Chereads / My wife is a boy / Chapter 12 - Resepsi pernikahan

Chapter 12 - Resepsi pernikahan

Rumah besar keluarga Suryadi saat ini terlihat begitu ramai, sebab adik dari Pengusaha sukses itu baru saja datang dari luar negri. Pak Suryadi punya seorang adik laki-laki yang setelah menikah memilih hidup  dan membangun usaha di Australia di kota Melbourne. Hari ini adik kesayangan Pak Suryadi datang ke indonesia bersama istri dan anak tunggalnya, untuk menghadiri resepsi pernikahan Panji.

Seperti yang sudah di jelaskan oleh Bu Rina sebelumnya, keluarga adik dari suaminya itu tidak mengetahui akan masalah yang terjadi pada pernikahan Panji. Mereka sengaja tidak memberitahu karena pasti hanya akan menimbulkan banyak pertanyaan dan penjelasan. Mengingat meskipun mereka tinggal di benua berbeda dan jarang bertemu, tapi adik dari Pak Suryadi itu sangat peduli dan menyayangi Panji jadi bisa dipastikan resepsi yang segala sesuatunya sudah disiapkan sedari awal terancam batal. Bu Rina tidak mau hal buruk itu terjadi. Untuknya apapun yang terjadi resepsi pernikahan Panji harus dilaksakan dan harus sempurna.

Algis duduk seorang diri di kamar Panji, drama keluarga akan segera dimulai batinnya. Ia sudah bersiap untuk menyambut keluarga Panji dari luar negri, suara gaduh di lantai bawah membuatnya tau jika mereka sudah datang. Jika dulu Algis akan merasa gugup dan takut saat pertama kali berperan sebagai kakaknya, tapi tidak untuk sekarang ini. Saat ini dia jauh lebih tenang meskipun rasa tak nyaman tetaplah ada. Melihat pantulan gambar diri sendiri lewat cermin, nampak seorang gadis bersurai panjang dan berwajah manis. Algis menarik nafas panjang seraya meyakinkan diri bahwa dia pasti bisa memerankan perannya dengan baik.

Algis perlahan berjalan ke arah pintu kamar. Saat ia membuka pintu tiba-tiba sudah ada Panji berdiri di depan pintu kamar, Algis sedikit terkejut. Keduanya saling tatap dalam kebisuan.

"Sudah siap?" tanya Panji  setelah beberapa menit mereka dalam keheningan.

"Ehmmm" Algis menganggukan kepala.

Mereka berdua berjalan hampir beriringan menuruni anak tangga menuju ruang tengah. Di Ruang tengah sudah berkumpul Pak Suryadi, Bu Rina serta keluarga dari adik Pak Suryadi .

Seperti seorang menantu pada umumnya Algis menghampiri keluarga besar Panji, menyapa mereka dengan ramah.Si manis menyalami satu persatu, dimulai dari adik laki-laki Pak Suryadi.

"Ini Ajeng, fotonya kan pernah mbak kirim ke kamu Pras.." ucap Bu Rina mengenalkan Algis sebagai istri Panji. Pria bernama Prasetyo itu tersenyum ramah pada Algis.

"Aslinya jauh lebih cantik dari yang di foto, ya Mbak" sahut wanita cantik yang dipanggil tante Mela oleh Panji.

Algis terseyum sembari menyalami Tante Mela. Lalu pandanganya beralih pada sosok pemuda disamping tante Mela. Usia pemuda itu tak jauh berbeda dengannya. Pemuda itu tersenyum ceria, ia mengulurkan tangannya kepada Algis untuk mengenalkan diri.

"Hai...aku Arsenio...panggil aja Nio" Kata pemuda berkulit sawo matang itu dengan ramah. Dia adalah sepupu Panji. Meski dia lahir dan besar di melbourne, dia pandai berbahasa indonesia sejak kecil. Keluarganya mengajarkan bahasa Ibu untuk komunikasi sehari-hari didalam rumah.

"Al-ehmm Ajeng" jawab Algis mengenalkan diri hampir saja dia salah menyebut nama. Untuk sekarang ini tidak ada orang bernama Algis. Sosok Algis harus menghilang dulu berganti gadis manis bernama Ajeng. Sebenarnya ada rasa tak nyaman, ada rasa sedih di hati Algis saat dia menyebut nama kakaknya untuk mengenalkan diri.

"Bro...kenapa gak pernah cerita istrimu cantik banget. Carikan satu yang seperti ini untukku ya" Kata Nio mulai berceloteh. Panji tak menyahut dia hanya diam pura-pura tidak mendengar ucapan Nio, dia malas menanggapi sepupunya yang suka bicara asal ini.

"Kenapa diam aja, ayo berjanji bro akan carikan gadis seperti ini untukku"

"Gak ada! stok habis." jawab Panji asal

"Baiklah... kalo tidak mau, biarkan aku meminjam istrimu sebentar untuk aku ajak jalan-jalan" Nio menarik tangan Algis untuk mendekat ke arahnya.

"Lepasin..singkirin tangan lo!" Panji menarik Algis kembali ke arahnya.

"Ahhh...posesif sekali" gerutu Nio sebal

"Nio....tidak boleh seperti itu pada istri sodaramu. Tidak sopan. Dan kalian jangan bertengkar terus jika bertemu, kalian sudah bukan anak-anak lagi" ucap Tante Mela mengingatkan putranya.

"Kalian bertiga istirahatlah dulu pasti lelah setelah perjalanan jauh..kami harus pergi ke hotel untuk gladi resik persiapan besok malam" Kata Bu Rina.

Kedua adiknya mengangguk dan mengikuti pelayan yang ditugaskan untuk mengantar mereka ke kamar masing-masing. Sedangkan Nio, dia sudah melesat cepat naik ke atas menuju kamar favoritnya. Kamar yang sebelumnya dijadikan kamar tidur Algis yang letaknya berhadapan dengan kamar Panji.

Kedua orang tua Panji serta Algis dan Panji berjalan menuju mobil masing-masing yang terparkir di halaman rumah meninggalkan ruang tengah. Pak suryadi dan Bu Rina mereka masuk mobil yang dikendarai Pak Tori sopir pribadi mereka. Sedangkan Algis seperti biasanya dia masuk ke mobil Panji.

Sebelum mesin mobil dinyalakan Algis tersentak saat dia mengingat sesuatu. Buru-buru ia melepas sabuk pengaman yang sudah ia kenakan.

"Mas..tunggu sebentar, Algis lupa sesuatu di kamar"

Tak perlu menunggu jawaban Panji, Algis segera turun dari mobil. Ia berlari masuk ke lantai atas rumah menuju kamarnya. Tanpa permisi ia menerobos masuk menghampiri Nio yang saat itu berdiri mematung di depan jendela kamar. Perlahan tangannya siap menyingkap kain putih yang menutupi sebuh kanvas lukis, namun dengan cepat Algis meraih pergelangan Nio, menghentikan pergerakan tangan Nio.

"Sa- saya mohon....jangan buka ini" kata Algis pelan dengan tatapan memohon.

"Apa ini rahasia??? "tanya Nio sambil tersenyum miring. Algis tak segera menjawab ia terdiam.

"Baiklah jika ini rahasia aku tidak akan membukanya, tapi ada syaratnya" kata Nio sambil menyeringai.

"A-apa???"tanya Algis lirih.

"Aku akan beberapa hari di sini. Kamu harus janji setelah resepsi pernikahanmu selesai dan sebelum kalian pergi berbulan madu kamu harus menemaniku jalan- jalan, gimana??"

"Baiklah..tapi berjanji jangan membuka itu" Algis setuju. Dia tidak punya banyak waktu untuk berunding dengan sepupu Panji ini.

"Oke deal" Kata Nio sambil melangkah ke tempat tidur dan menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur.

"Kalo begitu permisi" pamit Algis

"Yaaa....tolong tutup pintunya untukku kakak yang cantik" kata Nio dengan tatapan menggoda.

Algis melangkah keluar dan menutup kamar meninggalkan Nio yang masih tersenyum melihat tubuh kecil itu menghilang dari balik pintu. Nio pemuda berkulit tan itu memiliki wajah yang tak kalah tampan seperti Panji meski tak setinggi Panji, tapi dia memiliki daya pikatnya sendiri. Tidak seperti Panji yang cenderung dingin tidak banyak bicara, Nio kebalikannya. Pemuda itu ramah dan murah senyum, gigi gingsul nya membuatnya semakin menawan jika tersenyum.

Algis kembali masuk dalam mobil, Panji menoleh ke arah Algis. Ia menangkap kegelisahan dari raut wajah pemuda manis disampingnya.

"Ada apa? apa yang lupa?" tanya Panji sambil menginjak pedal gas mobil dan mulai mengemudi.

"Gak ada apa-apa Mas...hanya hp Algis tadi ketinggalan"

Tak ada tanggapan lagi dari Panji setelah itu. Keduanya terdiam tidak melanjutkan percakapan singkat itu. Mereka terperangkap dalam benak pikiran masing-masing. Sebenernya Panji merasa ada yang berbeda dari pemuda manis di sisinya itu. Algis sekarang lebih tenang, wajah gugup malu-malu sudah tidak ada lagi sejak hari kemarin setelah kejadian di kamar.

Panji ingin sekali membicarakan hal itu. Ingin meminta maaf atas kekhilafannya. Namun ia bingung harus memulai dari mana. Panji melirik ke kiri, untuk melihat wajah Algis yang termenung diam menatap luar kaca mobil.

"Gis..." panggil Panji ke Algis dengan nada suara pelan hampir tak terdengar.

"Iya mas..." jawab Algis sambil menoleh ke arah Panji. kedua mata beningnya menatap kearah Panji,menanti kalimat Panji selanjutnya.

"Maaf..untuk kejadian kemarin di kamar. Kamu pasti merasa gak nyaman" Algis terdiam tak langsung menyahut. Ia meremas jemarinya sendiri. berusaha tetap tenang mengulas senyum meskipun terlihat samar.

"Algis kan udah bilang Mas...lupakan saja kejadian itu anggap tidak pernah terjadi. Algis tau Mas Panji tidak sengaja. yang salah bukan Mas Panji saja. Algis juga salah"

"Jadi kamu tidak akan berpikir kalo aku..."

"Tidak Mas! Algis tidak berpikir Mas Panji menyukai Algis. Sampai saat ini Bapak dan Ibu masih berusaha mencari Kak Ajeng. Setelah Kak Ajeng kembali Algis bisa pergi dari rumah Mas panji"

Kata Algis memotong kalimat Panji. Sebisa mungkin dia bersikap tenang meskipun hatinya ada rasa sedih. Entah bagian mana yang membuatnya merasa sedih. Kisah hubungan semu dengan Panji yang akan segera berahir atau kenyataan bahwa Panji tidak memiliki alasan apa-apa saat menyentuhnya.

Panji terdiam. Dia tidak bisa bicara apa-apa lagi. Apa yang ia pikirkan sudah dilontarkan oleh Algis dengan jelas. Harusnya ia merasa lega apa yang ia khawatirkan tidaklah terbukti. Algis tidak berpikir dia menyukainya setelah ciuman itu.Tapi Panji justru merasa tidak suka ketika Algis mengatakan hal itu dengan tenang.

Drrrttttdrrrtttt

Suara ponsel Algis bergetar di sakunya.Algis merogoh saku celananya lalu menjawab panggilan masuk di ponselnya.

"iya..hallo Bas"

"Algis izin gak masuk beberapa hari, maaf gak kasih tau kalian berdua"

kata Algis memberi jawaban pada sesorang di sebrang telpon.

"Enggak Bas...Algis gak sakit, jangan khawatir"

"ya udah yaa...salam buat Maura..."

Algis menutup sambungan telpon.Lalu menyimpan ponselnya kembali.

"Apa temanmu?" tanya Panji ingin tau

"Iya..Bastian. Algis lupa gak kabarin dia kalo Algis gak bisa masuk kuliah beberapa hari kedepan"

"Kamu kelihatan dekat dengan Bastian"

"Dia sahabat Algis Mas, tentu saja kami dekat" Sahut Algis tanpa menoleh ke arah Panji.

Suasana dalam mobil kembali hening, mereka kembali terdiam. Algis memandang ke arah luar kaca mobil sedangkan Panji kembali fokus mengemudi mobil. Mereka larut dalam pikiran masing-masing hingga sampai di tempat tujuan.Hotel bintang lima milik keluarga Panji. Besok adalah hari resepsi pernikahan Panji yang akan di gelar di ballroom hotel milik keluarganya. Dan hari ini mereka melakukan persiapan terakhir.

Tepat pukul 19.00  Yudha menginjakkan kakinya di depan sebuah hotel mewah bintang lima. Ia memakai kemeja slimfit warna putih dibalut dengan blazer warna hitam dan sebuah kamera digital di tangan kanannya. Malam ini Yudha adalah salah satu fotografer handal yang ditunjuk untuk mengabadikan moment bahagia pasangan mempelai dari keluarga pengusaha sukses.

Yudha melangkahkan kakinya ke pintu masuk utama yang langsung terhubung dengan lift ballroom hotel, Kepada petugas keamanan Yudha menunjukan kartu tanda pengenal sebagai bukti dia adalah salah satu orang yang akan melakukan tugasnya di dalam.

Resepsi pernikahan Panji di gelar secara private tidak diliput media. Semua media di-block tidak diijinkan untuk meliput, Tamu yang di undang pun hanya kerabat dekat dan relasi bisnis. Keamanan dijaga dengan sangat ketat, jika bukan tamu undangan dan keluarga tidak akan di ijinkan masuk. Pesta akan dimulai pukul 19.30 malam hingga selesai.

Ballroom hotel mewah milik keluarga Panji malam ini terlihat indah. Nuansa bunga sakura menjadi pilihan dekorasi gedung. Hampir tiap sudut ruangan tertata rapi bunga sakura dengan warna pink cerah serta  ditambah tanaman hias gantung menambah kesan romantis.

Para tamu undangan sudah mulai hadir, mereka disambut oleh petugas hotel yang ditunjuk untuk melayani tamu. Dan untuk para tamu disiapkan round table yang dibalut dengan alas meja warna merah muda hingga hampir menyentuh lantai. Masing-masing meja bundar diisi 8 kursi futura lengkap dengan pita di bagian belakang kursi yang warnanya senada dengan warna bunga sakura.serta pelayanan menu makan yang akan segera dihidangkan jika meja sudah tempati oleh tamu undangan.

Waktu terus berjalan. Ballroom hotel sudah dipenuhi tamu undangan. Ada beberapa pejabat daerah dan artis ibukota yang hadir, menjadi saksi malam resepsi mewah pernikahan putra tunggal pengusaha sukses di kota ini.

Sudah waktunya mempelai pengantin masuk menuju pelaminan. Lampu utama gedung mati, berganti lampu temaram hias yang terpasang indah di setiap pohon sakura buatan.

Pintu utama ballroom terbuka, Lampu sorot mengarah pada kedua mempelai. Perlahan dua sejoli mulai melangkahkan kaki mereka tampak serasi dengan balutan busana rancangan desainer kondang Ivan Banawan. Panji tampak tampan dan gagah mengenakan setelan jas warna krem dengan paduan kemeja putih serta hiasan bunga di kantong. 

sedangkan Algis dia terlihat begitu cantik dengan gaun berbahan burkat perpotongan sederhana namun tetap terlihat mewah dan elegan. Di tangannya ada buket bunga pink rose yang mewah dan indah. Mereka berdua berjalan beriringan menuju pelaminan, menapaki jalan setapak yang dilapisi karpet merah bertabur mawar merah jambu.

Tamu undangan bertepuk tangan tersenyum bahagia menyambut kedua mempelai. Begitu juga dengan kedua orang tua Algis dan Panji. Mereka bahagia bercampur haru. Terutama Ibu Ambar ada rasa sesak di dadanya, air mata mengalir dari pelupuk matanya yang mulai berkerut. Sebagai seorang ibu hatinya sangat hancur melihat putra kesayangannya tak henti memamerkan senyum kepada semua orang. Ia merasa berdosa pada putranya itu. karna dirinya putranya menjalani hidup sebagai orang lain.

Yudha tertegun melihat siapa mempelai wanita dihadapannya. Dia makin terpaku ketika melihat kedua orang tua gadis yang ia cintai berdiri tak jauh dari pelaminan. Mata Yudha berkeliling mengamati seluruh gedung, baru ia sadari dimana dirinya sekarang ini. Yudha baru mengerti ditempat inilah harusnya gadis pujaannya berada. Namun siapa pengantin wanita di sana itu, yang wajahnya sangat mirip dengan Ajeng. Siapa gadis yang menggantikan Ajeng. Mungkinkah itu Algis. adik laki-laki Ajeng. Tapi bagaimana bisa dia menggantikan Ajeng. Ketika fotografer lain sibuk mengangkat kamera untuk mengabadikan tiap moment, Yudha justru sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri.

Di tempat lain, Ajeng baru saja pulang dari pemotretan. Ia masuk ke dalam apartement milik Yudha. Selama masa kaburnya Ajeng tinggal di apartement Yudha. Pria itulah satu-satunya tempat berlindung, pria yang selalu menjaga dan membantunya, pria yang tak pernah lelah mendengar keluh kesahnya.

Ajeng membereskan meja dan sofa ada beberapa foto berserakan. Jemari Ajeng memunguti foto yang berserakan di lantai, lalu membawa foto-foto itu ke kamar Yudha. Melihat meja kerja Yudha sangat berantakan, Ajeng kembali berinisiatif untuk merapikan meja kerja Yudha. Di tengah-tengah keasikannya merapikan meja, pandangan mata Ajeng berhenti pada sesuatu yang menarik perhatiannya. Undangan.

Tangan gadis bersurai panjang itu terulur perlahan meraih undangan di atas meja. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia membaca nama kedua mempelai dan hari tanggal acara. Gadis itu terduduk lemas, tubuhnya bergetar pikirannya melayang ke kedua orangtuanya. Bayangan wajah adik laki-lakinya memenuhi kepalanya. Ia berusaha mengenyahkan apa yang ada dalam benaknya saat ini.  namun hati kecilnya berteriak memerintah nya untuk pergi dan memastikan dengan matanya sendiri. Memastikan apa yang dipikirkan saat ini tidak benar terjadi. Tanpa pikir panjang, Ajeng keluar dari apartement. Ia berlari ke jalan raya untuk mencari taxi.

Yudha berkali kali mencoba menghubungi nomer Ajeng, tersambung namun tidak di angkat. Ia begitu khawatir berharap Ajeng tidak masuk ke kamarnya dan menemukan undangan yang ia letakkan di atas meja. Yudha semakin gelisah. Panik. Dia sudah tak fokus untuk melakukan pekerjaannya.

"Ga....pleas gantiin gue" Mohon Yudha pada Arga teman yang memberinya pekerjaan sebagai fotografer di resepsi pernikahan mewah ini.

"Kok gue sih..gue tamu di sini. Lo yang dibayar kok gue yang ngerjain. Gak mau... Gue mau nikmatin acara ini"

"Tolongin gue Ga....please! Gue bakal turutin apa mau elo nanti, asal lu gantiin gue sekarang"

"Tapi Yud.. Gue gak bisa ambil foto kayak elo. Kalo mereka nanti gak puas sama hasilnya gimana"

"Lo bisa.. Gue tau lu bisa. Gue percaya lu Ga" Kata Yudha meyakinkan Arga, sambil menangkup wajah Arga dengan kedua tangannya. Arga terkesiap, mata mereka saling tatap untuk sesaat.

"Gue keluar dulu" Yudha menyerahkan kamera digitalnya pada Arga. Lalu ia berjalan cepat menuju pintu keluar.

Arga masih terpaku diam. Kesadarannya belum kembali. Ia tersenyum tipis sambil meraba pipinya.

bersambung.....