Mali merasa gugup karena tiga temannya melihat kemampuan nya yang asli. Mali kelihatan sedikit terganggu. Gillian mengamati poin penting. Kegugupan menghambat potensi Mali. Hal ini serupa dengan Armin. Rasa cemas karena ucapan orang lain, adalah hambatan bagi Armin.
"Kenapa kalian melakukan hal ini?" Tanya Mali.
"Aku hanya ingin tahu, apa kamu lebih kuat dariku," jawab Gillian.
"Sepertinya kamu agak terganggu?" Rendi memberikan gestur merasa bersalah.
"Aku hanya gugup," balas Mali.
"Gugup, itu tidak bagus loh. Kamu tidak bisa mengeluarkan kekuatan terbaikmu," Acer berkata.
"Lagipula siapa yang mau punya kebiasaan gugup? Aku ini sudah mencoba menghilangkan rasa gugup ku, tapi tidak bisa," keluh Mali.
"Minggu depan, ada ujian harian untuk kelas beladiri. Aku ingin jadi lawan Mali. Aku bakalan menang dengan mudah. Tak peduli sekuat apapun kemampuan beladiri Mali, kalau tampil dihadapan murid satu kelas, dia bakal gampang kalah."
"Oy, jangan bilang begitu!"
Rendi menegur Gillian yang tanpa sengaja menyindir Mali. Beberapa saat kemudian, Rendi justru malah membenarkan ucapan Gillian.
"Tapi ada benarnya juga sih. Tidak peduli seberapa keras latihan mu, orang-orang bisa mengalahkan mu dengan mudah. Semua karena rasa gugup mu. Cepat sembuhkan rasa gugup mu, atau orang-orang akan meremehkan mu." Rendi memberi nasihat.
"Itu benar. Tapi aku tidak bisa. Itu tidak semudah berkata aku akan mengatasi rasa gugup ku. Aku pulang duluan!" Berjalan tertunduk, Mali terlihat murung.
Beberapa saat setelah Mali pergi, Rendi masih diam disitu. Gillian memperhatikan gestur Rendi yang merasa buruk karena salah bicara.
"Besok aku akan minta maaf," kata Rendi.
Hari pun berganti. Mereka bertiga terlihat berbarengan saat pergi ke sekolah. Mereka bertemu di tengah jalan, tanpa direncanakan. Secara kebetulan juga, mereka berpapasan dengan Mali.
Mali terlihat berjalan menunduk dengan ekspresi murung.
"Ah, kebetulan." Rendi menuju ke arahnya untuk meminta maaf.
Rendi dan Acer melihat Mali lagi murung. Tapi beda dengan Gillian. Gillian mampu melihat lebih jelas lagi. Gillian melihat aura hitam di sekujur tubuh Mali. Saat Gillian melihat aura hitam, iris matanya berubah menjadi perak.
"Hei, Mali, aku mau--"
Tanpa memperdulikan kata-kata Rendi, Mali langsung pergi. Cara perginya juga tidak biasa.
Mali melompat dan memanjat ke tembok tinggi. Tembok setinggi dua meter dicapai dalam sekali lompatan. Itu adalah rumah besar yang terbengkalai. Seperti rumah orang kaya, namun rumah kosong. Rumah kosong itu mulai nampak seperti rumah hantu.
"Dia kenapa?"
"Dia mau apa, ke rumah kosong?"
Rendi dan Acer saling bertanya satu sama lainnya.
"Gawat teman-teman! Aura hitam menyelimuti tubuh Mali." Gillian memberi nada khawatir.
"Kamu ini bicara apa?"
"Ya, apa yang kamu bicarakan?"
Secara mengejutkan, mereka membantah Gillian.
"Kalian tidak melihat aura hitam di sekujur tubuh Mali?" Tanya Gillian.
"Tidak ada aura hitam kok." Rendi langsung membantah.
"Tidak ada aura hitam, kok. Kamu berhalusinasi ya?" Acer juga ikut membantah.
Hal ini menjelaskan bahwa hanya Gillian saja yang bisa melihat aura hitam tersebut. Mereka segera menyusul Mali. Hanya memanjat dinding setinggi dua meter, perkara mudah bagi mereka bertiga.
Gillian bahkan memanjat pagar sambil melakukan parkour.
Singkat cerita, mereka berada di pekarangan rumah angker.
Mali hanya berdiri membelakangi mereka. Rendi melangkah ke arah Mali.
"Hei, Mali. Aku ingin bicara!"
"...."
Mali hanya menoleh dan melirik sebentar. Mali lalu berlari ke arah Rendi. Mali jelas menyerang Rendi. Rendi dapat mengelak, dengan satu lompatan.
"Aku tahu kamu marah soal yang kemarin. Aku juga terlalu banyak komentar. Jadi tolong maafkan aku."
"Akan aku tunjukkan, kekuatan ku yang sebenarnya, jika tidak gugup!"
Tak memperdulikan ucapan Rendi, Mali terus meninju Rendi. Rendi menepisnya terus menerus, hingga terpojok. Punggungnya mengenai dinding, Rendi terpojok. Mali lalu melakukan teknik back kick.
Tendangannya telak mengenai dinding. Rendi lolos dari sepakan, hanya karena kakinya tergelincir. Sebuah keberuntungan, membuat Rendi mengelak dari serangan mematikan.
"Kalau kena, aku bisa masuk klinik," keluh Rendi.
Gillian dan Acer bergegas menuju Rendi. Mereka khawatir dengan keselamatan rekannya. Pandangan Gillian, melihat aura hitam makin meluap. Aura hitam meluap tinggi ke langit. Menyadari ada yang datang, Mali segera balik badan.
Yang Gillian tahu, dirinya terpental karena mendapat tendangan telak di dadanya. Dalam sekejap, Acer pun dikalahkan. Gillian menahan sakit karena serangan sebelumnya.
"Sudah kuduga! Siapapun yang diselimuti aura hitam, menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Aura hitam memberi efek buff pada inangnya."
Terdesak, Gillian segera memanggil familiar nya. Grimmjow dengan basic form nya, muncul.
"Serang anak rambut mangkuk itu, Grimmjow!" Gillian memerintahkan familiar nya.
"Siap bos!" Grimmjow pun berlari, dengan niat ingin mengigit Mali.
Di saat yang bersamaan, Mali lari menuju Grimmjow. Mali memberi tendangan sambil terbang. Bukan terbang secara harfiah, itu lebih seperti melompat ke depan. Kakinya menghajar kening bulldog. Hanya sekali tendang, belum cukup bagi Grimmjow. Grimmjow balik badan karena tahu lawannya ada di sana.
Di kesempatan yang kedua, Mali melakukan tornado kick. Cukup untuk menghempaskan Grimmjow dengan basic form nya.
"Bagaimana ini?" Acer cemas.
"Aku juga tidak tahu. Bagaimana denganmu, Gillian?" Rendi melirik ke arah Gillian.
Untungnya Grimmjow masih bisa bangkit. Mungkin Grimmjow mulai merasa nyeri.
Gillian melakukan spell casting.
Mali tidak membiarkan Gillian menyelesaikan lingkaran sihirnya. Mali menendang Gillian sehingga lingkaran sihirnya lenyap.
Acer memegangi mali dari arah belakang.
"Teruskan proses spell casting mu, Gillian!" Acer menahan pergerakan Mali. Mali terus meronta-ronta.
Gillian bangkit dan memunculkan lingkaran sihir kembali.
Acer hanya bisa menahan beberapa detik saja. Acer disikut, ditendang, lalu terjatuh ke tanah. Rendi memberi back up, disaat Acer gagal menahan Mali. Rendi melempar knives.
Knives melewati tangan Mali dan berputar disekitarnya. Ternyata ada benang biru yang terbuat dari energi mahis. Rendi memakai gradation air untuk memproyeksikan benang mana. Benang itu kini menjerat pergelangan tangan Mali. Benang tersebut sekuat benang baja.
Terjadilah tarik menarik diantara mereka berdua.
Gillian menembak bola petir kuning ke arah Mali. Dengan lihainya, Mali mengelak. Mali merunduk ke tanah agar terhindar dari bola petir.
Alhasil Rendi lah yang terkena bola petir kuning. Rendi tersetrum dan terjatuh ke tanah, merasakan efek shock dan stun.
"Gawat!" Gillian melangkah mundur dengan cemas.
Acer telah bangkit. Acer lalu meniru cara yang sama, dengan yang gunakan Rendi. Lengan Mali terjerat oleh benang mana. Gillian memunculkan lingkaran sihir kembali.
Mali memotong tali mana, dengan mengirisnya pakai knives. Acer tak menyerah sampai di sini. Acer pun menjerat pergelangan kaki Mali.
Mali melompat dan melakukan tendangan diudara. Acer dibuat tersungkur ke tanah.
Mali pun mengejar Gillian untuk menghentikan lingkaran sihirnya.
"Halangi dia!" Gillian berlari.
Salah satu tugas familiar adalah untuk mengulur waktu, selagi rekannya sedang melakukan spell casting. Grimmjow paham itu, dan mencegah mantra digagalkan.
Grimmjow dilumpuhkan dalam empat kali tendangan.
Gillian tidak bisa terlalu banyak bergerak, atau lingkaran sihirnya gagal. Gillian berhenti berlari dan diam ditempat.
Mali melompat sambil menendang diudara. Gillian pun memunculkan magic barrier. Mali memukuli dan menendang magic barrier yang melayang di depan Gillian. Mali menyerang barrier hingga pecah. Setelah magic barrier pecah, Gillian langsung menembakkan bola petir kuning.
Mali terkena efek shock, tersungkur di tanah. Hanya dalam satu detik, Mali dapat berdiri kembali. Rendi bahkan belum bisa bangkit. Aura gelap, memberikan buff endurance tambahan. Sesaat setelah Mali bangkit, Gillian langsung meninju wajahnMali. Gillian meninju untuk keduakalinya, tapi ditepis oleh Mali.
Mali menendang Gillian, Gillian mampu mengelak.
Gillian menciptakan kulit mana di telapak tangan. Gillian melangkah sambil memukul. Gillian memukul dagu Mali, dengan telapak tangan. Gillian menambahkan empat kali tendangan, pada Mali yang masih tergeletak. Mali bangkit sambil menjegal kaki Gillian.
Gillian bangkit, Acer baru akan menyerang Mali.
"TAHAN!" Gillian memerintahkan.
Namun sudah telat, Acer terlanjur memukul Mali.
"Aduh," keluh Mali.
"Hei, ada apa?" Acer bertanya pada Gillian.
"Aura hitamnya sudah hilang. Mali mungkin sudah tersadar dari pengaruh sihir gelap," ucap Gillian.
"H--hah, apa?" Acer belum mampu mencerna maksudnya.
"Apa aku habis kerasukan mahluk halus?" Mali bertanya dengan raut wajah bingung.
"Apa, sekarang Mali sudah santuy?" Acer menyadari temannya sudah normal kembali.
"Syukurlah." Rendi bangkit lalu melangkah ke arah Mali.
Gillian melihat bahwa aura hitam sudah menghilang dari tubuh Mali. Gillian juga melihat ada kecebong kecil, keluar dari tubuh Mali.
"Kecebong kecil itu, kemana perginya?" Gillian memandang ke langit.
"Hei, apa yang kamu rasakan? Apa ada efek negatif setelah aura hitam merasuki mu?" Tanya Gillian.
"Ya. Aku seperti diselimuti pikiran negatif. Entah kenapa aku merasa lelah. Ini masih pagi, entah kenapa aku sudah kehilangan sejumlah energi. Biasanya, sore hari pun aku masih fit. Ini tidak seperti biasanya."
"Ternyata, aura hitam juga menjadi media penyerapan energi."
Tidak banyak clue yang didapatkan oleh Gillian. Hanya sebatas tentang kecebong terbang yang menginfeksi seorang dengan aura hitam. Aura hitam memberi pikiran negatif dan membuat inang menjadi lebih kuat untuk sementara waktu. Setelah durasi berakhir, inang kehilangan sejumlah energi.
"Aura hitam, kecebong terbang, sebenarnya apa yang kamu ketahui, Gill?" Rendi bertanya pada Gillian.
"Apa ada mahluk misterius yang sedang menginvasi kota kita?" Acer bertanya.
"...." Mali memegangi kepalanya, merasa pusing. Ia mulai merasakan gejala darah rendah.
"Oy, kamu tidak apa-apa Mali?" Gillian mengkhawatirkan temannya.
"Biar aku antar ke UKS." Rendi menuntun Mali.
Singkat cerita, mereka kini ada di sekolah. Menjalankan rutinitas seperti biasa. Jam istirahat pun tiba, mereka makan siang di kantin sekolah. Gillian, Rendi dan Acer duduk satu meja. Awalnya mereka fokus menyantap makan siang.
Mereka tidak bisa untuk tidak membahas yang terjadi tadi pagi.
"Sebenarnya, tadi itu apa?" Rendi bertanya.
"Semua ulah kecebong terbang!" Gillian juga membahas kembali.
Orang keempat yang bergabung di meja itu, adalah ketua kelas.
"Kalian sedang membahas apa sih?" Ketua kelas membawa nampan, kemudian duduk.
Gillian tidak keberatan bercerita kepada ketua kelas.
"Kok, aku jadi penasaran dengan kecebong terbang," seru ketua kelas.
Sampai jam pulang tiba, mereka masih membicarakan kecebong terbang. Mereka berempat pulang bersama.