Pesta usai tepat lewat tengah malam. Entah sebenarnya apa saja yang mereka bicarakan dalam pesta, itu yang ada di benak Angga. Hati Angga kalut. Saat ini di benaknya ada lagi satu pikiran yang mengganjal, yaitu Alexa. Sebuah harapan dalam benaknya agar dia bisa segera pulang dan menemui Alexa. Dia sangat hawatir. Belum pernah Angga merasa sehawatir ini pada seseorang selain mendiang ibunya.
Sayangnya, harapan Angga tidak terwujud. Ayahnya memerintahkan bermalam di vila tersebut dan akan kembali ke rumah lusa.
Angga mengacak rambutnya gusar. Dia menatap jam di dinding kamarnya. Tepatnya bukan kamar miliknya, dengan berat hati, dia mengikuti perintah ayahnya menginap di vila milik temannya itu. Sebuah kebetulan yang menjengkelkan bagi Angga adalah, vila itu milik ayah Rengganis. Si gadis berparas mungil dengan senyum merekah saat berkenalan dengan Angga malam tadi.
Suara detik jam dinding kamar terasa mengusik ketenangan batinnya. Seolah bagai hantaman palu gada yang bertalu-talu. Angga berdecak kesal. Dia tidak bisa tidur. Dia bangkit dari ranjangnya dan memutuskan untuk mencari angin di luar.
"Aduh!" pekik seseorang saat pintu kamar Angga terbuka.
Ada seseorang yang menabrak tubuhnya saat dirinya hendak melangkahkan kaki keluar dari kamarnya. Netra Angga langsung bersirobok dengan sesosok gadis mungil. Rupanya wajah gadis itu menubruk dada bidang Angga.
"Ah, ma-maaf."
"Sedang apa kamu di depan kamarku malam-malam begini?" sinis Angga.
Sedari awal, Angga memang tidak pernah menunjukkan sikap manis di depan gadis itu. Ia selalu berusaha menghindar meski si gadis mengekor ke mana pun Angga berdiri. Tapi di jam segini? Rasanya sungguh keterlaluan jika dia tidak mempunyai batasan atas ketertarikannya pada lawan jenis.
"A-aku ... aku hanya ingin menyampaikan pesan dari bapak Darmawan, bahwa ... kak Angga diminta menemui beliau di teras belakang."
Si gadis menjawab dengan rasa takut. Kepalanya menunduk. Mungkin ia menyadari kesalahannya karena mendatangi kamar seorang laki-laki di tengah malam seperti ini. Tapi bukanlah salahnya jika tanpa sengaja dia dipanggil oleh ayah Angga saat dirinya sedang mencari angin di teras belakang.
Alis Angga meninggi. "Ayahku? Ada apa ayah memanggilku malam-malam begini?" desis Angga setengah kesal.
Si gadis bungkam. Dia sendiri tidak mengetahui tujuan pak Darmawan menyuruhnya ke kamar Angga.
Melihat reaksi si gadis yang bungkam, Angga lantas bergegas meninggalkan si gadis dan mencari sosok ayahnya di teras belakang.
"Kenapa ayah masih belum tidur malam-malam begini? Bukankah seharusnya ayah sangat mengenal jam tidur malam?" dengus Angga sambil mencari-cari sosok ayahnya.
Dia sampai lupa bahwa ada sepasang mata yang kecewa karena ditinggal pergi begitu saja. Siapa lagi kalau bukan sepasang mata milik Rengganis yang mematung meski Angga sudah pergi jauh dari pandangannya.
"Ada apa ayah memanggilku? Kenapa ayah belum tidur selarut ini?" cecar Angga tanpa tuding aling-aling.
Ayah Angga tengah menyeruput kopi di kursi santai. Bersandar sambil menikmati hembusan angin pantai di malam hari. Gemerlap lampu di ujung sana menandakan perbatasan antara daratan dan laut yang membentang.
"Mana Anis? Bukankah dia yang memanggilmu untuk menemui ayah? Lalu, di mana dia?"
'Anis? gadis mana lagi dia? Berapa nama gadis lagi yang harus kuhafalkan?' cicit Angga dalam hati.
"Rengganis. Mana gadis itu?"
Seperti memahami batin Angga yang kebingungan, ayah Angga langsung mengudarakan satu nama yang sudah pernah didengar Angga.
"Dia ada di depan kamarku."
"Di depan kamarmu? Kenapa kamu meninggalkan dia sendiri di sana?" tuduh ayahnya.
Angga terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa.
"Pergi temui dia dan minta maaf karena telah meninggalkannya sendiri di depan kamarmu!" titah ayahnya.
"Ayolah ayah ... haruskah malam ini juga? Bisakah besok saja? Aku sudah menuruti keinginan ayah menghadiri pesta ini. Aku lelah," mohon Angga. 'Aku juga berharap besok kita bisa secepatnya pulang ke rumah,' lanjut batinnya.
"Baiklah. Tapi besok kamu harus menepati janjimu. Temani Anis selama berada di pulau ini," perintah ayah Angga mutlak. Tidak terelakkan.
Bola mata Angga membulat. 'Menemani dia? Untuk apa? Bukankah pulau ini miliknya?' keluh Angga dalam hati.
Angga merasa seperti memakan buah simalakama. Menolak meminta maaf pada gadis itu alih-alih malah harus menemani gadis itu esok hari.
"Sementara ponselmu ayah simpan. Sifat teledormu belum juga hilang. Ini tertinggal di toilet. Beruntung salah satu petugas kamar mandi menemukan dan langsung memberikannya pada Anis. Itulah sebabnya kamu tidak boleh kurang ajar padanya, Angga Darmawan!"
Kalimat ayahnya barusan membuatnya terkejut dan menyadari kecerobohan yang telah dilakukannya malam tadi. Dia baru menyadari benda penting itu sudah berpindah ke tangan ayahnya. Ke mana saja pikirannya?!
'Haish ... Angga bodoh! Kenapa kamu bisa meninggalkannya di kamar mandi!' rutuk Angga dalam hati.
"Sebaiknya kamu kembali ke kamarmu dan cepat tidur. Besok pagi kamu tidak boleh terlambat membalas kebaikan Anis padamu," ujar ayahnya sambil menepuk bahu Angga lalu melenggang meninggalkan Angga.
Angga mengusap wajah gusar. Kursi di depannya tak luput dari bulan-bulanan tendangan kekesalannya.
"Arghh ... sial!"
***
Gedoran pintu kamarnya membuat kelopak mata Angga yang masih terasa mengantuk terpaksa membelalak.
"Astaga! Siapa yang menggedor pintu sepagi ini!" umpat Angga kesal.
Angga menyingkap selimut yang membungkus dirinya dengan kasar. Dia lalu turun dari ranjang. Dengan langkah yang menggebu bak ingin menghantam bumi dengan kakinya, ia mendekati pintu. Rasa kesal dan marah menyelimuti hati Angga, Angga membuka pintu kasar.
"Ada apa?!" serunya kesal.
Seraut wajah ketakutan nampak dari seorang gadis mungil di hadapan Angga.
"Ma-maaf bukan aku ... "
Rengganis baru saja ingin klarifikasi, tapi suara berat ayah Angga menyela ucapannya dari arah samping.
"Ayah yang menggedor pintu kamarmu! Lihat jam berapa sekarang?!"
Wajah penuh amarah tersirat di wajah ayah Angga.
"Cepat kamu bersiap-siap. Rengganis sudah menunggumu dari satu jam yang lalu," titah ayah Angga.
"Tapi ayah ... "
"Tidak ada kata tapi. Seorang laki-laki sejati harus menepati janjinya."
Tudingan ayahnya bagai pedang yang menghunus jantungnya. Angga tidak dapat membantah lagi.
"Baik, ayah," sahut Angga, akhirnya patuh.
Angga menghela nafas berat. Netranya sempat menangkap sosok Anis yang menunduk takut-takut sebelum dirinya menutup kembali pintu kamar untuk bersiap. Ayahnya sudah pergi berlalu sejak titah terakhirnya terucap.
Tak lama kemudian, dirinya sudah merapikan penampilannya. Penampilan biasa saja sesuai dengan pakaian yang ada di dalam lemari kamarnya. Entah pakaian siapa atau sejak kapan pakaian itu ada di dalam lemari kamar tempat ia menginap, Angga tidak ambil pusing. Dia mematut diri di depan cermin.
"Kenapa jadi terjebak di pulau ini sih?! Belum lagi harus menjadi pemandu jalan untuk gadis itu. Memangnya dia tidak bisa pergi sendiri? Bikin kesal saja!" oceh Angga.
Angga dibuat kesal oleh sosok Rengganis. Entahlah, mungkin ia bukan kesal pada sosoknya atau mungkin juga, dia hanya rindu pada pujaan hatinya dan ingin segera menemuinya. Entahlah ... Yang pasti, Angga sangat mengutuk diri berduaan dengan Rengganis hari ini!