Pagi ini Sean sudah rapi dengan setelan jas kantornya, dia sudah bersiap sedari pagi untuk pergi ke kantornya, sebelum berangkat ke kantor Sean selalu menyempatkan diri untuk menyantap sarapan terlebih dahulu yang di siapkan oleh bi inah, sejak kecil Sean sudah di biasakan untuk sarapan pagi dan kebiasaan itu masih bertahan hingga kini.
Sean masih ingat dengan jelas bagaimana ibunya menghukum saat dia sengaja melewatkan sarapannya, sejak saat itu Sean sudah tidak berani melakukannya lagi, dulu karena takut sekarang karena sudah terbiasa, sesibuk apapun dia, dia akan tetap menyempatkan diri nya untuk makan pagi.
"Den, Sarapannya sudah siap," ucap bi Inah menghampiri Sean yang tengah sibuk memilih mobil mana yang akan dia gunakan hari ini.
"Iya bi, makasih, tolong taruh di atas meja aja dulu, nanti saya makan," ucap Sean tanpa menghentikan aktivitasnya.
Bi Inah menganggukkan kepalanya tanda bahwa ia mengerti, sembari menata sandwich, eggroll, buah, dan segelas teh hangat di meja.
Bi Inah selalu memperhatikan kebutuhan Sean di rumah mulai dari makanan hingga membersihkan rumah Sean. Setelah selesai memilih mobil mana yang akan ia pakai Sean kemudian menuju meja makan untuk menyantap sarapannya.
"Bi, Sean berangkat ya," Pamit Sean pada asisten rumah tangganya bi Inah.
"Iya den, hati-hati," jawab bi inah sembari mengantar Sean sampai ke pintu rumah.
Bi inah sudah lama bekerja di kediaman Sean, dulu bi inah sempat bekerja di keluarga D'angelo menjadi ART sekaligus sebagai baby sitter yang bertugas mengurusi segala keperluan Sean karena itu Sean sangat dekat dengan bi inah bahkan Sean sudah menganggap bi inah sebagai ibu keduannya.
Ketika Sean sudah beranjak dewasa dan memilih untuk tidak tinggal di rumah orang tua nya, Sean dengan banyak cara membujuk ibunya agar ibunya mengijinkannya untuk membawa Bi inah ke rumah nya untuk menjadi ARTnya.
Tidak seperti di keluarga D'angelo yang mengharuskan ART menginap di rumah, Sean malah menginjinkan Bi inah untuk pulang pergi karena tempat tinggal Bi inah juga tidak terlalu jauh dari rumah Sean, Sean sadar Bi inah juga punya keluarga yang harus ia jaga, Jadi Bi inah biasanya datang pagi-pagi buta dan pulang sore hari setelah selesai menyiapkan makan malam untuk Sean.
Mengendarai sebuah mobil mewah keluaran terbaru dari negara Italia, mobil Aventador S warna biru kesayangannya Sean berangkat ke kantor, sesampainya di kantor Sean langsung menuju ke ruang kerjanya, banyak pekerjaan yang tidak bisa ia di tunda.
Sean merebahkan tubuhnya di sandaran kursi, melonggarkan dasinya yang terasa mencekik tenggorokannya, Sean berulang kali melakukan nafas dalam untuk mengisi paru-parunya yang terasa sesak dengan oksigen, pekerjaan hari ini terasa melelahkan, menguras emosi dan tenaganya.
Sean melirik sekilas jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul tiga sore, pantas perutnya sejak tadi tanpa henti menabuh genderang perang dan sekarang mulai terasa perih karena dia tanpa sadar melewatkan jam makan siangnya. Pekerjaan yang begitu banyak membuat Sean sering lupa waktu bahkan sering kali dia melewatkan makan siangnya, Sean bekerja keras sepanjang waktu untuk mencari modal sebanyak mungkin yang akan dia gunakan nanti untuk menemukan atau bahkan untuk memperebutkan sang gadis takdir.
"Siska, belikan makanan untuk ku dan buatkan juga teh hangat," ucap Sean menggunakan interkom yang terhubung langsung ke ruangan siska
"Jangan lama aku lapar," sambung Sean lagi,
Siska di sini bukan hanya bekerja sebagai sekretarinya tapi sudah seperti istrinya yang selalu menyiapkan segala hal untuknya di kantor, mulai dari hal kecil menyiapkan makanan dan minuman serta sering kali Siska juga memenuhi kebutuhan Sean di bidang lain, kebutuhan seorang pria yang butuh beberapa adegan panas, hanya sebatas cumbuan dan rabaan tidak lebih dari itu.
Tak lama Siska datang dengan membawa 1 kantong plastik berisi makanan dan segelas teh.
"Pak, makananya sudah datang, saya akan menyiapkannya," ucap Siska
"Tidak perlu letakkan saja disitu, kamu bisa kembali keruangan mu melanjutkan perkerjaan mu," cegah Sean saat Siska hendak menata makanan yang ia beli untuk Sean.
"Baik pak," Ucap Siska patuh sembari melirik Sean untuk memastikan apakah bosnyaa benar-benar tidak ingin di layani seperti biasa, melihat tidak ada reaksi dari Sean, Siska pun segera beranjak pergi.
Sean segera membuka plastik makanan yang di bawa Siska dan segera melahap nya, saat ini dia tidak peduli dengan rasa makanan yang di makannya apakah enak atau tidak, Sean hanya butuh makan untuk menunjang kebutuhan tubuhnya dan menjaga kesehatannya, dia tidak mau kalau harus membuang banyak waktunya saat dia harus di rawat di rumah sakit. Tak perlu waktu lama bagi Sean untuk menghabiskan makananya.
Sean berjalan menuju sofa di ruang kerjanya yang memiliki dinding yang terbuat dari kaca memperlihatkan hiruk pikuk kehidupan di kota tempatnya mencaro rejeki, dari tempatnya duduk Sean bisa melihat banyak gedung berjejer rapi, gedung-gedung itu berdiri kokoh tampak angkuh dengan segala macam bentuk dan rupa, dari yang indah sampai yang berpenampilan sederhana, gedung-gedung tempat banyak manusia mencari sesuap nasi.
Gedung-gedung itu sama halnya dengan gedung yang Sean urus sejak berusia 16 tahun dimana dia di percayakan oleh ayahnya untuk ikut andil dalam mengelola salah satu perusahaan milik keluarga mereka yang akan beralih menjadi miliknya saat ayahnya Scoutt D'angelo mewariskan perusahaan itu untuknya kelak.
Sean sangat bangga pada dirinya karena sejak remaja ia sudah berhasil menjadi salah satu pengusaha sukses dan merupakan penerus perusahaan SGD yang di segani dimana-mana.
Sean mengamati jari manisnya dengan senyuman hambar,
"Dimana kamu sekarang ?di belahan bumi mana ? apa yang sedang kamu lakukan sekarang ? apakah kamu makan dan beristirahat dengan baik ?"gumam Sean entah bertanya dengan siapa, sembari menatap gedung-gedung di depannya.
"Aku pasti akan segera menemukan mu gadis ku, akan ku buat benang ini berubah warna," desis Sean perlahan mengecup jari manisnya.
"Akan ku buat kamu menjadi ratu ku, menjadi ibu dari anak-anak ku dan tak akan pernah ada satu pun yang pantas menggantikan mu," Janji Sean sembari menatap langit yang indah di hiasi beberapa awan putih bersih.
Perlahan Sean membuka galeri handphone, mengklik sebuah foto lukisan yang tengah memperlihatkan seorang wanita cantik berpenampilan sederhana tanpa polesan make up yang kini tengah tersenyum manis, wangi dari wanita ini menjadi candu untuk Sean, setiap malam dia akan terus menerus mencari wangi ini, sampai-sampai Sean mengira dirinya sudah gangguan jiwa karena hanya menatap lukisan ini dia terkadang merasa begitu tenang seakan tidak ada beban di hidup nya dan terkadang dia menjadi pria yang aneh karena hasratnya naik hanya karena sebuah lukisan.