Chereads / BOSSY BOSS / Chapter 10 - Chapter 10 - Dan Terjadilah...

Chapter 10 - Chapter 10 - Dan Terjadilah...

Zen mencoba setia. Walau pun ia tak pernah selingkuh, tapi ia mencoba setia. Sebab tawaran Dera adalah belenggu yang nikmat baginya. Ia tahu ia sebenarnya tak mampu menahan godaan sex dari wanita yang memang hebat di ranjang.

Sejauh ini memang wanita yang ia kenal hebat di ranjang adalah Dera. Wanita lainnya, hanyalah biasa baginya. Tapi yah, setidaknya semua berhasil membuatnya merasa puas. Bagaimana dengan Daisy? Zen tidak tahu, tapi ia penasaran. Bahkan ia memikirkan jikalau Daisy ternyata lebih hebat dari pada Dera, pastilah ia merasa menyesal menganggap Dera sebagai Queen of the Bed.

Daisy mengetuk pintu Zen berulang kali. Hingga Zen yang tadinya tak mendengar, lantas segera memasukkan surat itu ke sakunya dan membuka pintu kamarnya.

"Ada apa, Daisy?"

Daisy menatap Zen yang belum berganti pakaian kerja. Bahkan ia menilik kamar Zen untuk memastikan apakah ia mengganggu Zen berkonsentrasi pada dokumen itu atau tidak.

"Aku lapar," ujar Daisy.

Zen keluar kamar dan menutupnya. "Ayo, kita makan di luar. Sekalian kita mencari bahan makanan agar kamu bisa memasaknya."

"Kamu nggak ganti pakaian?" tanya Zen.

"Memangnya kenapa?"

"Bukannya kamu lebih suka menyembunyikan dirimu sendiri dari keramaian?"

"Nggak perlu. Pada akhirnya aku harus menghadapi mereka juga, kan?"

Daisy hanya mengangguk dan mereka keluar apartemen untuk mencari restoran.

***

Seperti biasa, restoran akan selalu Zen yang memilihnya. Zen tidak akan merasa baik-baik saja jika Daisy-lah yang memilih restoran. Tapi beruntungnya, Zen-lah yang berkuasa untuk segalanya.

Semua mata tertuju pada Zen. Beberapa terdengar sedang bergosip, sementara yang lainnya memilih diam.

"Kok aku risi, ya?" ujar Daisy.

"Ada apa?"

"Mereka sebut-sebut wanita simpanan. Apa selama ini mereka tahunya kamu punya simpanan ketimbang calon istri?"

Seharusnya Zen tahu bahwa Daisy bukanlah tipikal wanita yang suka menonton berita. Makanya berita tentang wanita simpanan itu tak diketahuinya.

"Biarkan aja. Aku memang terkenal buruk di hadapan mereka," ujar Zen.

"Dan kamu nggak mencoba memperbaikinya?"

"Aku nyaman dengan bagaimana diriku. Ini aku. Baik dulu mau pun sekarang, sama."

Daisy tak membantah ucapan Zen. Sebab Daisy pikir, Zen mengatakan yang sebenarnya.

"Wah, halo Pak Zen... ternyata Anda di sini, ya?" Suara seorang wanita membuat Zen dan Daisy menoleh. Zen terkejut begitu tahu yang ia lihat adalah Dera. Tidak sendiri melainkan bersama seorang laki-laki.

"Oh, kamu yang tadi, ya? Ayo, silakan duduk. Kita bisa makan bersama kalau begini." Tiba-tiba Daisy mengajak Dera bersama laki-laki itu bergabung. Zen tak bisa menolak. Tidak di hadapan publik. Ia bahkan hanya diam dan menatap Daisy tajam.

Seolah merasa bersalah, Daisy pada akhirnya menjadi kikuk.

"Dera baru bekerja atau sebelumnya udah bekerja?" tanya Daisy memecahkan suasana.

"Saya baru lulus kok, Bu. Ngomong-ngomong, kebetulan sekali ya, Bu, kita bertemu di sini. Bisa mengobrol juga. Saya juga pas ketemu sama teman kuliah saya ini," ujar Dera.

Daisy tersenyum sembari mencomot potongan daging ke mulutnya. "Iya, jadi ada teman bicara, ya. Omong-omong, panggil saya Daisy aja. Nggak perlu formal juga, kok. Saya suka yang biasa-biasa aja."

Dera mengangguk tersenyum. Sesekali ia melirik Zen yang hanya diam menikmati makanannya. Bahkan pandangan Zen tak lepas dari Daisy. "Saya hanya mencoba menghormati, Bu. Karena Anda adalah calon istri Pak Zen. Benar begitu, Pak?"

"Ya, Dera." Ada nada tersirat dalam ucapan Zen ketika menyebut nama Dera. Dera pun diam-diam mengulum senyum.

"Oh, saya permisi ke toilet, ya. Sebentar aja," pamit Dera yang sebelumnya telah mencolek kaki Zen memberikan kode isyarat.

Ketiganya diam sejak Dera pergi. Daisy dengan makanannya, Zen dengan ketidaktenangannya, dan laki-laki bernama Fico sibuk dengan ponselnya.

"Daisy, aku juga mau ke toilet. Perutku mulas."

"Apa kita pulang aja?"

"Nggak usah. Kamu habisi dulu, aku cuma harus ke toilet aja," ujar Zen.

Daisy mengangguk sembari menatap kepergian Zen menuju toilet.

Sementara itu, Zen membuka satu bilik toilet laki-laki. Di sana sudah ada Dera. Duduk di kloset dengan posisi menggoda. Ia tersenyum menatap Zen, lalu berdiri. Entah apa yang membuat Zen tahu maksud Dera tadi, hingga akhirnya ia mengetahui keberadaan Dera.

Mata Zen berapi. Tatapan penuh ketidaksukaannya pada Dera membuatnya tak tenang sejak kedatangannya. Ia pun lalu memaksa Dera berbalik, membelakanginya. Dera tersenyum penuh kemenangan. Satu lagi keuntungan, posisi toilet bilik yang benar-benar tertutup baik atas mau pun bawah.

"Ya, aku suka itu, Zen," bisik Dera mendesah.

"Hanya sekali dan cepat!" Zen berbisik kesal.

Kebutuhannya benar-benar berbeda kali ini. Melihat Dera benar-benar membuatnya tak tahan. Apalagi dengan baju kantor Dera yang sengaja mengetat mencetak tubuhnya, membuat bagian diri Zen tak bisa menahan kuasa.

Zen membuatnya berposisi seperti yang ia inginkan. Membelakanginya.

Tanpa pemanasan, Zen mendesak Dera. Bergerak pelan hingga Dera merintih nikmat. Gerakan pelan itu membuat Dera memohon untuk lebih cepat. "Yang cepat, Zen. Yang cepat!" bisiknya memohon.

"Kamu. Nikmat! Sial! Aku membencimu!" gerutu Zen.

"Please, yang cepat!"

"Katakan sekali lagi, Dera. Panggil aku seperti dulu kalau kamu mau kenikmatanmu tiba!"

"Oh... aku... nggak tahan. Zen..."

"Ayo, panggil, Dera!"

"B-boss... ayo, yang cepat. Aku mohon!"

Zen pun lalu bergerak cepat. Mengguncang tubuh Dera sangat dahsyat. Zen memegangnya kencang. "Ya... begitu, lagi, lagi!" Dera mulai merengek.

"Boss, lebih cepat!" bisik Dera tak tahan.

Semakin cepat Zen bergerak, semakin membuat Dera kewalahan mengatur keseimbangan. Zen lalu memegangnya, membuat Dera terkulai lemas.

Nafas mereka tersengal-sengal. Tak beraturan. Zen belum menyelesaikan untuk dirinya. Ia pun membalikkan tubuh Dera. Membuatnya bertekuk lutut.

"Hmm..." Zen berdeham menahan kenikmatan yang sebentar lagi memuncak. Dera lihai memainkan perannya, lalu pada akhirnya Zen berada di puncaknya dengan kenikmatan surga yang ia inginkan.

Dera berdiri untuk merapikan pakaiannya.. Mengatur dirinya seperti awal tadi.

"Aku merindukanmu, Zen," ucap Dera.

"Diam."

"Aku menantikannya lagi. Terima kasih dan sama-sama." Dera keluar bilik setelah memastikan keadaan toilet sepi. Ia pun tersenyum lebar dan merasa menang. Melangkahkan kakinya menuju tempat di mana Daisy dan Fico menunggu.

Zen membasuh wajahnya. Ia menatap dirinya di cermin. Memastikan bahwa dirinya tidak kelihatan berantakan. Ia akan menunggu setidaknya lima menit setelah Dera keluar. Semua ia lakukan agar Daisy tak menaruh rasa curiga.

Sembari menunggu waktu tiba. Zen memikirkan bagaimana Dera masih bisa ia rasakan bahwa Dera tak berubah. Menggoda, nikmat, dan sangat menggairahkan. Yang membedakannya adalah, hati dan perasaan Zen bukan untuk Dera.

"Daisy, sepertinya kita kembali aja. Perutku merasa nggak enak," ujar Zen yang tiba dan berdiri di sisi Daisy.

"Makanannya mungkin bikin perutmu mules, ya? Ayo, kita komplain."

"Jangan. Lebih baik pulang," ujar Zen memerintah.

Daisy lalu menatap Dera dan Fico bersamaan. "Maaf, kami harus pulang, Dera."

"Silakan, Bu."

Setelah berpamitan, Zen lalu pergi dengan Daisy. Tangan Zen memegang pinggang Daisy, sementara dirinya menatap Dera yang masih duduk di kursinya.

Dera tersenyum nakal, melambaikan tangan, dan memberikan ciuman jarak jauh padanya.