Sinta POV
Menjadi Ulat Bulu tidak semudah yang aku sangka, sampai aku berpikir tips apa yang dilakukan para Ulat Bulu yang mencari mangsa di warung remang-remang, di tenda biru, atau di tempat prostitusi lainnya. Mereka seolah dengan senang hati berlenggak-lenggok berusaha memikat hati para pria hidung belang yang datang.
Padahal untuk menjadi Ulat Bulu bagi suamiku sendiri, aku harus mengumpulkan keberanian dan muka tebal. Apresiasi pada mereka pun terlintas dibenakku, demi uang untuk memenuhi kebutuhan hidup ataupun gaya hidup, mereka rela menjadi Ulat Bulu yang harus bersedia selalu fress dan totalitas menyambut mangsa yang datang mendekat.
"Aku suka kamu seperti ini, Yang." Mas Arga meraih tangan kananku dan mengecupnya sekilas.
"Maaf, untuk kelalaianku selama ini, Aku ingin memulainya dari awal," ucapku tulus.
Mas Arga mengangguk, kemudian kami melanjutkan obrolan tentang rumah produksi batik Mas Arga dan butik batik milikku. Dia kembali meminta aku untuk tidak terlalu lelah mengurus butik. Selama ini Santi selalu menggantikan tugasku kala aku tidak berada di butik. Namun, kalau untuk urusan keuangan, aku selalu mengurusnya sendiri.
"Kamu bisa telepon Mega, mungkin ada siswanya yang sudah lulus nyantri butuh kerjaan, kamu tau sendiri kan Si Aan yang direkomendasikan Mega buat bantu aku di pabrik sangat bisa dipercaya. Insyaallah, pilihan Mega gak akan membuat kita kecewa," saran Mas Arga diakhiri usapan lembut di pipiku.
"Nanti sampai kantor kita telepon Mega ya," jawabku tersenyum.
Sepanjang perjalanan kami gunakan untuk berdiskusi mengenai rencanaku untuk tidak terjun langsung sepenuhnya di butik. Mas Arga terlihat bahagia dengan keputusan yang kuambil.
Sesampainya di rumah produksi batik, aku disambut Nurul anak teman ibuku yang bekerja di sana sebagai penjaga toko yang merangkap resepsionis, penerima para customer yang datang.
Nurul berusia sekitar dua puluh empat tahun, tingginya semampai, badannya berisi, dia mengenakan kemeja batik dan celana hitam dengan kerudung di atas dada. Penampilannya sangat mendukung sebagai penerima tamu di rumah batik milik Mas Arga. Namun, aku menangkap tatapan tidak suka dari Nurul yang melihat aku menggandeng mesra lengan Mas Arga. Melihat tatapannya yang mengarah pada tanganku, membuatku semakin merekatkan tubuh ke Mas Arga ketika Nurul menyalami kami.
"Selamat pagi, Bu Sinta, Pak Arga," sapanya.
"Pagi, kami langsung ke atas ya," ucap Mas Arga, sedangkan aku tersenyum padanya.
"Cantik ya Mas, resepsionis kamu," ujarku ketika berlalu dari hadapan Nurul.
"Kamu yang paling cantik, Yang," puji Mas Arga, dia memeluk bahuku untuk melanjutkan langkah kami.
Dari toko, kami melangkah ke ruangan luas tanpa sekat yang digunakan untuk membatik. Di sini para pembatik duduk di depan gawangan (tempat untuk menyampirkan kain yang dipakai untuk membuat batik). Di samping mereka terdapat canting yang digunakan sebagai alat untuk pembentuk motif dan kompor kecil yang digunakan untuk mencairkan lilin dan pewarna.
Para pembatik menyapaku satu persatu, aku membalas sapaan mereka dengan senyum dan anggukan. Mereka rata-rata tetangga ibuku, beliau juga yang merekomendasikan mereka untuk bekerja di tempat ini.
Sebelum menaiki tangga aku melihat dan menyapa beberapa pekerja yang sedang melakukan proses pewarnaan pertama yaitu mencelupkan kain pada warna pada bagian yang ditutup oleh lilin, Setelah dicelupkan, kain dijemur dan dikeringkan di halaman belakang gedung ini yang memang dikhususkan untuk menjemur kain-kain batik.
Ketika aku kembali ke tangga, Mas Arga sedang berbincang dengan Laila, resepsionis dan penjaga toko yang punya tugas sama dengan Nurul. Laila menggunakan pakaian yang sama dengan Nurul.
Laila tidak setinggi Nurul, tubuhnya mungil, tetapi payudaranya padat berisi, bibir tipisnya dipoles lipstick warna nude. Mata Laila yang sipit dengan kulit wajah yang putih bersih membuatnya terlihat seperti gadis keturunan tionghoa. Laila menawarkan secangkir kopi pada Mas Arga dengan senyum manisnya, dia juga menanyakan pada suamiku apa yang dibutuhkannya. Namun, Mas Arga menolak.
Aku berdehem agar mereka menyadari keberadaanku, Mas Arga tersenyum manis dan menarik tanganku agar mendekat.
"Selamat pagi, Bu Sinta," sapa Laila, tidak jauh berbeda dengan Nurul, aku pun menangkap ekspresi kecewa di wajah Laila ketika melihatku.
"Pagi, Yuk Mas," ajakku.
Setelah aku membalas sapaan Laila, mas Arga menggenggam tanganku untuk menaiki anak tangga.
"Tumben ke sini, gak ada kerjaan banget," gerutu Laila yang masih terdengar oleh telingaku, aku membalik badan ingin menimpali ucapan Laila. Namun, Mas Arga sudah menarik pinggangku untuk melanjutkan langkah kami.
Di bagian atas gedung ini hanya terdapat sofa panjang dan meja yang membentuk huruf U. Sofa yang cukup diduduki oleh dua puluh orang lebih dan sering digunakan untuk meeting ataupun menerima tamu.
Aan dan Bagas berdiri menyambut kami, meja mereka terdapat di luar ruangan Mas Arga, di lantai atas rumah produksi batik. Di sini hanya ditempati mereka berdua dan Mas Arga.
Dulu aku berpikir mas Arga tidak akan berbuat macam-macam di kantornya, tetapi melihat tatapan Nurul dan Laila pada Mas Arga membuatku sadar kalau di rumah batik ini juga ada karyawan yang berpotensi menjadi Ulat Bulu yang menebar racun 'gatel' mereka pada suamiku.
"Mas masuk duluan aja ya, Aku mau ngobrol sama Aan boleh?" ijinku.
"Jangan macam-macam ya, An," ancam Mas Arga mengacungkan telunjuknya pada Aan.
"Siap, Bos." Aan mengangkat tangan kanannya, bersikap hormat pada mas Arga yang membuat kami semua tertawa.
Aku menanyakan pada Aan, adakah teman alumni di pondok pesantrennya yang menganggur dan bisa dipercaya untuk aku tempatkan di butik. Namun, Aan menyarankan untuk bertanya langsung pada Mega, karena yang aku butuh pekerja wanita. Aan tidak begitu mengenal santriwati di sana, karena komunikasi antara santriwan dan santriwati sangat dibatasi.
Aku juga bertanya perihal Nurul dan Laila pada Aan. Aan bercerita kalau setiap hari Nurul dan Laila yang bergantian mengantar minuman dan makanan buat Mas Arga.
"Buat Mas Arga saja, atau buat kamu dan Bagas juga?" selidikku.
"Kami buat minum sendiri di sana, Bu." Aan menunjuk dapur mini yang terletak di pojok ruangan, dekat dengan musala kecil dan kamar mandi yang berjejer beriringan. "Kalau makan siang biasanya sekalian shalat dzuhur jamaah di masjid, jadi kami berdua seringnya makan di luar," jawab Aan tanpa menaruh sedikit pun kecurigaan kenapa aku bertanya perihal itu. Setelah berterima kasih pada Aan, aku masuk ke ruang kerja mas Arga.
Di ruangan itu terdapat dua sofa bed yang diletakan membentuk huruf L dengan meja di tengahnya. Mas Arga sedang membaca berkas di tangannya ketika aku masuk.
"Mas aku ke kamar mandi dulu ya."
Dia hanya menatapku sekilas tersenyum dan mengedipkan matanya merespon ucapanku, kemudian kembali fokus dengan kertas di tangannya.
_____I.S_____