Chereads / Mainan Tuan Muda / Chapter 22 - Accident

Chapter 22 - Accident

"Enggak akan ada pernikahan." Desis Arjuna dengan dingin, laki-laki itu akhirnya behasil menemui Dya setelah menunggu selama beberapa hari. Adri yang sepertinya masih memiliki dendam untuknya membuat Arjuna harus bersusah payah memanjat dinding agar bisa menginjakan kaki di balkon kamar Dya.

"Juna.. kamu akan kehilangan segalanya kalau kita enggak menikah."

"Gue enggak peduli!" Raung laki-laki itu keras.

"Gue enggak peduli Dya, persetan dengan Wardana. Yudistira bisa memilikinya kalau dia memang mau."

Dya tidak kehabisan akal, "Kamu kita Medda akan tetap memilih kamu kalau kamu bukan Wardana?!"

"Jaga mulut lo!"

"Tanya sama diri kamu sendiri Juna, kalau bukan Wardana apa Medda akan memilih kamu?" Dya melipat tangan di depan dada.

"Perempuan itu enggak pernah tertarik sama laki-laki lain, Kamu juga pernah bilangkan kalau Yudistira pernah mencoba untuk mendekati Medda dan perempuan itu menolak. Medda cuma mau Wardana Juna.."

"Medda bukan perempuan seperti itu." Dya memutar mata jengah.

"Terserah, tapi yang pasti kita harus tetap menikah."

Arjuna benar-benar tidak lagi mengenal sahabat perempuannya itu, "Gue akan bilang ke papa dan keluarga Aksara kalau lo bohong." Rahang Arjuna bergetar, "Dan berhenti beraku-kamu karena itu kedengeran menjijikan!"

"Coba aja, kita liat siapa yang lebih mereka percaya. Kamu atau aku."

Arjuna pergi begitu saja, Dya ternyata cukup keras kepala kali ini. laki-laki itu tidak bisa melakukan apapaun selain harus berusaha mencari bukti yang bisa membongkar kebohongan putri dari keluarga Aksara tersebut. Emosi Arjuna semakin menjadi, karena begitu sampai di rumahnya ia menemukan Didi sedang berbiara empat mata dengan Medda di dekat taman.

"Medda!" jeritnya kencang hingga cukup membuat Medda terlonjak.

"Apa-apaan ini, kenapa laki-laki kurang ajar ini bisa masuk ke sini?!"

Melihat Medda yang ketakutan, Didi berinisiatif untuk menarik Medda kebelakang tubuhnya. Sayangnya tindakan itu justru membuat emosi Arjuna semakin terpancing, tuan muda Wardana itu sama sekali tidak ragu untuk menarik kerah kemeja Didi.

"Berani banget kamu menginjakan kaki di rumah ini."

"Ada hal yang harus saya bicarakan dengan tuan Nata." Ucap Didi susah payah karena lehernya tercekik.

"Tu.. tuan tolong, jangan lukai calon suami saya."

Cengkraman Juna spontan mengendur, laki-laki itu beralih menatap Medda dengan bengis sekarang, "Apa kamu bilang?"

"Saya dan Didi sebentar lagi akan menikah tuan, karena itu Didi datang ke sini untuk minta izin sama tuan Nata."

Arjuna mendengus, "Jangan bercanda Medda, saya enggak suka."

"Ini bukan candaan tuan, saya dan Medda sebentar lagi akan menikah." Didi menarik pinggang Medda kemudian mengelusi perut perempuan itu yang masih rata.

"Medda hamil tuan, saya harus bertanggung jawab."

Arjuna tiba-tiba saja tertawa, laki-laki itu bahkan harus membungkuk saking merasa geli dengan perkataan Didi.

"Satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab kalau Medda hamil, itu saya!" Arjuna menatap Didi nyalang.

"Kenapa jadi kamu yang harus menikahi Medda?!"

"Karena anak ini memang anak Didi tuan, maaf." bisik Medda gemetar, mata bundar perempuan itu menatap Arjuna dengan penuh penyesalan.

"Sa.. saya diam-diam menjalih hubungan dengan Didi, se.. sebelum berangkat liburan ke villa sa.. saya-"

"Cukup." Arjuna langsung menyela, laki-laki itu sama sekali tidak mampu mendengar Medda menyelesaikan kalimatnya. Arjuna tidak siap mendengar suara hatinya yang patah.

"Saya enggak akan percaya Medda, kita akan melakukan tes DNA." Medda menggeleng dengan panik.

"Saya jujur tuan, ini kejujuran yang selama ini saya simpan rapat dari tuan Arjuna." Medda sudah terisak.

"Tolong, jangan ganggu saya dan anak ini. Biarin kami hidup dengan tenang." Medda benar-benar memohon.

***

Yudistira langsung keluar dari mobil yang di kendarainya, laki-laki itu bahkan sama sekali tidak peduli pada kunci yang masih menggantung di dekat kemudi. Tujuan Yudistira hanya satu, mencari Joko.

"Joko!" teriaknya sekencang mungkin, sebelum mendatangi villa tempatnya berlibur bersama Dya dan juga Arjuna-Medda, Yudistira sudah lebih dulu meminta Jo untuk menghubungi Joko.

"Joko!"

"I..iya tuan, saya di sini. Saya di sini." Laki-laki kurus itu berlari dengan susah payah dan langsung bersimpuh di bawah kaki Yudistira.

"Kamu simpan di mana barang-barang yang saya titipkan kepada kamu?"

"I.. itu.." Joko gelagapan karena sejujurnya sebagian barang-barang tersebut sudah ia jual, keluarga Warda jarang mencari kembali barang-barang yang sudah mereka tinggalkan. Karena itu terkadang para pekerja menjual barang-barang mahal milik majikannya itu untuk mendapatkan pendapatan tambahan.

"Di mana Joko?!"

"Ma.. maaf tuan.. tapi sebagian sudah saya jual." Joko langsung merunduk begitu satu pajangan di atas meja ruang tengah melayang, tubuh kurusnya gemetar karena ketakutan.

"Ma..maaf tuan, maaf…" Yudistira menyentakan kaki ketika Joko hendak mencium kakinya.

"Di mana sisa-sisa barangnya, bawa kemari."

Joko langsung belari, secepat mungkin mencari sisa barang yang di titipkan oleh tuannya beberapa waktu lalu, "Cuma tinggal ini aja tuan." Tangan Joko gemetar ketika mengulurkan barang yang tersisa.

"Cuma ini?!" Yudistira menggenggam sweater rajut yang memang di pakai Dya selama ada di villa, merasa masih ada banyak hal yang harus di urusnya Yudistira memutuskan untuk mebiarkan Joko kali ini.

"Lain kali enggak akan ada maaf kok, saja hajar kamu kalau sampe berani kurang ajar kayak gini lagi."

"Iya… tuan iya.. maaf."

"Sekarang kamu ikut saya."

"Ya?"

"Kamu ikut saya, kamu harus jadi saksi kalau saya yang ada sama Dya sebelum dia pulang kerumahnya. Kamu tau kan apa yang kami lakukan di pakiran restoran waktu itu?" Joko mengangguk ragu.

"Saya mau kamu jelasin semuanya ke keluarga Aksara dan juga keluarga saya."

"Eng.. baik tuan."

Yudistira menggedikan dagu, meminta joko mengikutinya. Sialnya baru setengah jalan, hujan turun dan kabut menghalangi pandangannya. Joko sudah memegangi sabuk pengamannya dengan kencang ketika majikannya itu sama sekali tidak menurunkan laju kendaraannya.

"Tuan, jalanan berkabut. Sebaiknya kita berhenti dulu."

"Diem kamu, saya enggak punya banyak waktu. Kalau takut, kamu merem aja." Joko tidak bisa melakukannya.

"Bahaya tuan, di sini jalannya sempit dan licin. Kita berhenti dulu sembentar dan lanjut jalan besok pagi aja." Bukannya menurut Yudistira justru menekan gas lebih dalam, McLaren Elva itu melaju secepat cahaya di tengah-tengah kabut yang semakin tebal.

'tiin"

"Tuan awas!"

Yudistira yang terkejut mendengar teriakan Joko dan juga klakson panjang dari mobil di hadapannya langsung banting stir, mobil mewah itu tidak lagi melaju lurus melainkan berguling beberapa kali sebelum akhirnya menabrak tebing si sisi jalan.

"Tu.. tuan.. uhuk.." Kepala Joko rasanya berputar, tubuhnya kebas tapi laki-laki itu masih berusaha memastikan ke adaan Yudistira.

"Tu..an.." Panggil Joko lirih, Yudistira sama sekali tidak menjawab. Bahkan hingga akhirnya Joko kehilangan kesadarannya, Yudistira masih tetap bergeming.