"Nih, makanan. Segera habiskan dan pergi ke kamarmu," ucapnya sembari berlalu pergi. "Apa-apaan gadis malam-malam tidur di tempat gelap," gerutunya. Suaranya itu dapat didengar oleh Grizelle hingga membuatnya diam karena tidak tahu harus berkomentar apa.
"Makanan untukku?" Wanita itu mengangkat makan yang ada di dalam tas kecil.
Raut wajahnya datar, tetapi seketika ia tersenyum dan berlari ke dapur.
"Memang, setelah tidur aku merasa lapar. Ah, Bo memang sangat pengertian," ucapnya sembari membuka bungkusan. "Tapi apa yang dilakukannya hingga pulang malam begini? Apalagi dia pergi pagi-pagi sekali bukan?" Grizelle menghentikan tindakannya. Ia melirik ke kanan atas selama beberapa detik.
Begitu makanan habis, wanita itu segera melangkah ke kamarnya. Namun, sebelum itu ia memastikan bahwa pintu sudah terkunci. Dia tidak ingin ada pencuri yang masuk ke villa itu dan mengambil barang-barang. Meski bukan barang miliknya, tetapi sangat disayangkan jika ada sesuatu yang hilang.
"Aku baru bangun ... tidak ngantuk sama sekali!" Grizelle yang tengah terbaring merasa kesal. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan di rumah asing ketika tidak mengantuk. Tidak lupa wanita itu juga menyalahkan dirinya karena tidur terlalu lama dan mengakibatkan matanya bening tanpa rasa kantuk.
Tok ... tok ... tok ....
Ketukan pintu terdengar di telinga putih yang berhiasi anting berwarna silver. Dia yang sedang berbaring pun menoleh ke arah pintu untuk memastikan bahwa pintu kamarnya-lah yang berbunyi.
"Eh, kenapa harus memastikan, bukankah sudah jelas hanya ada dua kamar yang diisi. Jika aku tidak mengetuk kamar Bo, berarti Bo yang mengetuk kamarku." Wanita itu bangkit dari tidurnya. Dia pun segera berdiri dan berjalan mendekati pintu. "Tapi ... kenapa malam-malam Bo mencariku?" gumam Grizelle.
Saat membuka pintu, benar, sang idola berdiri di hadapannya dengan tatapan canggung.
"Anu ... apa kamu belum mengantuk?" tanya sang idola.
"Ah, belum. Aku baru saja bangun dan tidak bisa tidur," jawab Grizelle. Dia menggaruk kepalanya sembari tersenyum lebar.
"Mau minum teh? Aku membawa teh khusus Kota Bing," ucap Rery sembari mengangkat kota kecil yang dijadikan tempat penyimpanan teh.
"Wah? Benarkah? Itu teh khusu?" Mata Grizelle berbinar menatap kotak yang sederhana, tetapi berisi sesuatu yang berharga.
Teh di Kota Bing memang banyak jenisnya. Namun, ada satu teh yang disebut teh khusus. Teh itu dapat di beli di toko tua yang ada di pinggiran kota. Namun, harganya yang sangat mahal membuat orang-orang menengah ke bawah tidak ingin membelinya meski ingin mencicipi rasanya.
Tanpa ragu Grizelle setuju, dia pun mengikuti Rery yang mulai melangkah menuju tangga. Kini keduanya sedang berada di dapur dan menyiapkan apa saja yang digunakan untuk membuat teh itu.
Grizelle membantu merebus air, sedangkan Rery menumbuk daun teh itu hingga lumat. Keduanya bekerja sama dengan baik, meski Rery lebih banyak melakukan prosesnya.
Setelah air mendidih, daun yang sudah di tumbuk dimasukkan ke dalam cangkir. Grizelle pun menuanginya dengan air panas sebanyak setengah gelas, setelah itu Rery menuang madu ke dalamnya. Sambil terus diaduk, Grizelle menambahkan air dari daun teh yang sudah di rendam beberapa menit ke dalam air panas.
Begitu teh tersaji, Rery mengambil camilan yang ada di rak dapur. Di sana tersimpan berbagai macam snack yang baru diketahui Grizelle. Wanita itu pun menyesal bahwa sebelumnya tidak menemukan harta karun itu.
"Ada apa dengan wajahmu?" tanya Rery saat melirik ke arah Grizelle.
"Ti-tidak ada apa-apa," jawab wanita itu sembari memalingkan wajah.
Rery menghela napas panjang. "Nih, kamu bisa menghabiskannya." Pria itu memberi snack berukuran besar kepada Grizelle. Tanpa menunggu lama, ucapan terima kasih diiringi senyum pun didapat oleh pria yang memberikannya.
Kini mereka melangkah menuju halaman samping. Keduanya duduk di kursi yang ada di teras sembari menikmati teh yang sudah dibuat.
"Wah, rasanya! Aku benar-benar tidak menyangka bisa meminum teh ini," ucap Grizelle dengan heboh begitu meneguk teh untuk pertama kalinya. Sedangkan Rery hanya tersenyum dan mulai meminum minumannya sendiri.
Suasana berubah menjadi hening. Keduanya sama-sama terdiam dan melakukan aktivitas masing-masing. Rery terus menatap ke depan tanpa bergeming. Sedangkan Grizelle, meski sama-sama menatap ke depan, tetapi mulutnya sibuk mengunyah snacak yang ia pangku.
"Bagaimana? Apa kamu betah?" tanya Rery tiba-tiba. Ia berniat memecah keheningan yang ada.
Grizelle menoleh. "Ah, ya ... rumah ini besar dan nyaman. Tidak ada alasan untuk tidak betah. Tapi—."
"Tapi apa?" pangkas Rery. Ia menoleh menatap wanita yang duduk di sampingnya.
"Ho! Bos! Apa kamu tidak bisa membiarkan orang lain menyelesaikan kalimatnya dulu?" Grizelle menatap Rery dengan tajam. Pria itu hanya diam sembari menganguk-angguk, seolah mengerti apa yang dikatakan rekan bicaranya itu. "Sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak betah di sini, tapi aku juga merindukan apartemenku. Bagaimanapun juga banyak waktu yang kuhabiskan di sana selama ini."
"Tidak apa-apa. Kamu masih bisa pulang ke sana sesekali," ucap Rery. Dia mencoba menenangkan Grizelle.
Setelah perbincangan sederhana itu, suasana kembali hangat. Keduanya terus mengobrol, membicarakan hal penting hingga tidak penting sekalipun. Bahkan suara tawa juga meramaikan malam yang hening itu.
Di bawah sinar rembulan bercahayakan gemerlap bintang, keduanya tampak akrab dan melupakan perbedaan. Tidak ada bos dan asisten, yang ada hanya pria dan wanita yang menikmati suasana.
"Emm ... Grizelle ...."
"Ya?" Saat namaya dipanggil, ia menoleh sembari menjawab.
"Maaf jika bertanya seperti ini." Rery diam sejenak. "Apa kamu tidak ingin menjadi model?" tanyanya lagi.
Mendengar pertanyaan itu Grizelle terdiam karena terkejut. Matanya membulat dan bibirnya tampak kaku. Namun, beberapa detik berselang, wanita itu tertawa terbahak-bahak. Bahkan ia sampai memegangi perutnya karena terlalu banyak tertawa.
"Apa pertanyaanku selucu itu?" tanya Rery kesal. Dia tidak menyangka bahwa pertanyaannya akan ditertawakan. Padahal ia berpikir Grizelle akan menjawabnya dengan serius.
"Hahaha, ti-tidak. Maaf." Grizelle menghentikan tawanya. "Sebenarnya apa yang membuatmu bertanya seperti itu? Pekerjaan biasa saja aku dipecat, apalagi model," ucapnya. Ia tersenyum meski kesedihan tergambar jelas di raut wajah wanita cantik itu.
"Apa aku harus menjawabnya?" Rery menatap Grizelle. Sedangkan wanita itu diam tidak menjawab. Ia hanya menaikkan kedua bahunya bersamaan dengan menaikkan kedua alisnya.
Rery menghela napas. "Aku tidak tahu kenapa kamu bisa dipecat disetiap pekerjaanmu. Tapi aku yakin tidak akan buruk jika kamu menjadi model. Apalagi—."
"Apa lagi apa?" Grizelle bertanya dengan penuh penasaran.
"Kamu cantik!" Rery menutup mulutnya, dia mengalihkan pandangan.
Mendengar hal itu wajah Grizelle memerah. Ia pun terdiam karena dadanya benar-benar berdebar. Tidak hanya wanita itu saja, bahkan Rery yang tengah memalingkan wajah ternyata juga sedang merona karena merasa malu. Ia tidak menyangka akan mengatakan hal itu di hadapan orang yang bersangkutan.