Sekelompok preman itu berhasil dikalahkan. Patrick kurang pintar dalam mengucapkan terimakasih. Seolah bantuan teman kelasnya, kurang berarti. Patrick juga sempat berbicara dengan ketua kelas.
"Kalau mau memberi nasihat, nanti saja! Aku izin satu hari. Temui aku lusa." Berjalan membelakangi ketua kelas, Patrick melambaikan tangan ke arah belakang.
"Apa? Terlalu banyak absen," protes ketua kelas.
Gillian tidak pernah melihat Patrick lagi, sampai minggu keempat.
Tibalah minggu keempat. Gillian duduk di kafetaria sekolah saat jam makan siang. Di dalam satu meja, Gillian bersama ketua kelas dan juga Rendi. Di ujung sana, Charles lagi bersama beberapa orang.
Charles dan Acer sedang bersama teman lainnya.
Parvati tiba-tiba menghampiri meja yang ditempati Gillian. Parvati tiba, lalu memberi protes kepada ketua kelas. Keluhan Parvati tidak ada hubungannya dengan Gillian.
"Ketua kelas, kamu ini apa saja sih kerjanya?" Baru saja datang, Parvati langsung mengumpat.
"Tenang dulu! Ada masalah apa Parvati?" Tanya ketua kelas.
"Tolong urus preman sekolah itu! Beberapa siswa diusir dari kelas di jam makan siang. Kelas bukan cuma milik satu orang! Pelajar punya hak yang sama terhadap kelas S. Siapa saja, boleh diam di kelas saat jam istirahat, bukan." Parvati memberi keluhan. Nampaknya ini keluhan murid-murid, yang segan melapor langsung pada ketua kelas.
"Anu, siswa bermasalah itu--"
Ketua kelas seperti angkat tangan.
Pelajar yang membawa kotak bekal dari rumah, biasanya akan makan di dalam kelas.
Parvati kesal karena ketua kelas angkat tangan dengan perkara ini.
"Jangan diam. Cepat jawab!" Parvati memberi sikap yang galak dan tegas.
"Murid-murid segan melapor pada ketua kelas. Mereka pikir percuma melapor. Murid-murid memilih menyampaikan keluhan kepada Parvati. Kamu ini becus tidak sih, ketua kelas? Apa sebaiknya ketua kelas diganti saja?" Gillian memberi penilaian.
"Nah, bagus. Kalau begitu aku akan mencalonkan kamu, Gill." Parvati menahan tawa.
"Tunggu, apa?" Gillian.
"Kalau aku sih gak mau jadi ketua kelas. Jadi ketua kelas, menyita waktuku," kata Parvati.
"Dasar," umpat Gillian.
"Baik, akan aku tampung keluhan kalian." Ketua kelas menjadi sedikit murung.
"Jangan nanti, bertindak sekarang juga! Kamu harus tegas. Tegur si preman sekolah itu!" Parvati terus mengomeli ketua kelas.
"Eh, anu, jangan aku." Ketua kelas menyilangkan tangan. Gillian tak enak hati saat melihat ketua kelas kewalahan.
"Baik, biar aku urus saja--"
"Bagus, aku akan--"
"Dan aku tidak mau jadi ketua kelas pengganti!"
Gillian bergegas ke arah kelas. Ketua kelas mengikutinya dengan cemas. Rendi juga mengikutinya.
Pelajar yang duduk tidak jauh dari meja Gillian, terdengar mulai aktif berbincang. Karena agak berisik, beberapa orang yang agak jauh pun ikut bertanya.
"Hei ada apa, ada apa?"
Suasana kafetaria sekolah menjadi lebih berisik. Beberapa pelajar pergi ke kelas karena penasaran. Mereka penasaran dan ingin melihat orang yang berani menentang preman sekolah.
Suasana kelas saat itu, terdengar sangat suni. Hanya ada seseorang yang tiduran di atas kursi panjang. Suara langkah kaki Gillian, sangat jelas terdengar.
"Aku ingin bersantai di dalam kelas. Tidak ada satupun orang yang boleh melarang ku." Gillian terdengar seperti menebar say war.
"Hei!" Rendi segera memperingati Gillian.
"Ayo kembali ke kantin. Lagipula sebentar lagi jam istirahat akan berakhir, bukan? Lebih baik kita jangan cari masalah dengan murid bermasalah itu." Noah membisiki Gillian. Gelagat Noah seperti lagi cemas.
"Hei, Gillian.... Sebaiknya kamu jangan memancing emosinya, oy!" Rendi menegur Gillian.
Bukannya menuruti usulan kedua temannya, Gillian dengan sengaja memancing keributan.
"Kamu ingin tidur siang. Jadi kamu mengubah kelas ini menjadi tempat pribadimu." Gillian dengan berani, meledek si preman sekolah.
"Berisik. Pergi sana!" Patrick yang awalnya tiduran di atas kursi, kini mulai terusik.
"AKU BILANG, AKU MAU SANTAI DIKELAS! TAK SATUPUN ORANG YANG BOLEH MENGUSIRKU, Oy!" Gillian benar-benar menantang.
Parvati berdiri sambil mengintip di samping pintu yang sudah setengah terbuka.
Patrick yang awalnya berbaring dengan santai, kini bangkit karena terganggu oleh kehadiran Gillian. Patrick kini berposisi duduk dengan kaki menginjak kursi.
"Hei, kamu Patrick kan?" Gillian melambaikan tangan ke arah siswa bermasalah itu.
"Jangan sok kenal," umpat Patrick.
"Tentu saja. Kita satu kelas, bukan." Gillian membalas.
"Sebaiknya kalian makan siang di kantin saja. Mood ku sedang tidak bagus. Terutama kau! Lebih baik cepat pergi!" Patrick menunjuk ke arah Gillian. Ia mengusir siapapun dari kelas ini.
"Kelas ini milik kita semua! Tak ada murid yang boleh melarang murid lain beristirahat ruangan!" Gillian memberi bantahan.
"Berisik!" Patrick bangkit, berdiri di atas meja. Patrick pun melompat. Patrick tiba dihadapan Gillian hanya dengan satu lompatan.
Pada titik ini, mulai banyak pelajar yang berdatangan. Mereka berdiri di samping pintu kelas yang lebar. Pintu kelas cukup luas karena itu pintu kembar. Pintu yang terbuka cukup luas, hingga banyak pelajar dapat mengintip di situ.
"Aku tidak suka kamu berada di sini. Anak yang bersembunyi di balik nama besar ayahnya." Patrick mulai mencengkeram kerah seragam Gillian.
"Tarik kembali kata-katamu! Aku tidak--"
Gillian memprotes. Sesaat setelah memprotes, Patrick melemparnya dengan gerakan gulat. Gillian pun terlempar, punggung membentur meja. Untuk sejenak, Gillian merasa nyeri, tergeletak.
Siapapun dengan stats endurance rendah, akan langsung masuk UKS. Gillian segera bangkit, menegaskan stat endurance nya yang mumpuni.
"Terpaksa," keluh ketua kelas.
Noah memberanikan diri untuk mererai mereka. Tugasnya sebagai ketua kelas, membuatnya harus terlibat dalam kondisi kacau ini.
Noah yang punya sifat penakut, terpaksa memberanikan diri. Noah berdiri di antara Gillian dan juga Patrick.
"Hei, kelakuan mu sudah sangat keterlaluan Pat! Nanti Guru-guru tidak akan meluluskan mu lagi." Ketua kelas menghalangi Patrick.
Separuh murid di kelas ini, mulai berdatangan. Karena penasaran, mereka berkerumun dan menonton keributan itu. Rendi dan Acer pun menuju ke arah Patrick. Charles menuju ke arah Gillian untuk membelanya.
"Hei!" Rendi melangkah menuju Patrick.
Patrick mengayunkan tangannya, membuat Rendi mundur.
"Kalau berani, majulah!" Patrick seperti menantangnya. Ketua kelas menoleh ke arah Gillian dengan ekspresi cemas.
Gillian sudah di nasihati temannya, tapi ia tidak mau dengar.
"Kalau aku jadi kau, aku tidak akan mau. Martial art Patrick, diakui oleh para guru. Sejak dua tahun yang lalu, martial art Patrick nomor satu. Dan sekarang, tetap nomor satu." Rendy membujuk Gillian, supaya tidak meladeni Patrick.
"Aku malah jadi penasaran, sekuat apa martial art si preman sekolah ini?" Gillian melangkah maju.
"Mau coba?" Patrick mengepal tinju nya. Ketika Patrick akan melangkah maju, ketua kelas menghalaunya.
"Hormati aku sebagai ketua kelas!" Noah mendorong Patrick dengan kedua tangannya. Noah kemudian menoleh ke arah Gillian.
Tindakan Gillian, memancing keberanian Noah walau terpaksa. Rendi dan Acer membela Gillian, karena orang tua mereka ada di dalam rezim Julius. Muncul orang kelima yang menentang Patrick.
Beberapa siswa tergerak untuk menentang preman sekolah, walau yang ditentang sangat ahli dalam martial art. Seorang terlihat cukup kesal, karena Gillian ditekan. Seolah ia adalah simpatisan Gillian.
"Itu tidak benar! Gillian itu sama sekali tidak memakai nama besar ayahnya. Gillian berdiri sendiri, dengan bakat dan kerja kerasnya!" Aster adalah penentang itu. Aster berani menegur preman sekolah, untuk membela Gillian.
Parvati termenung melihat hal ini. Marselin kini berada disebelah Parvati, menonton kebisingan ini.
"Aku gak ngira, akan jadi masalah besar. Kayaknya ini semua salahku deh." Parvati berbisik kepada diri sendiri.
"Setelah apa yang terjadi di acara pembukaan kelas S, banyak sekali simpatisan anak ini?" Marselin datang bagai netizen. Ia datang lalu mengomentari Gillian.
"Stt...." Parvati seolah tidak ingin temannya menghina Gillian. Parvati memberi gestur untuk menutup mulut, teruntuk Mercy.
"Aku menentang sikapmu, dasar, PREMAN SEKOLAH SIALAN!" Aster nampak memarahi Patrick.
Patrick tentu terprovokasi. Patrick mencengkeram kerah seragam Aster, lalu mengangkat tubuhnya ke atas. Aster sampai terangkat tinggi sekali.
Gillian berlari ke arah mereka, lalu membela Aster. Gillian melakukan tendangan sambil melompat. Teknik tendangan yang mampu mengenai sasaran yang sangat tinggi posisinya. Suara dari tendangan, terdengar keras. Hal ini menegaskan bahwa tendangan itu cukup kuat. Patrick, cengkeramannya terlepas dengan sendirinya. Agak terasa sakit bagi Patrick.
Teknik tendangan yang hanya bisa dilakukan oleh praktisi taekwondo sabuk hitam.
"Aku takkan melawan mu disini!"
Melihat teknik yang seperti itu, Patrick jadi termotivasi untuk berolahraga.
"Tapi aku akan menghadapi mu di ruang duel!"
Patrick tersenyum dengan aura kemenangan, karena tantangannya diladeni oleh Gillian. Mereka pun pergi ke ruang duel. Ada satu gedung yang terpisah dari gedung kelas S.
Di sana terdapat ruang duel, satu bangunan tertutup dengan desain seperti koloseum kecil. Ruang ini setengah lapangan bola, luasnya. Ruangan itu, khusus untuk ekskul yang bernama duelist class.
Gillian tidak minta diikuti, tapi teman-teman malah mengikutinya. Teman-teman kelas, penasaran dan ingin menyaksikan duel tersebut.
Beberapa saat kemudian bel pun berbunyi. Wali kelas datang untuk mengisi mata pelajaran formal.
"APA!"
Wali kelas memegang buku mata pelajaran matematika. Wali kelas termenung. Wali kelas dikejutkan dengan kelas yang kosong.
"KEMANA PERGINYA MURID-MURID KU...."
Scene berganti ke ruang duelist. Ada banyak tempat yang disebut kursi penonton. Ini mirip dengan kursi penonton di stadiun. Di tengahnya, terdapat arena seluas setengah lapangan bola. Mereka juga punya sebuah tas kecil yang diletakkan di pinggang. Entah itu belakang atau samping pinggang. Tas itu adalah pouch ukuran besar. Mereka hampir sama dengan pistol holster, hanya saja pouch untuk menyimpan senjata proyektil yang dilempar.
"Apa kamu takut?" Tanya Patrick, seraya menebar say war.
"Tentu tidak! Ini adalah kelas duel. Bertarung sambil ditonton banyak orang, sepertinya seru," Gillian menjawab.
"Benarkah?" Patrick memberikan seringai.
Di kursi penonton, Parvati berdiri di dekat pagar pembatas.
"Ini semua salahku," gumam Parvati.
"Tidak, bukan salahmu kok." Ketua kelas menyapanya.
"Gillian memang bodoh. Gillian menantang orang, sembarangan. Kalau celaka bagaimana?" Parvati merasa khawatir.
"Gillian bukannya bodoh, namun pemberani!" Noah membantah penilaian Parvati. Lalu datanglah teman Parvati, yaitu Mercy.
"Apa kamu mengkhawatirkan anak itu?" Mercy memberi nada sarkas.
"Stt...." Parvati melotot, meminta Mercy untuk berhenti bicara.
Para murid memilih menonton pertarungan di kelas duel, daripada hadir di kelas formal. Pertarungan dua murid tangguh, tentu membuat banyak orang penasaran. Tidak ada satupun murid kelas 2-S yang diam dikelas. Mereka sangat ingin nonton duel yang seru ini.