Chereads / Helkeginia / Chapter 2 - Bab 1

Chapter 2 - Bab 1

Dalam surat tertulis bahwa pada tanggal sekian, pelajar kelas S akan berkumpul di suatu tempat. Kelas S tidak belajar di kastil tua akademi sihir Tristan. Kelas S di adakan di sebuah villa, tidak jauh dari kastil utama akademi.

Villa S.

Villa S, jadi gedung kelas S. Pelajar dari kelas S, akan menjalani kegiatan belajar mengajar disini. Selain beberapa ruangan sebagai kelas, ada lapangan luas sebagai tempat praktik tempur.

Gillian masuk ke dalam kelas dan melihat beberapa wajah yang asing. Jumlah pelajar di kelas S, hanya setengah dari pelajar di kelas yang lama, yaitu kelas A. Gillian melihat dua anak yang ia kenal. Mereka bernama Rendi dan juga Acer.

Mereka tidak seperti Gillian yang berada di kelas noble scion, mereka berasal dari kelas biasa. Mereka berteman dengan Gillian sejak kecil. Alasannya karena kedua orang tua mereka adalah teman dekat. Ayah mereka adalah ajudan komandan menara sihir. Julius punya delapan staff mage sebagai ajudan.

Mereka terlihat duduk di barisan tengah. Beberapa pelajar berdiri, beberapa mengobrol. Tak ada kelas formal, ini hanya semacam daftar ulang. Semua yang setuju untuk masuk ke kelas S, akan didata. Satu orang yang duduk di meja guru, senior kelas tiga dari dewan OSIS. mereka bertugas jadi petugas administrasi. Wali kelas di kelas S bahkan belum muncul.

Ketika Gillian akan menghampiri kedua teman yang ia kenal, Gillian bertemu dengan satu lagi sosok yang dikenalnya.

Seorang siswi berkacamata dengan rambut hitam menatap sinis kearah Gillian. Yang dibalas dengan mimik yang sama sinis nya. Siswi ini punya rambut yang dikepang kuda yang terbagi menjadi dua ekor.

"Kamu kesini mau apa?" Siswi itu sangat jutek.

"Tentu saja, aku kan dipromosikan masuk kelas S," jawab Gillian.

Mereka saling tatap semakin dekat. Mata mereka tidak mau saling lepas, wajah mereka semakin dekat.

"Gillian!"

"Parvati!"

Mereka sekilas kelihatan seperti membenci satu sama lainnya.

"Gillian!"

"Parvati!"

Mereka saling menatap sinis. Wajah mereka semakin dekat.

"Gillian!"

"Parvati!"

Seorang siswi yang mudah gugup, berjalan perlahan. Siswi ini tepat di belakang Gillian. Rambutnya warna biru permen karet. Ada siswi yang gelagatnya usil. Siswi itu memiliki gelagat usil. Ia mendorong siswi berambut biru.

Sampai siswi itu tersandung kaki sendiri. Ia mendorong punggung Gillian tanpa disengaja. Gillian pun terpeleset kedepan, tanpa sengaja mendorong Parvati. Alhasil Gillian membuat Parvati ikut terjatuh juga. Gillian posisinya menindih tubuh parvati. Tanpa disengaja, bibir mereka bersentuhan.

Ini menjadi ciuman pertama bagi mereka berdua.

Scene berakhir dengan parvati menampar wajah Gillian. Parvati sangat jengkel kala itu, tubuhnya mengejang karena emosi. Bergetar emosi, tak terima, merasa rugi.

"Kurang ajar kamu Gill!" Parvati kelihatan sangat emosi.

"Aku kan tidak sengaja." Sementara Gillian mengusap bagian wajahnya yang memerah karena tamparan.

Tamparan terasa panas, namun kecupan tak sengaja terasa hangat. Kejadian tersebut membuat iri sebagian besar siswa laki-laki yang melihat. Parvati berkulit putih dikaruniai wajah cantik. Pelajar laki-laki, pasti menyukainya. Dan harapan mereka dirusak Gillian.

"Ini semua salahnya!" Gillian pun menunjuk siswi yang ketawa jahil.

"Aku tidak sengaja," ia berdalih, tapi secara bersamaan menertawakan kejadian ini. Gadis itu berkata, "Ya, kalian cocok sih."

"Apa katamu!"

"Apa katamu!"

Gillian dan parvati menyanggah disaat yang bersamaan.

"Tuh kan, kalian kompak." Gadis berambut cokelat, tertawa usil.

Gillian dan Parvati terlihat sedikit marah terhadap wanita berambut cokelat itu. Gadis itu terlihat agak gemetaran saat melihat kemurkaan dari dua orang yang ia jahili. Gadis tersebut, memperkenalkan dirinya sambil cengengesan.

"Ngomong-ngomong, namaku Erika. Permisi aku pergi dulu." Bermodal raut wajah tanpa dosa, cengengesan, Erika nyelonong pergi.

Erika nampak seperti gadis udik. Rambutnya cokelat, kulitnya agak gelap, namun tidak negro. Kulit berwarna cokelat. Wajahnya agak menarik, tapi tidak berseri. Erika sedikit punya sifat tomboi.

"Anu," siswi pemalu itu segera mengangkat tangan. Siswi tersebut Memberanikan diri untuk bicara. Gemetaran, siswi berambut biru berkata, "Maaf karena aku sudah mendorongmu."

"Ini bukan salahmu. Ini salah cewe udik berambut cokelat itu." Parvati dalam posisi bisa melihat jelas kalau ada orang usil yang mendorong si siswi pemalu. Parvati menatap ke arah Erika dengan tatapan jengkel.

Parvati menyanggah permintaan maaf siswi pemalu, lalu berkata, "Bukan salahmu kok."

Gillian masih berdiri di sana. Ada banyak antrian pelajar yang akan didata di meja guru.

Empat orang siswi, duduk bersama. Mereka terlihat kompak. Nampaknya mereka sudah sekelas sejak di kelas satu. Ada seorang yang berambut biru, panjang terurai. Ada seorang berambut ungu, poninya panjang menutupi sebelah matanya. Seorang punya rambut berwarna pink, yang terakhir gadis berambut blonde.

"Itukah, anak yang langsung terkenal sejak lahir?" Tanya siswi berambut biru.

"Apa sih Jocelyn. Maksudmu putra dari komandan ordo menara sihir? Namanya Gillian, kalau tidak salah." Siswi berambut blonde, menanggapi.

"Tampan juga, sih. Tapi agak kampungan," Jocelyn berkomentar.

Sementara siswi berambut ungu, sibuk dengan kartu. Kartu tarot yang biasanya dipakai orang gipsi untuk seni meramal.

"Kalian sebaiknya jangan mengusiknya, ya." Siswi berambut ungu, menasehati.

"Memang apa prediksi mu?" Tanya Jocelyn.

"Karena dimasa depan kalian akan ditolong olehnya. Jika kalian mengusiknya sekarang, mungkin nasib buruk akan menimpa kalian. Kalian tak akan mendapatkan pertolongan darinya." Siswi berambut ungu, bertingkah seperti peramal.

Siswi rambut pink sedang asik memainkan rambut siswi blonde. Siswi berambut pink, seperti anak kecil yang kurang kerjaan.

"Kamu ini sok bertindak seperti peramal saja yah Viola." Jocelyn menyindir siswi rambut ungu.

"Apa sih Wendy? Jangan mainin rambut ku terus dong! Nanti rambutku acak-acakan." Siswi blonde memarahi temannya, siswi rambut pink.

"Hoam.... Aku gabut nih, Karen." Wendy si siswi rambut pink, menguap dan memberi raut wajah yang memberi kesan pemalas.

Jocelyn, Karen, Viola dan Wendy, cukup menarik dan juga cute.

*****

Singkat cerita, Gillian telah didata. Pada tahun ajaran baru, Gillian terdaftar di kelas S. Gillian pulang bersama dua orang yang sudah ia kenal sebelumnya. Gillian bahkan mengenal Rendi dan Acer. Rendi memiliki rambut hitam, dikuncir kuda, sisi kanan dan kiri dipotong plontos. Bagian kuncirnya hanya sepanjang sepuluh centimeter saja. Sementara Acer memiliki rambut oranye pendek.

Gillian belum mengenal pelajar lainnya.

Mereka akan berjalan menuju ke tempat makanan cepat saji.

"Hampir semua pelajar dari kelas A, menolak promosi ke kelas S. Tak ku sangka, kamu jadi satu-satunya yang pindah," Rendi berkata.

"Kelas S, adalah program unggulan yang dibuat oleh ordo menara sihir. Kalau aku menolak kelas S, artinya aku tidak menghargai pekerjaan ayahku," balas Gillian.

"Sama halnya denganku."

"Ya, aku juga."

Tak ada yang menyanggah ucapan Gillian yang terakhir.

Scene berpindah ke sebuah restoran cepat saji.

Mereka tiba di restoran cepat saji. Menempati meja besar bertiga saja. Masing-masing sudah memesan makanan junk food dan soda. Saat mereka sedang santai, seorang yang Gillian kenal, mendatanginya.

"Sudah ku duga. Kamu pasti ke sini. Inilah tempat makan favorit mu, bukan!" Seseorang berdiri di depan meja mereka, memegang nampan berisi junk food. Rambutnya biru muda. Gillian perlahan menoleh.

"Charles?" Gillian agak terkejut.

Gillian segera bergeser, memberi tempat untuk Charles. Dan akhirnya meja penuh ditempati empat orang.

"Memangnya kamu sudah daftar untuk masuk ke kelas S?" Gillian bertanya.

"Aku datang lebih dini. Aku dapat giliran pertama," balas Charles.

"Pantas saja, aku tidak melihat mu. Jangan-jangan kamu datang sejak gedung masih terkunci ya?" Tanya Gillian, sambil bergurau.

"Tidak seperti itu juga. Gedungnya memang sudah dibuka." Charles tak berhasil menemukan kelucuan dari lawakan Gillian.

"Hahaha.... Mungkin dia semalam menginap di gedung sekolah." Acer berhasil melihat niat bergurau dari Gillian. Acer pun tertawa karena merasa lucu.

"Menginap disekolah agar tidak terlambat, ide bagus. Ha-ha-ha.... Menginap ramai-ramai, malamnya kita main kartu di kelas sambil memegang guling." Rendi tertawa karena menanggapi gurauan dari Gillian.

Kelucuan berkurang, mereka pun mulai mengobrol serius.

Waktu berjalan maju....

Tibalah musim winter. Gillian agak jenuh karena terlalu rajin berlatih teknik magecraft di liburan akhir sekolah. Gillian lagi berjalan kaki di distrik kota tua. Jalan raya ini cukup dekat dengan kastil pentagonal, akademi sihir Tristan. Banyak anak bermain perang lempar bola salju.

Gillian tersenyum sangat ceria hari ini. Alasan rasa cerianya, karena berpapasan dengan adiknya yang sangat cute. Alisia kecil, membuat boneka salju. Bukan hanya Alisia, Gillian melihat Louise. Raut wajah Louise sangat serius dan kaku saat bermain perang bola salju. Ekspresi wajah serius Louise, bikin Gillian tidak kuat menahan tawa.

Jongkok di tembok salju yang dia buat. Dibelakangnya ada pohon. Terdapat satu anak laki-laki lain di dinding itu. Lawannya juga dua. Nampaknya Louise mendapatkan rekan beban dalam permainan ini. Rekannya benar-benar tak berani melempar balik. Sesekali Louise melempar bola salju. Baru sekali melempar, seketika itu juga wajah Louise langsung kena timpukan dua bola salju.

Gillian semakin tak kuat menahan tawa, saat Louise kena timpuk bola salju. Wajah kesalnya terlihat cute dimata Gillian.

Seorang anak berambut hitam muncul, melempari bola salju ke tembok pertahanan tim Louise. Lama-lama dia lelah sendiri. Anak laki-laki berambut hitam mendapat sebuah ide. Ia pun melempar bola salju ke arah ranting pohon di belakang Louise. Hal ini membuat tumpukan salju jatuh, mengguyur kepala Louise.

Alih-alih cemas, Gillian malah puas menertawai adiknya.

Anak laki-laki berambut hitam itu tertawa puas hingga keram perut. Louise membalas perbuatannya saat anak laki-laki itu lengah. Louise melemparinya bola salju saat anak laki-laki itu sedang puas tertawa. Ia terjatuh, tapi tidak kesal. Di timpuk bola salju malah tetap ceria. Louise merasa kesal karena temannya tetap gembira, merasa gagal membalas.

"Ayo kita pulang!" Gillian.

Eh, sudah mau pulang?" Louise bertanya.

"Kamu pulang sekarang! Sudah hampir sore," tegur Gillian.

"Iya, kak...." Louise menunduk, agak sedikit murung.

"Adik mu diajak pulang juga!" Gillian menyuruh Louise.

"Iya kak," jawab Louise, dengan ekspresi suram.

Louise langsung menyeret lengan Alisia yang lagi asik salju.