Akhirnya masa skorsing Gillian berakhir. Baru saja hari pertama belajar di kelas S, beberapa image negatif melekat pada diri Gillian. Setelah Gillian, beberapa murid datang belakangan.
Seorang siswi datang dari pintu masuk, menatap Gillian dengan senyum usil. Wanita itu rambutnya pirang, pendek sebahu. Rambut poni lempar yang menutupi sebelah matanya. sweater berwarna pink melapisi seragam sekolahnya. Jika pelajaran dimulai, tentu dia akan melepas sweater nya.
Siswi itu cukup jelita, Gillian pun sempat naksir pada pandangan pertama. Rendi juga menatapnya dengan perasaan takjub. Terutama ketua kelas, sangat sumringah.
Noah pun menepuk bahu Gillian sebagai isyarat.
"Lihat, siswi cantik ini bernama Mercy. Mercy Marselin. Ia cantik bukan?" Ketua kelas menanyakan pendapat Gillian.
Siswi poni lempar itu, namanya Marselin!
"Aku naksir." Gillian pun berterus terang. Ketua kelas terkekeh atas pendapat Gillian.
Marselin berjalan melewati Gillian, menatap, memberi senyuman usil.
"Hi." Gillian memberi tegur sapa, sambil say hello.
"Inikah si anak tukang pansos itu? Datang ke upacara pembuka hanya untuk melakukan keusilan. Pamer familiar dan pamer seni beladiri di depan guru dan murid."
Marselin memberi perkenalan yang pedas. Kesan pertama, image yang negatif. Cara bicara, menegaskan gestur tidak respek dari Marselin.
"Hei!" Rendi mau menegur Marselin. Ketika Rendi berdiri dan berniat membela Gillian, Gillian meminta Rendi tetap tenang.
"Tidak apa!" Gillian meminta Rendi duduk kembali.
Gillian memilih diam, dan tidak membalas. Gillian tidak membalas komentar miring dari Marselin.
"Diam itu emas," seru Noah. Noah memberi senyum palsu yang penuh kecemasan.
"Mentang-mentang anak dari komandan menara sihir." Marselin kembali nyinir sebelum pergi ke mejanya.
Agak kesal, Gillian tak berhenti menatapnya sampai tiba di meja. Marselin duduk di barisan tengah. Gillian tidak kaget saat melihat ia duduk bersama Parvati.
"Oh, sial. Jadi mereka berteman ya." Gillian memalingkan pandangan.
"Belum, masih ada satu lagi." Ketua kelas mengangkat tangan, sambil menahan tawa.
"Aku tidak peduli," balas Gillian.
Suasana kelas menjadi lebih tertib ketika guru datang. Mata pelajaran formal berlangsung. Di akademi ada dua jenis pelajaran.
Pelajaran formal yang dipelajari di sekolah pada umumnya. Lalu ada pelajaran berbasis sorcery. Alkimia adalah bagian dari sorcery.
*****
Di minggu ketiga, pelajaran yang berbasis keterampilan mage mulai diajarkan. Materi yang diajarkan, campuran antara build spell caster, arcane archer, close combat mage, support, shield mage dan lainnya.
Build arcane archer sangat sedikit sekali peminatnya. Sama dengan shield mage yang jarang diminati. Murid-murid menggemari build caster dan close combat mage.
Saking sepi peminat, build arcane archer dan shield mage lebih sedikit dari build support mage.
Hari ini, pelajaran atletik dimulai!
Ada beberapa fasilitas obstacle ditambahkan. Satu demi satu diuji. Bagi mage build spell caster, nilai pelajaran atletik kurang penting. Keahlian atletik dibutuhkan close combat mage.
Gillian mencapai peringkat dua teratas pada tes bakat atletik.
"Wah, hebat. Kamu urutan dua teratas. Selamat ya!" Ketua kelas memberikan selamat.
"Ini makanan sehari-hari ku. Sejak sebelum aku masuk akademi, aku sering melahap menu latihan yang seperti ini." Gillian memberi raut wajah bangga.
"Padahal aku juga ingin berada di jajaran atas," curhat ketua kelas.
Ngomong-ngomong, siapa murid nomor satu di bakat atletik?" Tanya Gillian.
"Oh, dia, dia langsung pergi ke kelas setelah maju ke arena obstacle ini," jawab ketua kelas.
Gillian menjadi penasaran dengan murid yang mengunggulinya pada bakat atletik.
Singkat cerita, jam pulang sekolah tiba. Akademi dipulangkan antara jam satu sampai jam dua, sesuai dengan ketepatan guru pada jam pelajaran terakhir. Guru yang suka memulangkan murid lebih awal, biasanya selesai mengajar pada jam satu siang.
Beberapa teman, memilih pergi ke restoran cepat saji untuk sekadar nongkrong. Gillian memilih pulang bersama ketua kelas.
"Kamu masih penasaran dengan murid yang mengungguli mu, kan?" Ketua kelas bertanya.
"Aku berlatih mati-matian agar menjadi close combat mage terbaik. Tidak kusangka, ada mage dengan bakat atletik seperti itu. Nilai bakat atletik nya, gak ngotak." Gillian memberi pendapatnya.
"Wajar saja bakat atletik nya ada di level yang jauh di atas kita, siswa itu pernah tidak naik kelas. Waktu yang dihabiskan di kelas, lebih lama dari kita," Noah berkata.
"Kalau kami berduel di kelas seni beladiri, siapa yang akan menang?" Gillian bertanya.
"Namanya Patrick Reagan. Patrick sudah dua kali tidak naik kelas. Dia dua tahun lebih tua darimu," ujar Noah.
"Dua kali tidak naik kelas? Patrick bodoh," ucap Gillian.
"Patrick tinggal di komplek rusun sebelah sana!" Noah menunjuk ke sebuah gedung bertingkat, di dekat jalan yang mereka lewati.
Gillian terhenti dan menoleh ke arah gedung bertingkat.
"Alasan tinggal sendiri, agar tidak terbebani aturan dari orang tuanya. Dasar anak bermasalah," ketua kelas berkata.
"Parah," sahut Gillian.
"Aku diperintahkan guru untuk menegur Patrick. Patrick dikenal sering membolos," Noah belok di persimpangan jalan. Noah menoleh dan bertanya, "Mau ikut?"
"Ya." Gillian ikut berbelok. Gillian mengikuti ketua kelas.
Singkat cerita, mereka berada di lantai tiga rusun. Ketua kelas lalu mengetuk pintu. Menunggu cukup lama, namun tidak ada jawaban.
"Sepertinya dia sedang pergi," ucap ketua kelas.
"Orang itu, hidupnya terlalu bebas," komentar Gillian.
Ketika mereka menuju ke tangga, Gillian melihat seseorang. Gillian melihat seorang pelajar dengan postur sama jangkungnya dengan ketua kelas. Memakai seragam dan topi musim dingin.
"Kenapa ada orang yang memakai topi musim dingin, di cuaca yang cerah ini?" Gillian menatap ke arah jalan di bawah rusun. Jalan yang ditatapnya, agak sedikit jauh dari rusun ini.
"Huh, dimana kamu melihatnya?" Noah bertanya.
"Itu dia!" Gillian menunjuk ke arah jalan di seberang rusun.
"Itu kan Patrick!" Ketua kelas pun sampai terkejut.
Mereka segera pergi ke lantai dasar. Ketua kelas akan mengejar Patrick, untuk menegurnya. Mereka tiba di lantai dasar lalu menyerang jalan. Dua ratus meter sebelum mereka tiba di posisi Patrick, sekumpulan preman datang. Mereka seperti orang yang kurang bersahabat.
Patrick hadir saat jam pelajaran atletik, tapi kabur keluar sekolah sebelum menyelesaikan beberapa mata pelajaran lainnya.
Mereka mengerumuni Patrick.
"Mereka sepertinya akan tawuran," Gillian berkata.
"Kalau benar, sebaiknya kita pergi sebelum terlibat!" Noah melangkah mundur sambil angkat tangan.
"Kamu tidak membantu seorang teman yang dihadang preman ya? Apakah kamu ketua kelas?" Gillian mempertahankan jabatan Noah sebagai ketua kelas.
"Aku akan berdiri disini. Aku gak melihat kejadian apapun, hehehe." Noah cukup penakut.
Delapan orang dewasa sedang mengerumuni Patrick. Gillian yang awalnya mendekat, kini terhenti. Gillian memilih untuk menyimak terlebih dahulu, sebelum memilih keputusannya.
"Cih, kalian ada perlu?" Patrick terlihat kurang nyaman dengan kehadiran para preman.
"pertandingan mu besok sore, bukan?"
"Ya, saksikan saja!"
"Aku rasa tidak! setelah kami selesai menghajar mu, kamu takkan bisa menyelesaikan pertandingan mu. Mari pukul anak muda ini, man ... teman!"
"Pertandingan?" Gillian masih menyimak.
Di lihat dari percakapannya, seperti Patrick seorang petinju kelas amatir di kelompok usia.
"Hei ketua kelas! Apa Patrick seorang petinju kelas amatir?" Tanya Gillian.
"Aku rasa tidak. Patrick kemungkinan adalah petarung kelas amatir di turnamen pasar gelap," jawab Noah.
Seorang remaja berusia enam belas tahun, dikerumuni orang dewasa. Seperti apa pertarungan mereka? Gillian tidak yakin Patrick mampu mengalahkan mereka, walau punya bakat atletik terbaik di sekolah.
Seorang yang berbicara diawal, menyerang terlebih dulu. Patrick dapat meninju wajahnya terlebih dahulu. Tiga orang sekaligus maju. Patrick melompat sambil memberi tendangan ke lawan yang ada di kanan dan kirinya. Namun Patrick terkena pukulan di punggungnya.
Patrick tidak terlihat sakit. Hal ini menegaskan betapa tinggi tingkat endurance Patrick.
Lima orang sekaligus menyerang. Patrick memakai kedua tangannya untuk melindungi kepalanya.
Bak, buk, bak, buk.
Suara tubuh orang yang dipukuli terdengar.
"Apa dia bisa menghadapi semua orang dewasa ini?" Gillian sampai bertanya dalam hati.
Patrick pun melompat, keluar dari kerumunan itu. Ada enam orang mengejarnya. Patrick balik badan sambil melakukan tendangan. Ia melakukan roullete kick untuk menendang dua orang sekaligus.
Patrick terlihat sangat kewalahan. Namun keahlian beladiri mereka cukup payah. Mereka semua hanya mengandalkan otot saja. Orang yang pertama dipukul Patrick, terlihat mengambil batu bata besar.
"Sangat tidak terpuji." Gillian jijik melihat cara kotor tukang pukul sewaan itu. Lagipula mereka hanya preman. Preman sama saja dengan bandit.
Patrick bertarung sangat defensif, sambil sesekali melawan balik. Satu demi satu lawan telah dijatuhkan ke tanah. Seorang mengendap-endap dibelakang Patrick. Secara Reflek Patrick bereaksi, tapi terlambat. Patrick menoleh, sebuah batu bata menuju ke kepalanya.
Patrick terkejut dan mati langkah. Orang yang memegang bata besar, tersetrum secara tiba-tiba. Orang itu tergeletak di tanah. Itu spell petir kuning milik Gillian.
Patrick menyadari bahwa siswa sekolah menolongnya. Patrick menatap Gillian, siswa yang tidak dikenalnya. Patrick melihat ketua kelas, ia mengenalinya.
"Ketua kelas dan temannya?"
Gillian melangkah menghampiri Patrick.
"Kamu mencampuri urusan ku!" Patrick memberi sikap yang kurang bersahabat.
"Itukah caramu berterima kasih kepada orang yang menolongmu?" Gillian mengangkat bahu.
"Menolong ku? Aku tidak butuh ditolong! Lagipula aku mampu mengalahkan mereka semuanya," bantah Patrick.
"Serius?" Gillian memberi kesan negatif kepada Patrick, dipertemuan yang pertama. Jelas-jelas Patrick hampir terbentur batu bata besar, bisa-bisanya dia bilang tak butuh bantuan. Inilah yang bikin Gillian kesal.
Satu demi satu preman bangkit. Mereka masih berniat untuk bertarung kembali. Patrick pun menghela napas.
"Baiklah, aku tarik ucapan ku. Aku butuh sedikit bantuan." Patrick menyadari bahwa tubuhnya mulai merasakan nyeri.
"Baiklah. Melawan pengecut yang hanya berani main keroyok, bukan masalah bagiku. Lagipula mereka bukanlah petarung profesional. Kita hajar para amatiran ini."
"Bertarung bersama teman, boleh juga."
Gillian dan Patrick sudah bersiap dalam melawan para preman. Tiga orang menghadapi Gillian. Gillian mampu mengalahkan tiga orang, bahkan tanpa buff sihir sedikitpun.
Gillian berniat membantu Patrick yang cukup kewalahan. Gillian berniat meninju punggung seorang preman. Patrick menyalahartikan Gillian sebagai lawan. Refleknya sungguh keliru dalam mengenali lawan dan musuh.
Patrick menangkap seorang lawan kemudian melemparkannya ke arah Gillian. Alhasil Gillian pun terjatuh karena tertabrak lawan yang terlempar ke arahnya.
"APA YANG KAMU LAKUKAN!"
"Maaf, aku tidak sengaja."
Gillian menghajar dua orang lagi sebelum mengakhiri pertarungan jalanan tersebut.
"Terimakasih teman kelas." Itu saja yang dikatakan Patrick. Patrick pun pergi ke arah rusun.