Chereads / Helkeginia / Chapter 14 - Bab 13

Chapter 14 - Bab 13

Sesaat setelah kecebong mengigit leher seseorang, ada aura berwarna hitam meluap ditubuhnya. Kecebong terbang melaju entah kemana. Yang jelas, hanya lengah sedikit saja maka kecebong sudah tidak terlacak mata. Gillian terkejut, setelah menyadari sosok orang yang digigit kecebong terbang misterius.

"Armin?"

Teman kelasnya, Armin, tergigit kecebong misterius. Gillian segera mendekati Armin. Beberapa detik berlalu, Armin kelihatan linglung sekali. Sekalinya tersadar, Armin tidak terlihat seperti biasanya.

Raut wajahnya suram, tatapannya seperti orang sinis.

"Armin!"

Gillian mencoba mengembalikan kesadaran Armin. Armin terdiam, hanya memberi tatapan sinis.

"Ternyata kamu, sialan!" Armin terlihat membenci Gillian.

"Kamu kenapa?" Gillian hanya bisa termenung.

"Padahal aku hanya ingin berada di sekolah formal, kau tahu."

"...."

"Orang tuaku ingin aku menjadi seorang mage. Sosok yang selalu dibicarakan, adalah kehebatan pemimpin ordo. Ayahku berkata, putra komandan sihir pasti hebat. Aku selalu dibanding-bandingkan. Maka dari itu ayahku, selalu saja membandingkan aku dengan kamu. Ayahku ingin aku sehebat dirimu. Tuhan tidak adil saat memberimu bakat yang luar biasa, tapi tidak denganku. Aku kesal dipandang remeh oleh ayah sendiri, sialan!"

"Tunggu! Armin yang aku kenal takkan bicara seperti ini, kan?"

Gillian mundur satu langkah dan merasa cemas.

Entah bagaimana, Armin menjadi dipenuhi pikiran negatif. Armin menjadi sangat sinis pada Gillian. Armin mulai mendorong-dorong tubuh Gillian.

"Hentikan! Hari ini kamu sangat random." Gillian pun mendorong balik.

Terdengar suara bising dari kereta magnet di jalur layang. Menoleh ke arah jalur kereta, Armin tersenyum jahat. Armin mendorong Gillian sampai benar-benar jatuh ke tanah.

"Apa kamu tahu? Kamu salah satu alasan ku ingin bunuh diri," ujar Armin.

"Hei, jangan prank--"

Gillian shock saat melihat Armin berlari ke jalur kereta. Gillian tak mengira kalau perkataan Armin tentang bunuh diri adalah hal yang serius. Armin pun memanjat jalur kereta magnet.

"Tunggu dulu! Armin kan punya bakat atletik yang buruk. Armin gak punya kemampuan untuk memanjat seperti ini?" Mengesampingkan logikanya, Gillian segera menyusul Armin ke jalur kereta.

Singkat cerita, Gillian mengikuti Armin sampai ke atap kereta.

"Tidak mungkin kamu bisa naik ke atas sini. Tidak mungkin kamu bisa berdiri di atas atap kereta dengan stabil?" Gillian masih tak mengerti.

Ada beberapa keanehan seiring dengan kemunculan aura hitam. Pribadi menjadi lebih sinis, lalu mampu melakukan hal-hal yang sebelumnya mustahil dilakukan.

Aura hitam semakin membesar, meluap, pekat, semakin banyak!

"Benar, aku tak mungkin bisa, kan." Awalnya armin berbicara muram sambil menunduk lesu.

"ARMIN YANG KAMU KENAL ITU, SANGAT PAYAH BUKAN!"

Armin kemudian memaki Gillian, berteriak keras. Hal ini seperti meluapkan energi negatif. Segala unek-unek ia keluarkan.

"Bukan itu yang ku permasalahkan, tapi kenapa hari ini kamu sangat berbeda?" Gillian bertanya.

Tidak menjawab, Armin memberi gestur seperti akan melompat ke bawah.

"TUNGGU!" Gillian sangat panik.

"APA?" Armin merespon, menunda niat bunuh diri.

"KAMU SALAH!"

"...."

Untuk sesaat, Armin menyimak ucapan Gillian.

"Kamu masuk akademi karena kemauan mu sendiri. Kamu pasti menikmati momen bersama teman kelas, kan?" Gillian terus berusaha menyadarkan Armin.

Apakah Armin kesurupan sihir kecebong terbang?

"Aku tidak peduli lagi, dengan teman-teman. Pengakuan ayahku adalah life goal ku saat ini," bantah Armin.

Gillian melihat bahwa aura hitam mulai memudar, semakin melemah. Armin melamun beberapa waktu. Ketika kesadarannya kembali, Armin berdiri dipinggiran atap kereta. Ia berdiri diposisi berbahaya dengan keseimbangan yang tinggi. Gillian sekalipun, tidak bisa berdiri dengan stabil diposisi itu.

"Kamu salah!" Gillian dengan santai berjalan ke arah Armin.

"KAMU SALAH!" Gillian segera mencengkeram kerah baju Armin. Gillian berhasil menarik Armin ke posisi yang lebih aman.

"Kamu tidak bisa berbuat apa-apa, kalau terus mencemaskan ucapan orang lain. Bukankah kamu senang berada di akademi, karena punya teman-teman yang akrab! Bukan begitu?" Gillian berhasil membuat Armin lebih tenang.

Gillian melihat, aura hitam sudah lenyap. Dari balik aura hitam itu, muncul kecebong yang lebih kecil. Kecebong kecil terbang menjauh, entah kemana.

Armin terlihat seperti orang yang linglung. Armin pun memegangi kepalanya, seolah merasa pusing. Armin benar-benar sadar. Armin terkejut, ia menunjukkan gejala phobia. Armin phobia ketinggian. Armin merasa shock setelah sadar bahwa dirinya lagi berdiri di atas kereta magnet. Armin duduk dan mencengkeram atap yang datar dengan jari-jari tangannya.

"Apa yang kamu lakukan, Armin?" Gillian tercengang dengan tingkah anehnya.

"Bagaimana cara kita turun? Aku takut jatuh." Armin memberi nada ketakutan.

"Lantas, kenapa tadi kamu berani memanjat ke atap kereta yang lagi berjalan ini?" Gillian mengangkat bahunya.

"Aku melakukan itu?" Armin tak percaya dengan ucapan Gillian.

Gillian memegang lengan Armin, memaksanya untuk berdiri. Gillian menyeret Armin yang ketakutan, ke tepi atap kereta.

"A--apa yang mau kamu lakukan?" Armin histeris dan juga ketakutan.

Gillian memaksa Armin melompat bersamanya, sekaligus membuat lantai semu. Armin merasa lega saat berhasil turun dengan selamat.

Gillian bisa langsung melompat ke bawah, dari jalur layang. Namun Armin harus turun dengan bantuan lantai semu.

"Apa yang terjadi?" Tanya Gillian.

"Entahlah. Aku merasa diselimuti pikiran negatif. Ingatan yang sudah aku lupakan, jadi teringat kembali. Entah gejala apa ini, tiba-tiba aku diserang oleh pikiran negatif," ujar Armin.

Gillian menerka-nerka, tentang kejadian kecebong terbang.

"Mungkin aku kerasukan mahluk astral. Setelah diselimuti pikiran negatif, energi ku tiris. Aku merasa lelah tanpa sebab. Asal kamu tahu! Aku hampir kehabisan mana point." Armin menjelaskan apa yang ia rasakan.

Mereka berpamitan di tengah jalan.

*****

Di hari lainnya, Gillian kembali belajar di sekolah. Salah satu mata pelajaran pilihan. Kelas shooting range. Ada dua keterampilan yang diajarkan. Keterampilan senjata range, biasanya untuk mage type arcane archer.

Yang kedua adalah keterampilan dengan mele throw weapon. Jenis senjata untuk jarak menengah yang umumnya dilempar. Para close combat mage, mempelajari mele throw mastery. Mage type caster, biasanya jarang mengambil kelas shooting range.

Gillian berdiri di depan samsak seperti di archery range. Jaraknya tidak sejauh jarak latihan archery. Gillian memegang senjata pisau berukuran sangat kecil yang disebut knives. Knives adalah senjata yang umumnya dipakai oleh assassin.

Gillian menunjukkan akurasi yang bagus dalam melempar knives.

"Reputasi mu sedikit menanjak setelah kamu menang duel melawan Patrick." Rendi berdiri disebelah Gillian. Akurasi mele throw Rendi, biasa-biasa saja. Acer ada di posisi yang juga berdekatan. Acer sedang menyimak sambil melempar knives.

"Aku tidak menang, tapi kami seri," sanggah Gillian.

"Aku penasaran, kalau kamu duel dengan Mali, bakalan menang atau kalah, ya?" Acer bergabung dalam percakapan.

"Siapa Mali?" Gillian bertanya.

"Apa kamu belum kenal Mali, ya?" Rendi tidak jadi melempar knives, karena terkejut. Rendi menoleh ke arah Gillian.

"Wajar saja, kamu tidak hadir di minggu pertama. Minggu pertama adalah sesi perkenalan para murid kelas S. Salahmu, kenapa di skors," sindir Acer.

"Cerewet sekali," umpat Gillian.

"Mali itu Bakat atletik nya peringkat empat di kelas. Ayahnya seorang instruktur beladiri di fitnes center yang ada di distrik baru. Ku dengar martial art Mali sangat kompeten. Hanya saja Mali punya kelemahan."

Gillian dan Acer masih menyimak cerita dari Rendi.

"Mali mengidap demam panggung. Mali akan nervous dan juga gagal menunjukkan kekuatan terbaiknya, saat dilihat banyak orang," Rendi bercerita.

"Demam panggung? Itu kekurangan yang cukup merugikan," komentar Gillian.

"Rasa penasaran ku takkan bisa terpuaskan. Sudah pasti Gillian menang. Mali terhambat oleh rasa gugupnya," ujar Acer.

"Itu mudah," Rendi mengangkat tangannya. Rendi memberi sebuah usulan, "Gillian akan bertarung dengan Mali seorang diri, tanpa ada yang melihat. Kita akan menonton sambil bersembunyi. Kita lihat, apa yang terjadi kalau Mali tidak gugup."

"Ide bagus." Acer sepaham dengan rencana Rendi.

Sepulang sekolah, mereka pergi ke suatu tempat. Mereka menghapal jalur pulang Mali. Di satu jalan yang lebih sempit, mereka mencegatnya. Bukan tindak kejahatan, ataupun perundungan. Mereka hanya ingin sedikit bereksperimen.

"Gunakan topeng ini! Mali takkan meladeni jika ia tahu kalau yang mengganggu adalah teman sekelas. Salah-salah, Mali akan melapor kepada wali kelas." Rendi memberi sebuah topeng kepada Gillian.

Rendi dan Acer berada di posisi persembunyian. Mereka menonton dari titik yang kurang terlihat oleh target. Gillian memakai topeng, menunggu Mali lewat.

Beberapa saat berlalu, Mali pun melewati jalan ini.

Mali awalnya tidak siaga ketika bertemu pria topeng.

"Dilihat dari posturnya, seperti seumuran dengan ku?" Mali masih mengamati. Pria bertopeng segera mendekat. Sesaat setelah menepis pukulan pertama, mael segera memasang kuda-kuda.

Mereka terlibat satu pertarungan singkat. Mali dapat menepis semua serangan pria bertopeng. Mali juga bisa membuat pria topeng terdesak. Pria bertopeng itu terus menepis sambil melangkah mundur.

Satu hal yang membuat pria topeng kalah telak, adalah teknik spesial. Hanya serangan fisik biasa, namun mematikan. Mali melakukan satu tendangan sambil memutar. Teknik yang bernama tornado kick. Teknik yang biasanya ada di taekwondo.

Sepakan Mali mengarah ke kepala dengan sempurna. Walaupun pria topeng berhasil menepisnya, tapi ia dibuat terpental ke tanah. Topeng terlepas, tergeletak, merasa nyeri di lengan dan punggung.

Pria bertopeng itu adalah Gillian.

"Aduh--duh--duh." Gillian kesakitan.

"Kamu kan?" Mali tidak percaya dengan apa yang terjadi.

Tanpa ada dendam, Mali dengan sportif membantu Gillian untuk bangun.

Mali memiliki rambut hitam yang bermodel seperti mangkuk. Model rambut yang disebut bowl cut. Mali punya postur yang ramping tetapi tidak terlalu kurus. Posturnya hanya sedikit lebih pendek dari Gillian.

"Aku hanya ingin adu tanding saja. Aku penasaran dengan keahlian beladiri mu." Gillian menjelaskan tujuannya.

"Sparing partner maksudmu? Jika punya waktu luang, datang saja ke training center milik ayahku. Ada kelas trial. Kelas trial itu gratis kok." Mali menawarkan jasa pelatihan beladiri milik keluarganya.

Tak lama, munculah Rendi dan Acer dari titik persembunyian.

"Kami menyaksikan kemampuan beladiri mu. Kamu rajanya martial art." Rendi memuji Mali.

"Teknik yang bagus. Tolong ajarkan aku teknik itu." Acer ikut takjub.

"Ja--jadi kalian barusan melihat ku?" Mali bertanya, dengan nada panik dan raut wajah gugup.