Chereads / KONSULTAN RANJANG / Chapter 16 - Kesempatan Kedua

Chapter 16 - Kesempatan Kedua

Wahyu dan Lelis kini duduk di long sofa sementara Wawan duduk berhadapan dengan Pipit di single sofa yang terletak di sisi kanan dan kiri Lelis di ruang tamu rumah Lestari. Nisya dan Zaki diajak Sodikin, kakek mereka untuk bermain di pasar malam yang ada di ujung desa bersama dengan sang Nenek yang juga memilih ikut serta pergi dengan mereka.

Mereka pergi sesaat setelah kedatangan Wawan, Lestari dan Sodikin menyerahkan semua keputusan di tangan anak dan menantunya. Sebagai orang tua mereka hanya ingin apapun yang sudah diputuskan itu tidak berpengaruh buruk untuk cucu-cucu mereka.

Sebelum pergi Nisya dan Zaki bergantian digendong dan dipeluk Wawan serta tidak lupa mereka juga merengek meminta Wawan tetap berada di sana sampai mereka kembali agar bisa ikut Wawan pulang setelah bermain di wahana yang ada di pasar malam.

"Pit, maafkan aku," ucap Wawan lirih memecah kesunyian yang terjadi beberapa saat setelah kepergian anak dan mertuanya. Tangannya saling bertautan dengan kepala menunduk tidak berani menatap Pipit yang duduk tepat di depannya.

Pipit diam tidak menjawab dan merespon apa pun, rasanya dia masih sangat muak untuk melihat wajah Wawan yang secara otomatis mengingatkan dirinya paada foto Wawan dan Mariska, si mantan yang sedang berpelukan di bawah selimut tanpa baju bagian atas mereka.

"Maafkan aku, Pit," ulang Wawan dengan mengangkat dagunya menatap Pipit, berharap maafnya diterima. Namun, Pipit masih diam tidak bereaksi sedikit pun. Wawan berdiri dan medekat ke arah Pipit.

"Aku salah, aku berdosa, aku menjijikan, aku mungkin tak pantas mendapatkan maafmu, Pit. Namun, Aku gak bisa kehilangan kamu dan anak-anak. Aku janji Pit, itu adalah yang pertama dan terakhir. Tidak akan pernah terulang lagi, aku janji. Maafkan aku, Pit," ucap Wawan sambil berlutut di depan istrinya.

Dia genggam tangan Pipit yang terasa dingin. Pipit memalingkan wajah enggan menatap sang suami.

"Pit, apapun akan aku lakukan untuk menebus kesalahanku, aku benar-benar gak mau keluarga kita hancur, aku...." Wawan tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

"Aku maafkan kali ini, demi Nisya dan Zaki, tapi kalau hal ini terulang lagi aku gak akan berpikir dua kali untuk tetap pergi dari hidup kamu," tegas Pipit tanpa memandang Wawan.

"Perlu waktu untuk mengembalikan semua kepercayaanku, perlu waktu untuk menghapus apa yang sudah direkam otakku ketika melihat foto kalian, tapi demi Nisya dan Zaki yang butuh ayahnya aku rela mengalah untuk berusaha memaafkanmu," putus Pipit melanjutkan kalimatnya.

"Terima kasih, terima kasih, Pit. Terima kasih untuk kesempatan kedua yang kamu berikan." Wawan mengecup punggung tangan Pipit berkali-kali.

Lelis yang melihat pemandangan di depannya meneteskan air mata haru dan bahagia. Wahyu melingkarkan tangan kirinya di bahu sang istri dan menepuk bahu Lelis berulang kali.

Lelis berdehem, mengingatkan Wawan akan keberadaan dirinya dan Wahyu. Wawan tersenyum ke arah Wahyu kemudian berdiri dan berjalan mendekati kursinya untuk kembali duduk.

"Mbak, tetap semangat berjuang untuk kebahagiaan anak-anak, insya Allah mulai besok jadwal konsultasi mbak sudah bisa dimulai, nanti aku japri via WA," tutur Lelis dengan hati-hati.

"Selamat ya, Pak Wawan, mulai sekarang semoga tidak ada lagi celah untuk orang ketiga ada di antara kalian. Jangan sia-siakan kesempatan yang sudah diberikan mbak Pipit, kalau ada apa-apa pak Wawan bisa menghubungi suami Saya," lanjut Lelis menyambung ucapannya.

Sebelum pamit pulang dan memberikan waktu pada Wawan dan Pipit untuk bicara berdua sampai anak-anak mereka datang. Lelis juga berpesan agar Wawan sabar menghadapi kemungkinan emosi Pipit yang belum stabil karena masalah ini, dia juga berpesan pada Pipit untuk mencoba ikhlas memaafkan Wawan agar dia segera melupakan kejadian ini dan memulai memperbaiki dan membangun keutuhan keluarga mereka dari sekarang.

"Sabar ya, Mbak, semoga semua secepatnya berlalu," pesan terakhir yang Lelis ucapkan sebelum mengucapkan salam dan berpelukan dengan Pipit, kemudian berjalan ke arah motor mereka untuk pulang bersama Wahyu.

Lega rasanya meskipun perjuangan Lelis sebagai konsultan ranjang di kasus Wawan dan Pipit baru akan dimulai besok. Setidaknya malam ini terlewati begitu mudah tanpa ada debat kusir yang tak berujung. Dia semakin percaya diri bisa menutup kasus kali ini dengan memuaskan seperti kasus sebelumnya.

Satu hal yang akan dia lakukan untuk melaksanakan misi selanjutnya yaitu membuat beberapa pertanyaan yang akan diajukan pada Pipit sebagai bekal dirinya membuat outline penyelesaian misi serta panduan untuk memberikan tips dan trik untuk keharmonisan keluarga Pipit dan Wawan.

Tangan Lelis dilingkarkan di pinggang suami, dia tenggelamkan wajahnya di punggung Wahyu, menghirup wangi kemeja sang suami dengan perasaan lega yang luar biasa. Wahyu yang sedang menyetir motor mengusap tangan Lelis dengan tangan kirinya.

"Mau makan dulu, Bun? Kita belum makan, tadi sore Bunda juga gak masak," ajak Wahyu.

"Boleh, pecel lele sama bebek goreng yang di tikungan ya," jawab Lelis sambil menunjuk warung tenda yang tak jauh dari mereka. Dagunya kini bertengger di bahu Wahyu.

"Dibungkus saja, takut terlalu malam jemput Serlin di tempat Ibu," saran Lelis.

Wahyu mengangguk setuju, dia memberhentikan motornya di samping warung tenda yang ditunjuk Lelis.

Warung Pecel khas Lamongan yang menyediakan berbagai menu makanan dengan sambel khas yang sangat nikmat sehingga membuat warung mereka tidak pernah sepi pengunjung.

_____I.S_____

Wawan Pov

Sudah seminggu Pipit dan anak-anak kembali ke rumah. Namun, Pipit masih tidur di kamar Nisya. Aku tidak berani meminta dan berharap terlalu banyak. Aku tahu salahku terlalu besar. Mendapatkan maaf dari dia saja aku sudah sangat bersyukur. Meskipun begitu, Pipit masih tetap menyiapkan makanan dan pakaian untukku.

"Yah, kok bunda setiap malam aku lihat tidur di kamar Nisya?" tanya Zaki, anak sulung kami yang sudah berusia tujuh tahun.

"Nisya habis sakit bang, mungkin bunda belum tega ninggalin dia tidur sendiri," terangku memberi pengertian pada Zaki. Dia terdiam sejenak seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Ayah sama Bunda baik-baik saja?"

"Kok abang nanya gitu?" Aku membalikkan badannya menatap manik mata Zaki, bulu mata yang lentik dan alisnya yang tebal membuat tatapan zaki terlihat tajam bak elang.

"Aku gak mau ya, bunda sama ayah pisah, kalau kata orang cerai. Aku mau kita berempat terus bareng-bareng. Ayah harus bujuk bunda supaya bunda mau tidur sama ayah lagi," raung Zaki.

Entah apa yang dia pikirkan. Entah dari mana dia bisa menyusun kalimat seperti itu. Entahlah anak sekecil dia ternyata peka pada keadaan sekitarnya. Ternyata dia memperhatikan hubungan aku dan Pipit yang dua minggu ini terasa amat kaku.

"Abang kok mikir begitu, sudah jangan mikir macam-macam, anak laki-laki jangan sering-sering umbar air mata bang. Gantengnya nanti berkurang," bujukku mencoba meredakan tangisnya. Zaki mengusap mata yang basah dan ingus yang keluar dari hidung dengan ujung baju yang dia pakai.

"Abang jorok, nih pakai tisu," tegurku sambil menyerahkan sekotak tisu di meja. Dia mengulangi menyeka kedua mata dan membersihkan hidungnya dengan tisu. Zaki terlihat menarik napas dalam untuk meredakan sesenggukan yang belum juga reda meski air matanya tak lagi keluar.