Lestari menarik nafas panjang, sebelum melanjutkan nasehatnya.
"Ibu dan bapakmu ini memang petani tok, Pit. Setiap hari bapakmu ke sawah, ke kebun, ibu di rumah yo ngurus kamu dan kakak-kakakmu. Kamu juga tentu ingatkan, Ibumu ini dulu berjualan nasi kuning dan nasi uduk setiap pagi untuk bantu bapakmu membiayai kalian sekolah." Lestari menyenderkan badan pada tembok, kedua kakinya yang menjuntai dinaikkan ke atas ranjang untuk diluruskan.
"Sesibuk apapun Ibu, Ibu yo selalu melayani bapakmu dengan senyuman. Bapakmu itu 'kan kerja berat di sawah, kalau malam ya pengennya ngusel ke Ibu. Obat penghilang lelah dan pegal paling mujarab katanya. Kalau siang kalian gak di rumah, bapakmu ya pengen terus manja-manjaan sama Ibu, mumpung berdua kata bapakmu." Lestari tersenyum seolah menerawang masa dimana dia dan suami harus pandai mencuri waktu buat berduaan ketika anak-anak mereka lengah.
"Ibu gak capek kalau bapak setiap malam minta?"
Lestari tertawa mendengar pertanyaan sang putri.
"Kalau Ibu nganggap itu beban, ya pasti capek toh, Pit. Seharian kamu sama kakak-kakakmu itu gak ada habisnya ngacak-acak mainan di dalam dan di luar rumah."
Lestari menarik tangan Pipit untuk duduk lebih dekat dengannya. Pipit mundur dan ikut bersandar di tembok.
Sang ibu melanjutkan kalimatnya untuk menjawab pertanyaan Pipit, bahwa sebagai seorang wanita tugas utamanya adalah melayani suami. Maka sudah sepatutnya seorang istri melaksanakan tugasnya dengan sukarela tanpa beban, sehingga ketika melayani suami bukan hanya pahala yang kita dapatkan tapi juga kepuasaan.
"Kamu melayani Wawan sambil tidur apa enaknya, Wawan gak enak, kamu juga gak bakal ngerasain apa-apa. Coba ya layani suami itu dandan dulu, ngobrol dulu, rayu-rayuan, pemanasan gitu. Saling menyentuh dan merayu badan pasangan itu nikmat luar biasa, Pit." Wajah Lestari bersemu merah membayangkan keromantisannya dengan suami.
"Ibu aku capek habis kerja, ngurus rumah, apalagi abang sama Nisya itu aktif banget," gerutu Pipit.
Lestari justru terbahak mendengar Pipit yang menggerutu dengan nada kesal.
"Apa bedanya kamu sama Ibu, anak ibu tiga, kamu dibantu mertua. Saat kerja gak ngurus anak, lah Ibu ngurus kamu dan kedua kakakmu sendirian sambil kerja juga meski gak ngantor kayak kamu."
Bagi Lestari pekerjaan apapun ketika dilakukan dengan ikhlas dan tanpa beban pasti akan menyenangkan. Beda halnya kalau merasa terpaksa melakukan sesuatu, seringan apapun pasti terasa berat dan melelahkan.
"Kamu coba hidup dengan penuh rasa syukur, Nak. Bermain dengan anak-anak jangan kebanyakan ngomel, nikmati saja masa menemani mereka main, ajak mereka beresin mainan dengan cara menyenangkan. Cucu ibu 'kan anak pintar semua. Tuh kamu lihat kalau di sini merek beresin mainan sendiri."
"Kalau di rumah mereka itu gak nurut bu sama aku, habis mainan ya udah ditinggal," adu Pipit.
"Kamu nemenin mereka main, atau kamu asik mainan Hp saat anak-anakmu main?"
Skak match.
Pipit langsung terdiam mendengar pertanyaan sang Ibu, sudah pasti jawabannya adalah dia sibuk scroll beranda FB atau IG ketika Nisya dan Zaki bermain, bahkan tanpa sadar mereka sudah berpindah tempat dari ruang televisi ke kamar tanpa sepengetahuan dia yang asik fokus dengan gawai yang kerap kali membuatnya terlena dan melupakan banyak hal.
Pipit menghembuskan napas dengan kasar.
"Aku mesti gimana, Bu?" tanyanya memelas.
"Belajar, Nak. Belajar disiplin dengan waktumu, saat kamu kerja silakan kamu selesaikan pekerjaan dengan baik dan bisa membuka HP kamu sesaat ketika istirahat atau ada waktu luang, tapi jangan sampai kebablasan. Pulang ke rumah jatah putra-putrimu mendapatkan perhatian dari kamu, temani mereka main, ajak mereka membantu kamu mengerjakan sesuatu, tinggalkan HP-mu sesaat. Ibu rasa hanya dunia semua yang diperlihatkan di sana. Hidup ibu lebih berwarna tidak mengenal Hp kecuali untuk telepon kamu dan kakak-kakakmu serta cucu-cucu ibu," kata Lestari diakhiri dengan tepukan di pundak Pipit.
"Kamu punya banyak waktu buat HP kamu yang menurut ibu itu gak penting, tapi buat melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri kamu malas-malasan. Ibu yakin secapek apapun kamu kalau handphone kamu itu bunyi ngasih tahu ada produk diskon, kamu langsung semangat 'kan? Nah, ini yang jaminannya surga loh, Nak, melayani suami tuh. Kamu malah ogah-ogahan gara-gara handphone," pungkas Lestari yang telak membuat Pipit diam merenung membenarkan perkataan ibunya.
Setelah obrolan panjang dengan sang Ibu, Pipit mengirim chat pada Lelis bahwa dia bersedia bertemu dengan Wawan secepatnya. Pipit tidak ingin masalahnya dengan sang suami berlarut-larut. Nisya dan Zaki seakan tidak pernah puas dengan jawaban darinya ketika menanyakan keberadaan sang ayah dan kapan mereka bisa pulang ke rumah.
Lelis baru saja menyelesaikan olahraga sore dengan suaminya ketika ponsel Lelis bergetar dan menampilkan ada sebuah pesan masuk dari nomer Pipit.
"Ayah saja nanti yang telepon pak Wawan ngajak dia ke rumah bu Pipit nanti malam," usul Lelis pada Wahyu sambil menunjukkan pesan dari Pipit.
Rumah orang tua Pipit yang hanya berjarak sepuluh menit berkendara dengan motor membuat Wahyu mengiyakan usul sang istri. Setelah sedikit mendiskusikan outline permasalahan dan pemecahan masalah yang tepat untuk Wawan dan Pipit, Wahyu segera menghubungi Wawan dan menyampaikan niat mereka untuk membantu proses mediasi antara Wawan dan sang istri di kediaman orang tua Pipit.
"Nanti malam saya ke rumah Pak Wahyu dulu ya sebelum ke tempat Ibu," usul Wawan yang disetujui Wahyu.
"Ya sudah ditunggu ya, Pak. Jangan kemalaman," pesan Wahyu sebelum mengakhiri panggilan.
Begitu Wahyu menutup panggilan, ponsel Lelis kembali berdering, panggilan video call dari nomer Sinta. Wahyu memberikan ponsel pada Lelis lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Lelis mengenakan kembali pakaiannya dengan cepat sebelum mengangkat panggilan dari Sinta.
"Halo bunda assalamualaikum," sapa Agatha dengan gaya ceriwisnya. Terlihat tangan mungil Agatha melambai di layar ponsel.
"Waalaikumsalam Tata cantik, tumben nih telepon bunda sore-sore."
"Aku kangen Adik Lin, mana adik Lin, Bun?"
Hampir saja Lelis ingin menjawab Serlin sedang tidur, tetapi urung dia katakan saat melihat Serlin kecil membuka pintu kamar dan berjalan ke arahnya.
"Sini dik, ada kakak Tata nih." Lelis mengangkat tubuh mungil sang putri untuk dia dudukkan di paha.
Lin tersenyum melihat Tata dan melambaikan tangannya.
"Kakak," teriak Lin yang langsung di sambut kehebohan Tata di seberang.
Entahlah apa yang mereka bicarakan dengan bahasa ala anak-anak yang terkadang membuat lelis mengkerutkan dahi karena bingung mengartikan maksud kedua bocah tersebut.
"Adik Lin, Aku happy banget soalnya di perut mommy sekarang ada adik bayi, aku mau adik bayi yang lucu kayak adik Lin ya, Mom," celoteh Tata sambil menengok kea rah Sinta yang duduk di sampingnya. Serlin yang sebenarnya tidak mengerti maksud Tata ikut tertawa melihat Tata yang meloncat girang sambil berulang kali berkata'Hore'. Dinda kaget sesaat mendengar kabar bahagia yang keluar dari bibir mungil Tata.
"Hore akhirnya Kakak Tata mau punya adik bayi, selamat ya kak," sorak Dinda dengan nada bahagia.
Selebihnya Tata dan Serlin kembali menguasai obrolan, sedangkan Lelis masuk ke kamar mandi bergantian dengan Wahyu yang sudah selesai membersihkan diri.
__I.S__