Piemento, Italy |ROCKEFELLER's Castle, 09:30 AM
Pagi ini Drystan akan terbang ke Spanyol sesuai rencana. Ia sudah cukup bersenang-senang selama tiga minggu terakhir bersama Hazel, gadis itu menepati janjinya. Hazel tidak menerima job apa pun selama tiga minggu, ia ingin menempel dengan Drystan seperti lem.
Hazel pikir dengan begitu Drystan akan membatalkan niatnya karna tidak tega dengannya. Namun semuanya hanyalah khayalan Hazel semata. Nyatanya kakaknya itu tetap akan berangkat.
"Kau benar-benar tidak akan membatalkan niatmu Zael?" tanya Hazel untuk kesekian kalinya,
Drystan tersenyum simpil, "Maaf Hazel, but i can't." keputusan Drystan sudah bulat. Tidak perduli mau berapa kali Hazel atau Mamma-nya membujuk, Drystan tidak akan mengubah keputusannya.
"Biarkan kakakmu menjalankan kewajibannya sayang." ucap Alger lembut, ia datang bersama Gracelyn. Bergabung dengan Drystan dan Hazel yang berada diruang keluarga.
"But Dad..." Hazel menunduk dalam. Drystan sudah cukup lama pergi sebelumnya, dan sekarang mungkin pemuda itu akan pergi lebih lama lagi. Ia masih belum rela.
"Kita akan mengunjunginya nanti, sayang. Kau tetap masih bisa bertemu dengannya." Alger kembali mencoba membujuk Hazel agar gadis itu membiarkan kakaknya pergi.
"But still..." Hazel sudah mulai menangis, ia terisak pelan.
Drystan langsung mendekap Hazel, mengelus punggung gadis itu dengan sayang. Saat merasa Hazel sudah lebih tenang, Drystan menarik pelan dagu Hazel agar gadis itu menatpnya.
"Hei, look at me! Tidak perduli sejauh apa aku akan pergi, aku akan tetap pulang Princess. Cause you are here." Drsytan menghapus air mata Hazel,
"Really?" Hazel menatap netra biru milik kakaknya,
"Ofcourse! Aku akan kembali dimana adik kecilku berada." Drystan kembali memeluk Hazel,
"Promise?" tanya Hazel disela isakannya,
Drystan mengurai pelukannya, "Aku tidak seperti seseorang yang suka ikar janji." ucapnya dengan nada menggoda.
Hazel mengusap air matanya kasar, dan mendengus kesal.
"Semuanya sudah siap Tuan Muda." suara berat seorang pria bertubuh kekar dengan setelan hitam, mengintrupsi mereka.
"Baiklah kita berangkat sekarang Dion." Drystan bangkit dari duduknya, diikuti dengan Hazel, Alger dan Gracelyn.
"Kau yakin tidak ingin kami antar sampai bandara, Son?" tanya Alger,
"Tidak perlu Dad. Aku khawatir nanti ada seekor kucing yang kan menyelinap masuk." Drystan menatap geli Hazel, ia tahu apa yang ada didalam otak kecil adiknya itu jika mereka ikut mengantar sampai kebandara.
Alger tertawa renda, ia melirik putrinya yang mendengus kesal karna rencanya sudah ketahuan sebelum dimulai.
Alger memeluk Drystan secara jantan. Memberi sedikit nasehat untuk putranya. Lalu Drystan beralih memeluk Ibunya, Gracelyn sudah menyerah membujuk Drystan. Ia hanya akan berdo'a yang terbaik untuknya.
"Hati-hati sayang, pulanglah jika memungkinkan." ucap Gracelyn lembut, yang dibalas anggukan oleh Drystan. Ia lalu mencium dahi ibunya.
"Jaga Mamma anda Daddy selama aku pergi, kau bisa kan?" Drystan mengusap pucuk kepala Hazel sayang,
"Tck! Aku bukan anak kecil. Itu hal mudah bagiku." lalu Hazel menghambur ke dalam pelukan Drystan. Memeluk pemuda itu erat. Drystan tersenyum kecil, membalas pelukan Hazel.
Drystan masuk kedalam mobil, Hazel menatap lekat mobil yang membawa kakaknya kian menjauh. "Ia akan kembali sayang." Alger mengusap syang kepala Hazel.
"I know..." jawab Hazel pelan.
Entah kenapa, Hazel sangat berat melepas kepergian Drystan kali ini. Tidak seperti sebelumnya. Ia merasa, kedekatannya dengan Drystan akan memiliki jarak yang sangat jauh, dan ia juga merasa kakaknya akan berada dalam bahaya.
Hazel menarik napas pelan, 'I hope this is just my feeling.' gumamnya dalam hati.
******
Vladivostok, Rusia
James memandang Varsha dengan tatapan heran. Ia masih tidak percaya gadis kecil didepannya ini menolak pulang kerumah Bibinya yang sudah menjamin keselamatan dan kebahagiaan untuknya. Ia masih mengingat dengan jelas penolakan tegas gadis itu.
"Terimakasih atas tawarannya. Tapi maaf, saya akan melakukan apa yang sudah saya rencanakan. Dan saya akan mengikuti semua perintah yang diberikan oleh 'orang itu.'" itulah yang dikatakan Varsha. Pembicaraan yang berakhir dengan kekecewaan Veronica karna Varsha tidak mau ikut bersamanya. Tapi Veronica menghargai keputusan Varsha dan akan melindungi Varsha dengan caranya sendiri.
Gadis ini lebih memilih menantang maut dari pada hidup dengan nyaman dan tenang. Ia bahkan tidak memanggil Pamannya dengan sebutan 'Kakek' melainkan 'orang itu'. James takjub akan keberaniaan Varsha, James akui itu.
"Sebelum aku mengeluarkan bola matamu dari tempatnya, berhentilah menatapku." suara dingin Varsha membuyarkan lamunan James. James bergidik ngeri mendengar perkataan Varsha.
Samuel sudah mengatakan, jika ruang baca yang digunakan Varsha untuk belajar sudah dipasangi alat peredam suara. Yang artinya, orang luar tidak bisa mendengar apapun yang terjadi didalam.
"Kau yakin tidak mau menerima tawaran Aunty? Masih belum terlambat untuk menerimanya, Aunty pasti senang." ucap James antusias,
"Periksalah tugasku, aku sudah selasai mengerjakannya." seolah tuli Varsha tidak merespon ucapan James,
James mendesah kasar,"Kau benar-benar keras kepala." Ia lalu memeriksa soal yang diberikannya untuk Varsha. James tau jika keponakannya ini cerdas, tapi tetap saja ia takjub dengan anak ini. Soal yang seharusnya diselesaikan kelas tiga SMA dikerjakannya dengan mudah.
"Kau bisa mengerjakan soal ini dengan mudah, kenapa kau tidak bisa mengerjakan soal yang ini?" James mengangkat lembaran soal sekolah dasar, hanya dua yang benar dari sepuluh soal yang ada.
"Yang satu harus mengetahui kecerdasanku, dan yang satu tidak perlu mengetahui soal itu." ucap Varsha acuh, ia hanya perlu membuktikan kemampuannya pada seseorang. Sedangkan yang lainnya tidak perlu tahu.
James mengangguk paham, ia speechless dengan pemikiran gadis itu.
Suara ketukan pintu, membuat mereka memandang satu sama lain. Dan suara seoarang pria membuat mereka terkejut,
"Vy, kau didalam? Boleh aku masuk?" James buru-buru menyimpan lembar soal Varsha. Tanpa melihat pemilik suara, Varsha tahu itu suara siapa. Xean! "Ia suda pulang?" gumam Varsha pelan.
Xean membuka pintu, ia ingin melihat bagaimana Varsha belajar. Ia sengaja tidak memberitahu Varsha jika dia akan kembali hari ini.
Varsha langsung mengubah ekspresinya kembali tenang, dan tersenyum kecil.
Xean menghampiri James, "Halo Sir, saya Xean kakak Varsha. Senang bertemu dengan Anda. Apa Vy belajar dengan baik?" Xean menjabat tangan James.
James membungkuk hormat, "Senang bertemu dengan Anda Tuan Muda. Nona Muda belajar dengan baik, namun masih harus banyak belajar lagi." Ia akan berakting semaksimal mungkin, biar Koch muda ini percaya bahwa ia seorang guru.
Xean mengangguk paham, "Apa kalian sudah selesai?" Xean melihat James sudah merapikan semua bahan untuk mengajar Varsha,
"Sudah Tuan Muda." jawab James sopan,
"Yah, padahal aku ingin melihat Vy belajar." James hanya tersenyum kecil mendengar kekecewaan Xean. Ia lalu undur diri, karna kelasnya telah selesai.
Varsha masih menatap Xean. Xean tersenyum kecil memahami arti tatapan Varsha.
"Aku pulang karna sangat merindukanmu Vy, tapi aku tidak bisa lama. Besok aku akan pergi lagi." ucap Xean dengan nada kecewa, jadwalnya di Moskow benar-benar sangat padat. Ia bahkan begadang selama tiga hari untuk menyelesaikan semuanya agar bisa pulang walaupun hanya sehari.