
Samar-samar telinganya mendengar suara tawa khas pria dewasa. Ia meyakini bahwa suara itu berasal dari teras belakang. Dengan langkah pasti, Angga menjejakkan kakinya menuju teras belakang.
Benar saja, di sana ayahnya tengah berbincang dengan ayah Anis.
"Kalau begitu, bapak bisa mampir kapan-kapan ke rumah saya," sahut pak Darmawan menimpali ucapan pak Wijoyo sebelumnya.
Angga perlahan mendekat. Ia agak segan mendatangi ayahnya kala tengah berbincang dengan rekan kerja ataupun teman santai. Tapi, ia perlu memastikan sesuatu.
"Ah, Angga! Kemarilah, nak!" seru pak Wijoyo.
Rupanya pak Wijoyo lebih dahulu menyadari kehadiran Angga.
Angga mendekat perlahan.
"Loh, kamu kok sendiri? Mana Anis?" tanya ayahnya sambil mengedarkan pandangan mencari sosok mungil Anis.
"Ah, tadi Anis langsung ke kamarnya. Mungkin terlalu lelah berjalan-jalan," ujar Angga berdusta.
"Ah, begitu rupanya. Tak apa, nak Angga ... maaf Anis sudah merepotkanmu hari ini. Biasanya supir yang mengantarnya membeli kue. Entah kenapa dia lebih memilih diantar olehmu ketimbang supir pribadinya. Apakah ada yang terjadi selama pergi ke toko kue?" tanya pak Wijoyo.
Sebuah kode untuk menanyakan apakah antara Angga dan Anis telah terjadi percikan cinta selama perjalanan ke toko. Beruntung jika iya atau malah bisa lebih dari hanya perasaaan dan saling pandang, pikir pak Wijoyo.
Angga tersenyum kecut. 'Supir dia bilang? Aku bahkan tidak mengendarai mobil,' rutuk Angga dalam hati.
"Tidak terjadi apa-apa. Beruntung kami mengendarai sepeda onthel, jadi tidak ada yang terjadi pada Anis maupun saya," sahut Angga melenceng dari maksud pak Wijoyo.
"Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu. Ada hal yang perlu saya bicarakan dengan putra saya," ujar ayah Angga menyela saat pak Wijoyo ingin menginterogasi lebih lanjut tentang kedekatan Angga dan putrinya.
Pak Wijoyo meng-iyakan. Angga lalu berjalan mengekori ayahnya menuju kamar. Sepertinya memang akan ada pembicaran serius antara Angga dan ayahnya.