Sinar mentari pagi menerobos memenuhi seisi kamar, sang pemilik kamar rupanya enggan menutup jendelanya semalam. Hangatnya sinar mentari yang memenuhi kamar mampu mengusir dingin semalam, menjadikan udara kamar mulai menghangat. Tubuh ramping itu perlahan bergerak, rasa kantuk dan lelah membuatnya enggan membuka mata.Beberapa hari terakhir ini merupakan hari-hari yang sangat melelahkan. Banyak hal yang harus dilakukan dalam persiapan malam resepsi itu, biarlah si ramping tidur sebentar lagi menikmati rasa hangat yang membuatnya nyaman. Tangannya bergerak mencari sesuatu, ketika menyentuh sesuatu yang dirasa makin membuatnya nyaman itulah yang di cari. Ia menarik kain tebal itu menutupi tubuhnya. Kembali ia merapatkan diri pada guling dalam pelukannya.
Si ramping tersenyum dalam tidur. Sejak kapan gulingnya terasa lebih besar dan begitu hangat. Dia semakin enggan membuka mata semakin erat memeluk, mendorong kepalanya lebih dalam lagi menikmati aroma maskulin yang menyapa indra penciumannya.
Mata bulat itu terbuka perlahan, ketika hidung bangirnya menyentuh sesuatu. Sesuatu yang ia yakini bukan sarung guling. Dia membulatkan mata ketika dada bidang berotot menyambutnya. Tangan dan kakinya memeluk tubuh besar Panji seperti memeluk guling. Pria bertelanjang dada itu tertidur miring wajahnya tepat menghadap ke wajah pemuda bermata bulat.
Algis mengedipkan mata berkali-kali. Dia baru ingat sekarang, setelah resepsi pernikahan dia harus tidur sekamar dengan pria didepannya ini. Untuk menunjukan pada kerabat orang tua Panji bahwa mereka adalah pasangan suami istri sungguhan.
Perlahan Algis menarik tubuhnya sedikit menjauh memastikan tidak membuat Panji terbangun. Di tatapnya lekat-lekat wajah pria didepannya itu. Pria yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupannya, memberi warna pada hari-harinya. Mata bulat Algis menyusuri setiap inci wajah Panji. Alis yang tebal hidung yang mancung bibir tipis dan lembab serta memiliki garis rahang yang tegas. Sungguh ciptaan yang kuasa begitu sempurna. Algis masih menatap lekat menikmati pemandangan didepannya. sampai sebuah suara mengejutkannya.
"Kamu bisa menghamili ku jika menatapku seperti itu Gis" Kata Panji dengan mata masih terpejam
Suara Panji mengejutkan Algis, pemuda itu segera bergeser menarik tubuhnya mundur membuat jarak antara dia dan Panji. Dia tidak menyangka kalo Panji rupanya sudah bangun.
"Sejak kapan Mas Panji bangun?" Tanya Algis dengan suara gugup
"Barusan..."Dusta Panji.
Karna Panji memang sudah lebih dulu bangun sebelum pemuda manis itu terbangun. Pria itu sudah kenyang memandangi mata bulat Algis saat masih terlelap. Dia pura-pura tidur ketika Algis mulai membuka mata.
Saat keduanya saling menatap satu sama lain, dunia pun seakan tau apa yang bisa membuat suasana saling tatap mata itu berubah menjadi tatapan yang hangat dan intim. Sayup-sayup terdengar alunan lagu dengerously milik charlie puth dari kamar lain. Suara alunan lagu itu berasal dari kamar Algis yang saat ini dihuni oleh sepupu Panji, Arsenio. Pemuda riang itu kerap menyetel musik keras-keras. Itu sudah menjadi ritual pagi harinya di manapun dia berada.
I love you dangerously...
More than air that i breathe..
Knew we would crash at the speed,
That we were going...
Mungkin karna terbawa suasana atau memang keinginan mereka sendiri, entah siapa yang memulai lebih dulu. Saat ini Panji dan Algis kembali merapat, tak ada jarak antara mereka berdua. Mata mereka saling bertemu, mereka saling memandangi satu sama lain tanpa ada kata terucap dari bibir keduanya. Hanya sorot mata yang mengisyaratkan mereka tidak ingin mengakhiri saat-saat mendebarkan seperti ini.
Panji mengulurkan tangannya ke arah wajah pemuda manis didepannya. Ibu jarinya mendarat di bibir mungil Algis, mengusap lembut bibir ranum itu.
"Kenapa bibir ini selalu membuatku ingin menyentuhmu"
Kata Panji dengan suara serak khas orang bangun tidur. Algis tak menyahut pemuda itu hanya tersenyum manis, senyum yang menurut Panji lebih cerah dari sinar mentari.
Panji mendekatkan wajahnya ke arah bibir mungil didepannya, lalu mengecup lembut. Algis tak menolak meskipun dia masih ingat akhir dari ciuman yang sebelumnya mereka lakukan menyakitkan hatinya. Namun Algis masih saja tak bisa menolak jika Panji menyentuhnya. Apa Algis murahan?? Gampangan??, biarkanlah jika ada yang mengatakan itu. Karna pada kenyataannya terkadang rasa cinta tidak memerlukan sebuah status hubungan yang jelas. Tak peduli siapa dirinya, bagi Panji yang terpenting saat ini rasa yang ada di hatinya, biarkan dia menikmati rasa indah itu walau semu, walau hanya sekejab saja.
"Klekkkkk" Pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar.
"Bro....Pinjami aku hair dryer punyamu, yang di kamar itu gak bisa dipakai"
Teriak Nio dari ambang pintu.
"Yaaaa!!!....kenapa lo masuk kamar gak ketuk pintu dulu sial!!!" umpat Panji penuh nada kesal.
"Sejak kapan aku ketuk pintu tiap masuk kamarmu bro..." kata nio sambil mengusak rambutnya yang masih basah.
"Oh iyaaa.... maaf kamu sudah menikah heheh. Maaf bro lupa" Lanjut Nio, sambil senyum nyengir tanpa dosa.
Tapi kemudian pandangan Nio beralih ke arah Algis. Nio mengerutkan kening ia melihat sesuatu yang aneh, sesuatu yang berbeda tapi bagian yang mana. Menyadari tatapan mata Nio Panji buru-buru menutup tubuh Algis dengan selimut dan mendekap si manis ke dalam pelukannya.
"Keluar dari kamar gue!" Kata Panji dengan nada datar.
"Tunggu bro...kenapa itu..."
"Keluar kata gue!!!!" teriak Panji, kali ini dia menatap tajam ke arah Nio.
"Nio.....kamu ngapain sih disini"
Suara Tante Mela membuat Nio menoleh ke arah wanita cantik yang masih pantas kalo disebut kakak perempuan oleh Nio.
"Itu Mom...." Nio menunjuk ke arah tempat tidur.
Tante Mela melihat ke arah tempat tidur, Wajahnya merona wanita itu tersipu malu, saat melihat Panji bertelanjang dada sambil memeluk si manis dengan gulungan selimut.
"Apa-apaan sih kamu Nio. Masuk kamar pengantin baru. Mereka bisa saja lagi gak pakek baju" Bisik Tante Mela ke telinga putranya.
"Maaf ya Panji, Nio gak sopan" ucap Tante Mela canggung.
"Ayooo Nio..keluar" Tante Mela menarik pergelangan tangan Nio. Pemuda itu tak terima. Dia berusaha menjelaskan keanehan yang dilihatnya tadi. Tapi Tante Mela tidak mau mendengar. Dia menarik Nio paksa, keluar dari kamar Panji.
Di meja makan Arsenio duduk cemberut. Dia kesal dengan mommynya. Sejak tadi mommy tidak berhenti mengomel. Wanita cantik itu masih saja menyalahkan Nio, yang dianggap sangat tidak sopan masuk ke kamar Panji disaat mereka sedang berduaan. Namun bukan hal itu yang membuat Nio kesal, pemuda bergigi gingsul itu merasa kesal karna mommynya sama sekali tidak mendengarkan penjelasan nya.
"Jangan kamu ulangi lagi seperti itu Nio..kamu itu sudah dewasa. Panji sudah menikah kamu gak bisa masuk kamar Panji begitu saja. paham gak??"
"Mom...., mommy tuh sudah berapa kali ngomong gitu di ulang-ulang terus, tadi itu aku lupa"
"huh..kamu itu kalo dikasi tau sama mommy bantah terus aja"
Nio tak menyahut lagi. Dia mendengus kesal lalu memasukan roti tawar ke mulutnya sendiri dengan kasar.
Pagi ini keluarga besar Suryadi berkumpul di meja makan untuk sarapan pagi. Hanya tinggal Panji dan Algis yang belum ada di meja makan.
"Panji belum bangun ya.." Tanya Bu Rina sembari mengolesi roti tawar miliknya dengan selai kacang.
"Namanya pengantin baru mbak, kalo pun sudah bangun pasti masih berlama lama di atas tempat tidur"
Sahut Tante Mela sambil senyum-senyum, dia membayangkan apa yang dilihatnya tadi di kamar keponakannya. Bu Rina dan suaminya saling pandang. Mereka tidak menanggapi lebih lanjut kata-kata Tante Mela.
Selang beberapa menit, Panji dan Algis keluar dari kamar. Algis berjalan dibelakang Panji menuruni anak tangga menghampiri keluarga yang lain di meja makan. Pagi itu Panji mengenakan kaos polos warna biru dengan bawahan jeans. Sedangkan Algis, tubuh rampingnya dibalut kemeja besar warna coklat motif kotak-kotak, dengan bawahan jeans slim fit warna biru pudar.
Melihat Algis mata Nio menatap penuh selidik, ia mengamati Algis dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia masih yakin dengan apa yang dilihatnya tadi di kamar,sosok wanita yang di kamar tadi tidak seperti ini ada yang beda tapi apa. Nio masih terus berpikir keras.
Panji menarik tangan Algis mencari tempat duduk yang tidak berdekatan dengan Nio. Saat ini Nio itu seperti ancaman buat mereka berdua.
"Cantik banget kamu Ajeng... Tante pengen Nio nanti dapat istri kaya kamu." Puji Tante Mela
Algis hanya tersenyum menanggapi pujian Tante Mela.
"Ini kamu minum susu ini dan greek yogurt ini ya..ini Tante buatin sendiri khusus buat kamu"
Tante Mela tidak bohong dia memang menyiapkan sendiri khusus buat Algis yang Tante Mela kira dia adalah Ajeng. Wajah Algis yang manis dan tutur katanya yang lembut membuat wanita cantik itu gemas.
"Trimaksih tante.."
Ucap Algis dengan tulus sembari mulai minum susu yang dibuatkan oleh tante Mela.
"Habis kan...biar kamu makin sehat subur dan cepat kasih cucu ke Mama Papa kamu" Kata Tante Mela dengan penuh semangat.
"Uhuk...uhuk...uhuk..."
Algis tersedak hingga terbatuk-batuk. Bu Rina dan Pak Suryadi menatap kasihan ke Algis.
"Pelan-pelan minumnya"
Panji mengusap usap punggung Algis penuh perhatian. Melihat itu wajah Tante Mela kembali merona, wanita itu sangat gemas dengan pasangan pengantin baru dihadapannya.
Dia jadi berkhayal kapan putranya akan memiliki istri yang menggemaskan seperti istri keponakannya.
"Maaf nyonya...di luar ada tamu ingin bertemu dengan nyonya"
Suara Bi Inah membuat semua orang di meja makan menghentikan pergerakan makan mereka. Mata mereka tertuju pada Bi inah wanita yang sudah sangat lama bekerja pada keluarga Panji.
"Siapa ya???" Bu Rina tampak bingung dia tidak merasa membuat janji dengan siapa pun.
"Suruh tunggu di ruang tamu saja Bi.."
"Baik Nyonya.."
Bi Inah berjalan meninggalkan ruang makan.
"Mama ada janji sama orang?" Tanya Pak Suryadi.
"Gak tuh Pa...kalian terusin aja makannya. Mama mau liat dulu siapa, kok penasaran ya.."
Wanita paruh baya itu menggeser kursinya lalu beranjak dari duduk berjalan ke ruang tamu menemui seseorang yang mencarinya.
Di ruang tamu yang besar dengan desain klasik eropa Ajeng duduk dengan tenang di sofa panjang, matanya mengedar mengamati ruang tamu yang di dominasi warna putih dan gold ada beberapa guci besar di sudut ruangan dan hiasan lukisan eropa kuno di dinding. Rumah yang sangat besar seperti istana, sangat jauh dibandingkan dengan rumah orangtuanya.
Pagi ini setelah ia pikirkan matang-matang, Ajeng datang seorang diri ke rumah Keluarga Suryadi. Awalnya Yudha ingin mengantarnya tapi Ajeng menolak, ini adalah urusan keluarga dia tidak mau melibatkan pria baik itu. Sudah cukup dia menampungnya selama masa kaburnya dari rumah.
Ajeng merunduk mengatur nafas dan menenangkan detak jantungnya. Tak lama Bu Rina berdiri di ruang tamu.
"Slamat pagi...." Sapa Bu Rina pada gadis yang menundukkan kepala. Mendengar suara itu Ajeng mendongak dan bangkit berdiri menyambut wanita didepannya dengan sebuah senyuman canggung.
Bu Rina tertegun. Matanya tidak berkedip, ia terkejut melihat Ajeng calon menantunya tiba-tiba berdiri dihadapannya. Wanita itu menjadi bingung bagaimana harus bersikap, dia hanya beberapa kali bertemu dengan Ajeng saat pertama perkenalan dengan Panji dan ketika dia datang melamar gadis itu. Tak banyak interaksi antara keduanya sebelumnya namun wanita itu memang memilih Ajeng sebagai calon istri untuk Panji.
"Ma-maaf Tante mengganggu.." Kata Ajeng gugup. Ada rasa takut dan tak enak hati dirasakan gadis itu. Walau begitu dia sudah siap jika wanita dihadapannya ini akan menyalahkan dirinya, menuntut penjelasan karna meninggalkan pernikahan.
"Siapa Ma..." Suara Pak Suryadi mengejutkan Bu Rina yang saat itu masih terpaku diam. Di belakang Pak suryadi ada Nio dan kedua orangtuanya yang terbengong melihat sosok gadis yang wajahnya sangat mirip dengan seseorang di ruang makan.
"Ohh Momm...apa mereka twin" teriak Nio tidak percaya.
"Mas ini siapa?" tanya adik laki-laki Pak Suryadi yang dipanggil Om Pras oleh Panji dengan wajah keheranan.
Pak Suryadi dan Bu Rina tak langsung menjawab, dua orang itu menarik nafas panjang lalu duduk di sofa berhadapan dengan Ajeng.
"Kak..Ajeng....." Semua orang menoleh ke datangnya suara merdu itu.
Algis berdiri mematung, disampingnya ada Panji yang tak kalah terkejutnya. Pria bertubuh tinggi itu seketika menggegam erat tangan Algis. Hal itu tak luput dari pandangan mata Bu Rina.
"Kak Ajeng kapan pulang Kak?? Apa Bapak Ibu sudah tau?" Ucap Algis sembari berjalan mendekati kakak perempuannya. Ajeng tak begitu menanggapi adiknya. Gadis itu berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Mbak Rina... ini sebenarnya siapa kok namanya Ajeng juga sih" Tanya Tante Mela dengan segala kebingungannya.
"Dia Ajeng yang sesungguhnya calon istri Panji" Jawab Bu Rina dengan raut wajah tertekan.
"Calon istri???? lalu itu siapa??"
Tante Mela menunjuk ke arah Algis.
"Dia Algis...adik laki-laki nya Ajeng" sahut Panji dengan suara datar.
"whatttt??????!!!!!!!!"
Om Pras, Tante Mela dan Arsenio terbelalak kaget.
Setelahnya Pak Suryadi dan Bu Rina menjelaskan semuanya satu persatu dimulai dari perjodohan, kabur dari pernikahan dan datangnya Algis untuk menggantikan kakak perempuannya.
Ketiga orang itu mendengarkan dengan seksama. Raut wajah Om Pras dan Tante Mela berubah menjadi muram dan ada rasa kecewa setelah mendengar cerita itu.
"Mom...aku ingat sekarang, tadi pagi yang aku lihat di kamar emang beda mom...rambutnya gak panjang..rambutnya pendek sama kayak aku dan bro. Sekarang Mommy percaya kan" Teriak Nio merasa puas setelah dia berhasil menjelaskan keanehan apa yang dia maksud.
"Wahhhh....you guys bisa ya main drama seperti ini hahhaha" Lanjut Nio berceloteh. Sepertiya hanya Nio yang masih bisa tertawa di ruangan itu.
"Mas dan Mbak Rina ini kan orang berpikiran luas orang pintar kok bisa akal-akalan seperti ini, sebagai om nya Panji saya lebih memilih Panji batal menikah, dari pada harus membuat drama seperti ini membohongi banyak orang, dan mengorbankan perasaan orang lain" Kata adik laki-laki Pak Suryadi, Tante Mela mengangguk membenarkan perkataan suaminya.
Secara bersamaan dua pasangan suami istri menoleh ke arah Algis dan menatap sendu ke arah Algis. Dua orang itu merasa iba dan kasihan melihat sosok rapuh itu. Mereka sama sekali tidak menyangka jika di balik sosok gadis yang bertutur kata halus dan penurut itu adalah seorang laki-laki.
Bagaimana mungkin dia yang seorang laki-laki mau saja diperintah untuk menuruti skenario yang diberikan keluarga besarnya. Tidak bisa dibayangakan betapa tertekannya hari-hari pemuda itu selama dia berpenampilan seperti wanita.
"Sini...duduk sini dekat Tante...."
Tante Mela menepuk sofa di sisi kirinya meminta Algis untuk datang padanya dan duduk di sisinya. Algis menurut ia bangkit berdiri dan duduk di sebelah Tante Mela. Wanita cantik itu membelai kepala Algis penuh sayang.
"Tante mengenal kamu hanya beberapa hari. Tapi Tante tau kamu anak yang baik. kamu di sini yang jadi korban..kamu disini yang dirugikan"
Ruangan menjadi hening Pak Suryadi dan Bu Rina tidak bisa bicara apa-apa. Mereka sudah pasrah jika harus di salahkan oleh adik-adiknya. Mereka yang membiarkan Panji membawa Algis pulang, dan justru mendukung Algis berpura-pura menjadi Ajeng dimuka umum. Demi menjaga nama baik mereka.
"Lalu sekarang bagaimana Mbak Rina..? kalo calon istri Panji yang sebenarnya sudah kembali" Tanya Om Pras pria itu melirik ke arah Ajeng yang sedari tadi diam tak bergeming.
"Karna Kak Ajeng sudah kembali, berarti Algis harus menyudahi semua ini Om. Algis disini karna bentuk tanggung jawab keluarga Algis" Kata Algis sebelum Bu Rina menjawab.
Om Pras menarik nafas panjang. Pandangannya beralih ke saudara tuanya.
"Ini urusan keluarga Mas Yadi...karna saya sudah dengar ceritanya jadi saya cukup tau Mas. Bagaimana keputusan akhirnya saya tidak ikut campur. Mas dan Mbak Rina serta Panji silahkan dibicarakan."
Setelah mengatakan itu Om Pras bangkit berdiri dari duduknya melangkah meninggalkan ruang tamu, diikuti tante Mela. Sebelum melangkah Tante Mela menyempatkan diri untuk menangkup wajah Algis dengan satu tangan sambil tersenyum seakan ingin mengatakan keep strong sweety, I'm with you.
"Nio....." Panggil Tante Mela dengan suara ditekan.
Nio menggelengkan kepala memberi isarat pada mommynya bahwa dia tidak mau ikut pergi. Dia ingin menyaksikan langsung ending dari drama nyata yang dia tonton. Tante Mela mendelik tetap meminta Nio pergi dari ruang tamu. Dengan wajah kesal mulut cemberut, Nio mengikuti mommynya.
Tinggalah mereka berlima di ruang tamu. Suasana kembali hening dan canggung. Pak Suryadi dan Bu Rina keduanya menatap ke arah gadis cantik yang wajahnya mirip Algis. Jika Algis berpakaian seperti ini mereka berdua seperti saudara kembar.
"Ehhemmm..." Pak Suryadi berdehem Pria itu mencoba untuk memulai percakapan.
"Ajeng....saya sebenarnya sangat kecewa karna kamu meninggalkan anak saya di hari pernikahan. Saya dan istri saya menjodohkan kamu dengan Panji, karna saya tau kamu anak dari keluarga baik-baik. Kalo kamu tidak mau dijodohkan dan ingin menolak harusnya kamu bicara pada orangtuamu. Bukanya kamu malah kabur"
Kata Pak Suryadi mengungkapkan rasa kecewanya.
"Maafkan saya Om..tante dan juga..Pa-Panji"
"Saya akui saya salah...saya sudah buat kekacauan tapi sekarang saya datang buat nebus kesalahan saya Om Tante... Saya janji saya akan memperbaiki semuanya. Saya akan jadi istri yang baik....." ucap Ajeng dengan penuh keyakinan.
Selama berada di ruang tamu itu Ajeng sama sekali tidak bertemu mata dengan adiknya. Gadis itu hanya fokus pada Pak Suryadi dan Bu Rina. Bahkan pada Panji, Ajeng hanya sekali dua kali melirik ke arah pria tampan yang sejak tadi hanya menunjukan wajah datarnya.
"Baiklah.....tapi saya harus bicara lagi dengan kedua orang tua kamu. Dan juga saya tidak mau melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Lebih baik kamu tinggal disini untuk lebih dekat dengan Panji, sebelum saya menyiapkan pengesahan pernikahan kalian berdua. Biar bagaimanapun publik taunya kamu itu istri Panji. Kasihan Algis juga kalo harus terus-terusan berperan jadi kamu"
Kata Pak Suryadi memberi penjelasan.
"Sekarang kamu pulanglah dulu Ajeng, bicarakan niat baik kamu pada orangtuamu. Nanti saya akan atur waktu untuk bertemu dengan Mereka"
"Baik Om...Tante...Kalo begitu saya permisi dulu" Pamit Ajeng,
Gadis itu perlahan beranjak dari sofa dan berjalan ke arah pintu keluar dari rumah besar keluarga Suryadi. Dari belakang Algis bergegas mengejar kakaknya. Dia harus bicara dengan kakaknya, ada mengganjal dalam hatinya saat ini. Sejak tadi kakaknya sama sekali tidak mau menatap ke arahnya, mereka seperti dua orang asing.
"Kak Ajeng..." Panggil Algis
Ajeng menghentikan langkah kakinya ia memutar badan ke arah Algis.
"Kak.....Algis...."
"Trima kasih Gis...trima kasih sudah menutup kesalahanku. Sekali lagi kamu jadi anak baik, anak yang nurut sama bapak dan ibu" potong Ajeng
"Kak...."
"Sejak dulu aku ini anak pembangkang. udah saatnya aku jadi anak baik juga kan..." Ajeng menyunggingkan senyum miring.
"Dan sepertinya kamu menikmati jadi diriku. Pulanglah..saatnya aku ambil apa yang harusnya aku miliki"
Kata Ajeng sambil berlalu dari hadapan Algis. Pemuda manis itu terpaku, diam. Di lihatnya tubuh ramping milik kakaknya yang semakin menjauh dari pandangannya. Dia merasa kakak perempuannya seperti orang asing, tatapannya dingin tak sehangat dulu. Algis menundukkan kepala mendesah lelah.
Bersambung...