"Pak Wawan mana, Bu?" Pertanyaan Lelis langsung merubah raut wajah Pipit. Pipit terlihat enggan menjawab pertanyaan dari Lelis.
"Bu pipit suka baca postingan aku di FB dan IG gak?" tanya Lelis mengubah topik pembicaraan karena Pipit sangat terlihat kurang suka ketika dia mempertanyakan keberadaan Wawan.
"Ya namanya berteman dan saling follow ya pasti muncul di berandaku, Bu."
"Bu, kok kayak kurang akrab ya dari tadi ngobrol manggilnya Ba-Bu-Ba-Bu, panggil, Mbak aja ya, biar lebih santai kedengarannya," usul Lelis sambil cekikikan
"Gimana, Bu, eh mbak Lelis saja. Suka lihat postingan promosi ibu tentang biro jasa apa itu namanya?" tanya Pipit kemudian. Lelis pun memberi tahu nama biro jasanya.
"Lancar, Bu?" lanjut Pipit kembali bertanya.
"Alhamdulillah, lumayan lah sebulan lebih aku buka bisnis itu, baru empat klien yang mampir, itu pun yang satu mah teman sendiri." kata Lelis.
"Aku agak gimana gitu waktu pertama mbak posting promosiin Biro Jasa Konsultan Ranjang. Ya Allah namanya itu loh, Mbak," aku Pipit sambil bergidik.
Tidak mau terlalu lama berbasa-basi, Lelis pun sedikit demi sedikit menjelaskan biro jasanya, dia juga memberikan sedikit gambaran tentang penyelesaian kasus. Terakhir dengan perlahan dan hati-hari, akhirnya Lelis memberitahu pada Pipit kalau tadi pagi Wawan mendaftarkan diri jadi klien di biro jasanya. Cuma karena Lelis tidak menerima klien yang berbeda jenis kelamin. Maka dia memutuskan menemui Pipit untuk penyelesaian masalah yang sedang dihadapi Wawan.
Awalnya Pipit sedikit kaget, dia tidak mengira Wawan sampai memutuskan untuk menjadi klien di biro jasa Lelis.
"Dia cerita apa?" tanya Pipit dengan nada ragu.
"Semua, ini formulir pendaftarannya, barangkali mbak mau baca." Lelis mengeluarkan formulir pendaftaran yang sudah di tanda tangani dirinya dan Wawan.
"Insya Allah kami menutup rapat data dan masalah para klien, Mbak," jelas Lelis mencoba menghapus keraguan yang tampak jelas di wajah Pipit.
Pipit membaca formulir pendaftaran yang telah di isi dan di tandatangani oleh Wawan. Di formulir tersebut selain ada data klien dan Lelis juga ada penyebab masalah dan hasil penyelesaian masalah yang diharapkan klien. Serta point-point yang perjanjian yang mengharuskan klien menjawab pertanyaan dengan jujur dan tidak menyembunyikan apa pun pada Lelis. Di formulir juga tertulis bahwa semua data dan permasalahan yang dihadapi klien akan dijaga kerahasiaanya oleh Lelis. Formulir diakhiri tanda tangan Lelis dan Wawan yang ditengahnya dibubuhi sebuah materai. Di lembar terakhir juga dituliskan paket dan biaya penyelesaian masalah yang dipilih oleh klien.
"Aku mau fokus ngerawat Nisya dulu, Mbak, baru berpikir tentang kelanjutan hubungan kami," kata Pipit sambil menyerahkan kembali formulir ke tangan Lelis. Raut wajah lelah dan kesedihan yang berusaha ia sembunyikan di depan Nisya tentu patut diacungi jempol.
Hati perempuan mana yang tidak hancur kalau saat sang buah hati jatuh sakit, suaminya justru mendekap perempuan lain dan tidak ada disisinya untuk menguatkan serta mendampingi anak dan istri. Merasa terabaikan sudah pasti. Kalau tidak ada Zaki dan Nisya, keputusan Pipit sudah teramat jelas akan memilih mundur merelakan suaminya bersama si mantan. Namun, ada kedua buah hatinya yang harus dia pertimbangkan dalam segala keputusan. Bagaimanapun Zaki dan Nisya membutuhkan orang tua kandung yang lengkap untuk mendidik dan mendampingi mereka menapaki setiap tahap tumbuh kembang.
"Nanti saya hubungi, Mbak. Doakan Nisya lekas pulih," pinta Pipit.
Lelis menepuk punggung tangan Pipit untuk memberikan semangat.
"Sehat selalu ya, Mbak. Semoga sabar mbak tetap tak terbatas, selalu sehat mendampingi Nisya hingga pulih, semoga bang Zaki juga tidak rewel di rumah," ucap Lelis penuh harap.
Mereka berpelukan sebelum Lelis meninggalkan ruang rawat Nisya. Tak lupa mereka juga saling bertukar nomer kontak. Lelis langsung beranjak meninggalkan ruang rawat Nisya untuk menghapiri Serlin dan Wahyu di taman bermain. Serlin sedang asik main perosotan di taman bermain ketika Lelis tiba di sana.
"Sudah, Yang?" tanya Wahyu yang duduk di bangku yang tersedia di bawah pohon mangga untuk mengawasi anak-anak yang sedang bermain.
"Sudah, Yah, tapi mungkin kelanjutannya nanti setelah Nisya keluar dari rumah sakit."
"Kasian ya, Bun, semoga ayah tidak akan pernah melakukan kesalahan seperti itu, tolong jangan pernah bosen buat ngingetin," pinta Wahyu, dia genggam kedua tangan Lelis yang mengaminkan kalimat yang wahyu ucapkan.
__I.S__
Seminggu berlalu, Pipit belum juga menghubungi Lelis. Dari pengakuan Wawan, Pipit memutuskan pulang ke rumah orang tuanya ketika Nisya sudah diizinkan ke luar dari rumah sakit. Sudah berulang kali Wawan datang ke sana tetapi pipit tidak menemuinya sama sekali. Dia hanya diijinkan bertemu dengan Nisya dan Zaki.
[Mbak, sibuk gak, aku mau telepon boleh? Mumpung Nisya tidur dan bang Zaki ikut bapak ke Kebun Jagung.]
Satu pesan masuk dari Pipit bertepatan dengan bunyi bel empat kali yang menandakan jam pelajaran telah selesai.
[Lima menit lagi nanti saya hubungi mbak, ini masih di kelas.]
Dengan segera Lelis membereskan buku administrasi guru yang selalu dia bawa ketika mengajar. Setelah memberikan refleksi dan menutup kelas dengan doa dan salam, dia pun berjalan menuju saung yang terletak di antara ruang UKS dan perpustakaan sekolah.
Telunjuknya dengan lincah mencari nama Pipit dan segera menekan tombol panggilan untuk melakukan panggilan suara.
"Assalamu'alaikum," sapa Pipit di seberang.
"Waalaikumsalam, apa kabar mbak? Nisya sudah sehat?" tanya Lelis membuka percakapan.
"Alhamdulillah sudah sangat membaik meski belum kembali lincah seperti biasa, Mbak."
Mereka berbasa-basi sejenak sebelum akhirnya Pipit menyampaikan kebingungannya akan hubungan dia dan Wawan saat ini.
Seandainya Pipit egois, satu hal yang paling dia inginkan saat ini yakni, segera berpisah dari Wawan dan berjuang untuk menjalani kehidupan barunya tanpa Wawan. Dia merasa jijik kala membayangkan sang suami berhubungan dengan wanita lain. Riska mengirim foto mereka ketika berada dalam satu selimut berdua di ranjang dengan disusul foto struk pembayaran check in di sebuah hotel.
Foto itu sudah dihapus tak lama setelah dia memperlihatkannya pada bapak mertua, tetapi tidak bisa dicegah bayangan foto tersebut sering terlintas begitu saja di pikirannya. Pipit ingin mempertahankan ego dan amarahnya pada Wawan. Namun, Nisya dan Zaki kerap bertanya kapan mereka akan kembali ke rumah dan tidak menginap di rumah Bapak dan Nenek mereka.
Orang tua Pipit juga sudah mengetahui permasalahan Wawan dan Pipit. Pipit tidak ingin menyembunyikan masalah itu di depan keluarganya karena apapun yang terjadi dukungan dari orang tuanya sangat ia butuhkan sekarang. Orang tua Pipit pun menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Pipit. Mereka hanya memberikan nasehat pada sang putri agar jangan gegabah dalam mengambil keputusan karena bagaimanapun masa depan Zaki dan Nisya itu harus dipikirkan.
"Mbak, memang berat berada di posisi mbak saat ini, tapi sejenak silakan mbak berintrospeksi diri serta berpikir baik buruknya keputusan apapun yang akan mbak ambil," saran Lelis ketika Pipit menyelesaikan kalimat terakhirnya.
"Saya tidak menyalahkan mbak, tidak juga menyalahkan Pak Wawan, tapi dalam hal ini komunikasi sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah ini," lanjut Lelis.
Lelis menceritakan dengan hati-hati pengakuan yang Wawan sampaikan kenapa dia bisa tergoda dan main gila dengan si mantan.