Keduanya memisah diri. Daisy yang mulai terlihat ketakutan, sementara Reza mencoba bersikap biasa.
Zen mendekat dan menyentuh lengan Daisy hebat. Ia lalu membawa Daisy paksa, menjauh dari Reza. Reza menghentikan langkahnya.
"Dia cewek gue," ujar Reza.
Zen tidak menoleh. Ia hanya tetap di tempat, dengan tangan masih menggenggam lengan Daisy. Daisy merasa kesakitan dan meminta ia melepaskannya.
"Lepasin dia!" suruh Reza.
"Kamu mau saya drop out dari kampusmu? Dia adalah calon istri saya," ucap Zen percaya diri.
Reza terdiam. Ia lalu menghadap Daisy. Meminta penjelasan Daisy yang lantas Daisy tak bisa berkata apa pun. "Beberapa jam sama aku dan kamu nggak bilang apa-apa? Kamu mau menikah?" tanya Reza terlihat kecewa.
Zen membiarkan mereka tersulut kebimbangan. Daisy tak mampu berkata-kata. Tangisannya tak membuat keadaan reda. Lalu Reza menjauhkan langkahnya.
"Kupikir kita selamanya, ternyata kamu kasih aku luka," ujar Reza lirih.
"Ma-maaf." Hanya itu yang bisa Daisy katakan.
Zen pada akhirnya membawa Daisy pergi dari rumah Reza. Memasukkannya ke dalam mobil sementara matanya masih menatap jendela mobil yang menampakkan tubuh Reza yang diam membatu menatap mobil Zen hilang dari pandangannya.
Hanya keheningan yang terjadi di dalam mobil. Menemukan Daisy bukan berarti membuatnya lantas melunak. Bahkan kali ini Zen tak akan membiarkan Daisy pergi.
"Lusa kamu bertemu dengan Mama saya. Namanya Neva, jadi bersikaplah baik padanya," ujar Zen singkat.
"Dari mana kamu tahu saya hilang?" tanya Daisy tanpa membalas ucapan Zen.
"Mata saya ada di mana-mana, Daisy. Saya kan, sudah bilang, jangan main-main dengan saya. Seminggu kamu akan tinggal di apartemen. Saya sudah menghubungi Ibumu," jelas Zen.
"Apa? Ta-tapi..."
"Berhenti bicara!" bentak Zen kemudian.
***
Kejadian tiga hari lalu membuat Zen sulit berkonsentrasi untuk mengerjakan pekerjaannya. Ia lebih mudah marah apabila proyek yang ia tangani tak berhasil ia dapatkan. Padahal jika mengandalkan uang, Zen bisa saja mendapatkannya.
Pikirannya berantakan karena ulah Daisy. Untuk apa menghilang jika belum hitungan hari saja ia mudah ditemukan? Zen tak habis pikir. Apalagi ketika yang ia saksikan adalah bibir Daisy yang melekat pada bibir Reza, kekasih diam-diamnya itu.
Zen dilanda api cemburu.
"Hei, Zen!" seseorang masuk. Dito rupanya, sahabat Zen semasa kecil hingga saat ini.
Awalnya Zen terkejut, sebab bukan ketukan yang ia dapatkan, melainkan Dito yang berhambur masuk begitu saja.
"Gue pikir siapa tiba-tiba masuk. Tumben lo datang?"
Dito duduk di hadapan Zen begitu saja. "Gue dengar, lo punya wanita simpanan?" Suara tawa Dito menggelegar, untung saja ruangan Zen kedap suara.
Wanita simpanan yang Dito maksud adalah Daisy. Berita itu memang menjadi bahan gosip beberapa minggu terakhir sejak Daisy tinggal di apartemen Zen. Zen tidak terlalu terkejut mengenai itu. Karena miliarder sepertinya sudah terlalu sering di cap buruk oleh media massa.
"Dan lo percaya?" tanya Zen.
"Sejujurnya antara ya dan nggak. Sebut aja lo punya cewek dan tinggal bareng sama lo, ya anggapan tentang wanita simpanan bisa jadi benar, kan?" jelas Dito berlogika.
Zen mengangguk. Tak ada yang ia tutupi dari Dito. Tapi jika Dito tak bertanya, maka ia tak akan memberitahu.
Dito pun menggelengkan kepalanya. Ia celingak celinguk, mencari sesuatu. "Di mana cewek lo? Gue pikir dia di sini?"
Daisy untuk sementara tidak ikut menemani Zen di kantor. Pikiran Zen sedang kacau sejak insiden itu, maka ia mengurung Daisy ketat di dalam apartemennya. Penjagaan dan segala akses pintu dan jendela pun ia buat seketat mungkin.
"Di apartemen. Lagi gue kurung. Resek tu cewek!" Hanya pada Dito Zen bisa bersikap sebagaimana dirinya yang nyata.
"Lo ngedapatin dia aja pakai cara salah, Zen. Gimana nggak resek coba?"
Benar, pikir Zen. Ia memang menculik Daisy secara tak langsung. Menjadikannya wanita yang ia inginkan. Menandatangi kontrak dan segalanya.
"Bukan berarti gue nggak bisa bikin dia tunduk, kan?"
"Yah, seorang Zen kalau nggak bisa membuat cewek tunduk, gue harus terheran-heran pastinya," ejek Dito tertawa.
***
Sepulang dari kantor, Zen masuk ke dalam apartemen. Membawakan makanan yang ia beli di resto langganannya. Ia lalu melihat Daisy tengah rebahan di sofa menonton tayangan televisi kartun.
Cih, doyan kartun! Batin Zen mencibir.
Zen berdeham kemudian. Membuat Daisy menoleh dan terduduk. "Saya bawa makanan, tolong sajikan di piring, kita makan setelah saya selesai mandi," perintah Zen sembari menaruh kantung plastik itu.
Air pancuran dingin cukup membuat Zen bisa bernafas lega. Pikiran yang tadinya panas kini meleleh begitu saja. Ia membiarkan air pancuran itu membasahi tubuhnya. Dadanya yang membidang dengan bulu-bulu yang tumbuh di dadanya. Terlihat seksi yang pastinya membuat wanita mana pun merasa terkulai lemas di hadapannya.
Sayangnya, wanita yang ia harapkan adalah Daisy. Ia harus membuat Daisy jatuh ke dalam pelukannya.
Selesai mandi, hanya dengan mengenakan handuk untuk bagian bawah sementara Zen bertelanjang dada, Zen keluar kamar dan segera menuju meja makan. Makanan telah tersaji istimewa di sana. Artinya Daisy menuruti perkataannya.
"Duduk," ujarnya pada Daisy.
Bukannya memulai makan, Daisy menatapnya beku. Zen yang merasa diperhatikan pun akhirnya bertanya, "ada apa?"
"Kamu nggak pakai pakaian?" tanya Daisy.
Zen mengedikkan bahunya. "Saya lebih suka begini. Saya harap kamu nggak merasa terganggu."
Tentu saja Daisy merasa terganggu. Bukan tak nyaman, hanya saja pikiran Daisy jadi bercabang ke mana-mana. Zen tahu ia berhasil, setidaknya membuat Daisy kewalahan dengan apa yang dipikirkannya.
"Ayo, makanlah. Setelah ini bersiap-siap. Kamu nggak lupa kan, kalau hari ini kita akan bertemu Mama saya?" Daisy mengangguk ragu. Ia menunduk sekaligus menikmati makanannya.
"Pakaianmu ada di kamar. Saya belikan gaun baru, semoga cocok."
"Apa yang harus saya katakan di hadapan Mama kamu?"
"Apa adanya aja. Beliau tahu apa yang saya lakukan sama kamu," ucap Zen jujur.
Tegukan saliva Daisy terdengar jelas. Mengatakan kejujuran bagi Zen ternyata lebih mudah ketimbang dirinya sendiri.
Zen menatapnya lekat. "Saya menjunjung tinggi kejujuran, Daisy. Nggak ada yang saya tutupi dari Mama saya. Bukan berarti saya anak Mama dalam artian tanda kutip, tapi kejujuran bagi saya nomor satu," jelas Zen kemudian.
"Ya, oke. Sebaiknya saya siap-siap. Saya nggak terlalu lapar malam ini."
Daisy berdiri dan berjalan ke arah kamarnya. Zen hanya memandangnya dengan senyuman khasnya. Ia mulai merasakan sensasi dari wanita yang mungkin akan segera tunduk padanya.
Satu jam telah bersiap-siap, Daisy hanya sedang kesusahan dengan gaun yang mama bagian belakang untuk di tutup dengan restleting. Ia tidak bisa meraihnya, padahal keringat sudah lumayan membasahinya.
"Daisy... apa kamu sudah selesai?" suara Zen dari luar kamarnya terdengar. Daisy menoleh dan dengan memejamkan mata serta mengembus hempaskan nafasnya, ia hendak meminta tolong Zen.
"Bisa masuk? Tolong bantu saya," seru Daisy.
Zen membuka pintu. Menampakkan keanggunan dan keseksian tubuh Daisy yang terbalut gaun pemberiannya. Tentu saja Zen terperangah, hingga ia lupa apa tujuannya masuk.
"Zen?" panggil Daisy membuyarkan.
"Ah, ya?"
"Bantu saya menutup restleting ini. Saya nggak bisa menjangkaunya. Kenapa sih kamu membelikan gaun seperti ini?"
Zen mendekat. Nafasnya memburu. Ia mulai mendekat ke arah belakang Daisy. Mengangkat restleting gaun itu perlahan. Nyaris seperti sengaja ia lambati seraya menikmati matanya memandang punggung indah Daisy.
"Karena saya tahu kamu akan terlihat seksi dengan gaun ini," jawab Zen setelah ia menyelesaikan yang membuatnya bergejolak tak menentu.