Dinda membuka pintu depan dan langsung melangkah mendekati pagar untuk membukakan gerbang.
"Cantik, apa kabar Sayang," tanya Dinda sambil menyambut tangan mungil Agatha yang mengajaknya bersalaman. Agatha putri tunggal Sinta dan Arga, dia biasa dipanggil Tata.
"Assalamualaikum Aunty Din, Aku sehat, tapi kangen mommy," jawab Agatha yang matanya terlihat berkaca-kaca.
"Waalaikumsalam, Aunty sampai lupa ngucapin salam, yuk Tata masuk dulu ke rumah Aunty," ajak Dinda menuntun Agatha.
"Maaf, Mas Andi gak di rumah, gak enak terima tamu cowok, kamu tunggu di sini aja ya," ucap Dinda sambil menoleh ke arah Arga yang berjalan di belakangnya.
Arga mengangguk dan duduk di kursi rotan yang terletak di teras rumah Dinda.
"Di sini ada Mommy, Aunty?" Agatha menghentikan langkahnya mendongak menatap Dinda. Dinda tersenyum ke arahnya, dia mengangguk dan membungkuk mengusap rambut Agatha. Bibir mungilnya tersenyum, mata bulat dan hitam dengan kulit wajah yang putih bersih membuat Agatha terlihat sangat cantik dan menggemaskan.
'Ya Allah percayakan padaku untuk segera memiliki malaikat mungil secantik Agatha.'
"Mommy di kamar itu," tunjuk Dinda.
Agatha segera berlari menuju kamar yang Dinda tunjukkan, dengan segera dia membuka pintu dan berteriak memanggil mommy-nya. Sinta yang baru selesai mengenakan baju terlonjak kaget. Dia memeluk erat sang putri yang berhambur ke pelukannya begitu pintu terbuka.
"Mommy, gak pulang-pulang. Aku kangen, pulang yuk," ajak Agatha sambil menarik-narik lengan Sinta.
Rasa sesal menguar di benak Sinta, dia merasa dirinya begitu egois, lebih mementingkan amarahnya hingga melupakan sang putri. Dengan sekuat hati, Sinta menahan gejolak emosi dan perasaanya agar air mata tak menetes dari pelupuk matanya. Pantang baginya kalau harus menangis di depan sang putri. Dia tidak ingin membuat putrinya khawatir dan bertanya-tanya kenapa dirinya menangis.
"Mommy tadinya mau nemenin Aunty Dinda, karena om Andi ke luar kota, maaf ya Sayang. Mommy kira Tata nginep di rumah eyang uti." Sinta berlutut mensejajarkan tingginya dengan sang putri, diciumnya kedua pipi dan kening Agatha.
"Aunty, boleh gak Mommy aku bawa pulang," pinta Agatha menatap Dinda. Dinda menganggukkan kepalanya sambil mengatakan boleh tanpa bersuara.
"Aunty mau ngomong dulu sama mommy boleh?" tanya Dinda pada Agatha yang dijawab dengan anggukan dan senyum manis dari bibir mungilnya.
"Aku tungguin Mommy di luar ya, kasian daddy sendirian." Agatha berlari ke luar dari kamar meninggalkan mereka berdua.
Dinda berbicara dari hati ke hati dengan sahabatnya, sebagai seorang sahabat, Dinda tidak mau melihat Sinta salah mengambil keputusan hingga membuatnya menyesal di kemudian hari. Bagaimanapun Sinta harus mendengarkan penjelasan Arga terlebih dahulu, tidak bisa membiarkan masalah terus berlarut-larut dan membuat prasangka buruknya terus berkembang hingga menutup akal sehatnya. Semua masalah pasti bisa di selesaikan dengan komunikasi yang baik, apalagi ada Agatha di antara mereka.
Setelah berpelukan dengan Dinda, Sinta mencuci muka, dia mengenakan hijab yang Dinda berikan kemudian mengambil tas dan kresek hitam yang berisi baju kotor yang dia kenakan tadi siang.
"Mommy, Aunty." Agatha menyambut mereka di pintu. "Aunty berani sendirian di rumah?" tanyanya, dia merentangkan tangan minta digendong Dinda.
"Berani dong, Aunty kan sudah gede," jawab Dinda. "Aduh, Tata udah berat nih." Dinda pura-pura meringis ketika mengangkat tubuh mungil Agatha.
"Kalau berat berarti aku udah gede dong Aunty?" Mata Agatha mengerjap menatap Dinda, Dinda mengangguk dan mencium kedua pipi Tata.
"Aku udah gede berarti bisa minta adik bayi ke mommy ya?" tanya Agatha polos sambil bergantian menatap ketiga orang di sekelilingnya.
"Bisa dong, yuk Aunty antar Tata ke mobil, nanti sampai rumah minta dibikinkan adik bayi ya sama Mommy and Daddy," jawab Dinda yang langsung di hadiahi pukulan ringan di lengan dan mata Sinta yang melotot ke arahnya.
"Ogah," sentak Sinta pada Dinda, kemudian berjalan duluan ke arah mobil. Arga tersenyum melihat tingkah istrinya, dia tahu Sinta masih diliputi cemburu dan amarah karena kejadian siang tadi di rumah makan, tetapi apa yang terjadi tidak seperti yang Sinta pikirkan. Dia membiarkan Sinta menenangkan diri di rumah Dinda, karena Sinta tipikal istri yang sangat susah diajak bicara ketika dalam mode ngambek.
__I.S__
SINTA POV
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar Tata, menanyakan kegiatan putriku hari ini. Dia menemani eyang utinya membatik. Ibuku tinggal di desa Paoman, sentra batik terkenal di Indramayu. Dari kecil ibuku sangat suka membatik, hingga di usia senjanya, beliau masih terus menekuni hobinya menggambar kain dengan canting untuk menghasilkan batik tulis yang sangat indah. Beliau membatik hanya sekedar mengisi waktu kosong ketika Agatha tidak datang berkunjung. Selesai bercerita tentang kegiatannya, Tata memintaku membacakan buku dongeng sampai dia terlelap.
Sejak di mobil tadi aku sama sekali belum berinteraski dengan mas Arga. Coba saja kalian bayangkan, di depan mata kalian suami kalian dilendotin cewek gatel yang gatelnya ngelebihin ulat bulu, bikin bergidik dan ilfill. Setelah Tata terlelap pun, aku putuskan tidak keluar kamar. Aku masih malas berhadapan dengan Mas Arga.
Kucoba menutup mata, memeluk si mungil belahan jiwaku.
"Sinta," sayup-sayup kudengar suara Mas Arga memangil, dia berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang. Aku pura-pura tertidur, dia membetulkan selimut Tata.
Seakan melayang, dengan tiba-tiba Mas Arga membopongku ala bridal style, ku benamkan wajah di dadanya, masih berusaha pura-pura menutup mata. Setelah kembali membaringkan aku di ranjang, dia duduk membelakangiku menghadap cermin.
"Selalu saja tertidur duluan, lebih baik kamu full di rumah tapi tetap melayani aku, Sin. Dari pada setiap malam aku selalu ditinggal tidur duluan, bagaimana bisa memberi Tata adik, kalau setiap malam hanya lelah yang kamu tunjukkan." Mas Arga menghembuskan napas dengan kasar. Dia berbaring dan tidur membelakangiku.
Ya Allah aku kira kata maaf yang akan kudengar dari mulutnya. Tidak kah dia merasa bersalah sedikit pun karena kejadian tadi siang.
Wait, apa mungkin aku terlalu sibuk di butik hingga aku lupa tugas utamaku sebagai istri. Benarkah aku sedemikian lalainya di mata mas Arga. Astagfirullah al adzim.
Introspeksi diri, Sin. Aku mengingat sehambar apa hubunganku dengan Mas Arga belakangan ini. Kami hanya bertemu sejenak di pagi hari sebelum berangkat ke tempat kerja masing-masing. Dan mas Arga benar, seringnya aku tertidur duluan karena aktivitasku di butik belakangan ini sangat padat.
Lelis, ya, sepertinya Lelis benar. Mungkin karena salahku juga sehingga mas Arga membiarkan Ulat Bulu itu menempel, tapi mas Arga juga keganjenan.
Lelis, aku butuh konsultasi dengan dia. Entah apa itu nama biro jasanya, ranjang, ya Konsultan Ranjang. Sepertinya aku harus menghubungi Lelis sekarang.
_____I.S_____