"Aku sudah memenuhi semua permintaan ayah. Aku juga sudah memenuhi janji. Meminta maaf dan berterima kasih pada gadis itu. Sekarang, aku menagih janji ayah. Kembalikan ponselku," tagih Angga gusar.
Mereka baru saja masuk ke dalam kamar pak Darmawan. Angga bahkan tidak membiarkan ayahnya duduk terlebih dahulu.
Angga menadahkan tangan kanan di depan ayahnya. Sikapnya tak pernah berubah. Luka dalam hatinya tak pernah sembuh meski telah bertahun-tahun ayahnya berusaha memperbaiki keadaan mereka. Mengikis jarak antara mereka.
Pak Darmawan membalikkan badan. Ia menatap nanar anak semata wayangnya itu. Lalu tanpa mempermasalahkan sikap Angga dia berjalan mendekati laci nakas samping ranjang.
"Aku harap kamu tidak melewati batasanmu sebagai keturunan ayah," ujar Ayahnya sambil menyerahkan ponsel ke telapak tangan Angga.
"Apa maksud ayah?" Angga meradang.
"Kemasi barang-barangmu. Sore nanti kita pulang. Aku tak ingin ada keributan di villa ini. Kita bicarakan nanti di rumah saja," titah pak Darmawan.
'Apakah ayah mengetahui tentang Alex yang tinggal di rumah?' terka Angga dalam hati.
***
Tepat pukul empat sore, Angga dan Pak Darmawan pamit pada Pak Wijoyo.
"Sayang sekali kalian tidak bisa menginap lebih lama. Padahal putriku, Anis, sangat senang ditemani oleh Angga," ujar Pak Wijoyo sambil melirik ke arah putrinya.
Anis malu-malu dikatakan demikian oleh ayahnya.
"Kalau begitu, kami pamit," ujar pak Darmawan.
"Ah, iya. Hampir lupa. Anis, sini sayang," panggil pak Wijoyo pada putrinya.
Gadis mungil itu mendekati ayahnya.
"Kamu, bilang, mau memberikan sesuatu untuk Angga. Ayo, sekarang berikan padanya," titah pak Wijoyo sambil mengerlingkan sebelah matanya.
Anis tertegun. Ia mengingat benda yang seharusnya ia berikan sebelum Angga pergi.
"Baik ayah. Kak Angga, ini untuk kakak."
Gadis itu memberikan sebuah kotak kecil pada Angga.
Alis Angga mengernyit. 'Mau apa lagi gadis ini? Haish ... ' keluh Angga dalam hati.
"Terima kasih," ucap Angga cepat.
Mereka lantas berjalan menaiki sebuah kapal kecil yang sudah disediakan untuk menyebrangi pulau.
***
Sepanjang perjalanan pulang, Angga merasa gelisah. Meski demikian, ia tidak menunjukkan perubahan air muka pada ayahnya yang duduk di sampingnya. Bagaimana tidak! Sejak ponsel kembali ke genggamannya, ia belum bisa menghubungi Alexa. Rasa cemas menjalar ke seluruh urat nadi. Berbagai pertanyaan tentang Alexa memenuhi otaknya. Apakah Alexa baik-baik saja selama ia pergi?
"Kamu kenapa?" Tanya pak Darmawan sambil terus fokus menyetir.
Angga tertegun. "Ah, apa Yah?"
"Sejak keluar dari pulau, wajahmu tegang sekali, seolah ada yang mengganjal di pikiranmu. Ada apa?" tebak pak Darmawan.
"Aku hanya memikirkan kosan. Apakah aman selama aku pergi," sahut Angga.
"Kosan? Memangnya di kosan ada apa? Bukankah biasanya juga kamu tidak terlalu hawatir seperti ini?" selidik pak Darmawan.
Angga terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Pak Darmawan menelisik wajah Angga dari balik cermin di atas kepalanya. Dia merasa bahwa Angga menyembunyikan sesuatu darinya. Belum lagi masalah nama yang tertera di ponselnya.
"Teman-temanmu masih sering menginap di kosan?"
Sekali lagi, Angga kehilangan kata-kata untuk menjawab ayahnya.
Angga hendak membuka mulutnya untuk menjawab, tersela oleh suara kalkson mobil ayahnya.
Mereka sudah sampai depan rumah besar milik keluarga pak Darmawan.
Tergopoh-gopoh seorang pria paruh baya berseragam membuka pintu gerbang, dia adalah satpam rumah pak Darmawan.
"Selamat datang, pak Darmawan," sapanya sambil menunduk hormat.
Pak Darmawan membalas sapaan dengan mengangguk ringan. Setelah mobil terparkir gagah di garasi, Angga bergegas keluar dari mobil dan hampir saja berlari sebelum akhirnya pak Darmawan mencegahnya.
"Temui ayah di kamar ayah," titahnya.
Jantung Angga berdegup kencang. Pikirannya kalut. "Baik ayah," sahutnya sambil mengekor di belakang ayahnya menuju kamar utama.
Setelah menutup pintu, pak Darmawan meminta Angga untuk duduk di sofa samping ranjang.
"Ayah mau bicara sesuatu. Sesuai dengan permintaan ayah saat masih berada di pulau."
Pak Darmawan membuka pembicaraan antara mereka.
"Ayah tahu, kesalahan ayah di masa lalu belum mampu kamu maafkan dan tembok pemisah di antara kita belum juga runtuh. Tapi, ayah mau, di antara kita tidak ada rahasia yang membuat tembok itu semakin tebal," lanjutnya.
Angga mendengarkan dengan hati yang tak keruan.
"Kemarin, saat ponselmu di tangan ayah, ayah mencoba menghidupkan ponselmu, tapi ternyata baterainya habis."
Angga mendadak mendongakkan kepala. Ada kemarahan dalam hatinya karena ayahnya mencoba melewati batas privasinya.
"Ayah lalu mengisi daya ponselmu. Dan beruntungnya, kamu masih menggunakan ponsel yang sama dengan ayah, karena itulah alat pengisi daya milik ayah bisa dipakaikan ke ponselmu. Lalu, saat baterai ponselmu sudah terisi sedikit, ayah kembali mencoba menyalakan ponselmu. Dan kamu tahu, apa yang terjadi selanjutnya?"
Angga masih terdiam, tapi sorot matanya sudah mengobarkan kemarahan.
"Tiba-tiba saja ada beberapa pesan masuk ke dalam ponselmu. Tentu saja, meski ingin sekali membukanya, tapi ayah tidak bisa karena ponselmu terkunci. Namun, tiba-tiba saja sebuah pesan yang tertera di layar ponselmu yang membuat ayah merasa terusik. Ayah tanpa sengaja melihat nama pengirim pesan dari layar depan."
Ayahnya menjeda ucapannya sambil menelisik wajah anak semata wayangnya itu. Ditatap seperti itu, Angga sedikit ciut. Meski awalnya ia ingin marah karena ayahnya sudah melewati batas privasinya.
"Nama kontak si pengirim pesan adalah Alex-ku. Bisa kamu jelaskan, siapa Alex?" tanya pak Darmawan langsung pada intinya.
Kerongkongan Angga mendadak tercekat. Mendadak keringat dingin keluar dari dahinya.
"Aku tidak mengerti maksud ayah," sahut Angga berusaha mengelak.
"Benarkah? Sebenarnya ayah tidak ingin mengusik pribadimu, tapi ayah wajib tahu pergaulan apa yang kamu jalani selama jauh dari ayah."
"Aku tidak melakukan hal negatif. Ayah tidak berhak menuduhku sepert itu!"
Angga meradang.
"Ayah tahu kamu anak yang baik. Tapi setelah mendapat laporan dari pihak kampus yang mengatakan bahwa kamu membolos di salah satu mata kuliah penting, ditambah lagi mengundur pertemuan bimbingan skripsi, membuat ayah harus mengecek sendiri pergaulanmu. Apa ayah harus mengecek sendiri ke kosanmu?" tandas pak Darmawan.
"Dan kamu mau tahu, pesan apa yang ayah baca sekilas dari layar ponselmu? Pesan itu tertulis menanyakan keberadaanmu dan keadaan si pemilik pesan yang tengah ketakutan. Jadi ... Angga, bisa kamu jelaskan pada ayah, siapa Alex?"
Bola mata Angga membulat penuh. Mendengar ayahnya menyebutkan nama Alexa membuat degupan jantungnya semakin kencang.
Tidak bisa terelakkan lagi keringat yang membanjiri keningnya. Bukan hanya karena ayahnya yang menyelidiki nama Alexa tapi karena isi pesan Alexa yang mengatakan bahwa dirinya ketakutan di kosan sendirian semakin membuat Angga gelisah dan cemas.
"Alex? Dia ... temanku," sahut Angga tergagap.
Kening pak Darmawan mengernyit. Dia bingung dengan reaksi sikap Angga yang seolah ketakutan bak seorang maling yang tertangkap basah. Jadi sebenarnya siapakah Alex? Apakah pak Darmawan perlu menyelidiki lebih lanjut perihal Alexa?
"Seorang teman yang bisa membuat anakku berkeringat gelisah. Menarik," gumam pak Darmawan.