"Hwaa panas banget nih!" celetuk Nia.
"Iya. Namanya juga di cirebon," timpal Aksa.
"Emang kenapa, Sa?" tanya Ayya.
"Kan pesisir pantai. Kalau di GUCI baru adem."
"Huuuu!!! Itu juga tahu!!" sorak Nia.
"Udah... udah... katanya mau kulineran. Yuk makan!"
Nia menyambut dengan antusias. Wajahnya yang semula seperti kepiting rebus—bukan karena marah, tapi karena saking tak bisa menahan panasnya.
"Cocok, nih! Yuk cepetan, Ki!" Nia menggandeng tangan Oki dengan antusiasnya.
Oki terdiam seketika, tapi tak tega membuat hal itu terasa janggal. Alhasil, ia turut mengikuti gaya khas perempuan berkuncir satu itu.
Melihat antusiasnya Nia, Ayya menggelengkan kepala. Sesekali menatap Aksa yang berjalan di sampingnya dengan tertawa.
Tinggi Aksa selisih sekitar tujuh senti. Ayya melihat alis tebal dan hidung mancungnya dari sisi. Pesona senyum dan rahangnya yang tegas, cukup menjadi ingatan indah baginya.
"Heh, kenapa lihat-lihat?" Tiba-tiba, Aksa berceletuk ke Ayya.