Suara pintu besi utama terbuka. Zen dengan tiga orang penjaganya masuk ke dalam bersamaan. Lalu mereka berhenti di depan pintu besi yang kedua. Mula-mula Zen mengembuskan nafasnya, lalu ia masuk diikuti penjaganya.
Lima wanita dengan wajah berbagai ekspresi kini ada di hadapan Zen dengan lima penjaga laki-laki miliknya. Zen menatap lima wanita itu satu per satu.
"Ini dokumen-dokumen tentang mereka, Bos. Lalu kami merekomendasikan pada Anda pada wanita nomor dua. Namanya Daisy," ujar Tino, salah satu anak buah kepercayaannya.
Zen menerima kelima dokumen itu dan ia melihat satu-satu dokumen itu dengan sekilas. Lalu Zen memberikannya pada Ron, anak buahnya yang lain.
Mata Zen tertuju pada wanita yang direkomendasikannya. Dua pasang mata wanita itu memiliki ekspresi mata yang polos namun rapuh. Zen menyukai itu. Ia menyukai Daisy begitu memandang matanya.
"Bawa Daisy pada saya, saya tunggu di apartemen," perintah Zen.
"Yang lainnya, Bos?"
"Lepaskan," jawab Zen singkat lalu berbalik untuk keluar. Sebelum itu, ia memandang Daisy sekali lagi. Wanita itu hanya menunduk dan Zen tersenyum penuh arti.
***
Makan malam telah selesai di atur. Zen pun sudah siap dengan segala yang melekat pada tubuhnya. Ia memandang sekelilingnya dan berusaha mencari apa yang kurang atau tidak ada. Namun nihil, ia tahu pelayannya telah menyiapkan semuanya lebih dari cukup.
"Apa kami harus pergi, Pak?" tanya Sari, pembantunya, mewakili teman yang lain.
"Ya, kalian bisa kembali ke rumah Mama saya." Mereka menunduk dan berlalu dari apartemen Zen.
Dentingan apartemen Zen berbunyi. Ia pun membukanya dan menampilkan Daisy di sana dengan dua anak buah milik Zen. Disuruhnya Daisy masuk dengan gerakan ragu-ragu. Lalu dengan isyarat menyuruh dua anak buahnya pergi, Zen pun menutup pintu apartemennya.
"Daisy..." panggil Zen.
"Saya nggak kenal kamu, kenapa saya harus ada di sini?" tanya Daisy tiba-tiba.
"Saya tahu kamu punya segudang pertanyaan untuk saya. Mari kita bahas di meja makan."
"Saya mau jawaban itu sekarang!" paksa Daisy.
"Jangan melawan sebelum saya berbuat kasar sama kamu, Daisy." Sebuah peringatan untuk Daisy cukup menamparnya. Ia pun mengikuti kemauan Zen untuk berada di meja makan.
Zen benar-benar memperlakukan Daisy seperti Ratu. Hanya saja dengan moto 'terbatas'. Sebab bagaimanapun, wanitanya harus tunduk padanya.
Lepas makan malam, Zen menuangkan anggur merah ke gelas Daisy. Sebagai teman bicara agar terkesan nyaman.
"Saya nggak minum alkohol," tolak Daisy.
"Kamu mau saya ganti apa?"
"Air putih lebih dari cukup."
Segelas air putih seperti permintaan Daisy ada di hadapannya. Maka mereka pun mulai berbicara. "Silakan bertanya, Daisy."
"Kamu siapa?" tanya Daisy.
"Calon suamimu," jawab Zen dengan percaya diri. Ia begitu memukau mengatakan dua kata itu tanpa merasa malu. Bahkan ia bisa melihat keterkejutan Daisy begitu mendengarnya.
Daisy mengerjapkan matanya berkali-kali. "A-apa maksudmu?"
Tidak cukup dengan dua kata jawaban dari Zen, Zen pun mendekatkan dirinya di hadapan Daisy. Sayangnya, hanya mejalah sebagai pembatas di antara mereka.
"Calon suamimu, Daisy. Jangan kaget, mulai dari sekarang kamu akan terbiasa dan ada dokumen yang perlu kamu baca sebagai istriku kelak," jelasnya.
Daisy menggelengkan kepalanya. Ia memikirkan semuanya dan mencernanya. "Nggak. Saya ini masih kuliah. Dan kamu nggak bisa seenaknya menyuruh saya menjadi istri kamu!" Daisy berdiri dan keluar dari kursinya hingga menimbulkan suara derit dari kursi itu.
"Duduk, Daisy," perintah Zen.
"Jangan seenaknya memerintah saya! Saya masih punya pencapaian yang belum saya raih!"
"Dan kamu akan mencapainya bersama saya."
"Saya bahkan punya pacar!" teriak Daisy lantang.
Kesabaran Zen habis. Pada akhirnya ia berdiri dan menatap Daisy dengan nafas memburu. Emosinya memuncak. Wanita di hadapannya ini telah membuatnya marah.
Pacar. Bagaimana bisa Zen tidak tahu bahwa Daisy memiliki pacar? Di dokumen yang ia peroleh dari penjaganya saja tidak mencantumkan hal itu.
Lalu pikiran Zen tertuju pada sesuatu. Bahwa mungkin Daisy berpacaran dengan laki-laki lain secara diam-diam.
"Backstreet?" telak Zen kemudian. Daisy membelalakkan matanya. Ia tak tahu harus menjawab apa di saat Zen telah memojokkannya dengan menanyakan hal itu padanya.
Zen tersenyum. Merasa menang. Ia pun melangkah mendekati Daisy. Daisy mundur seiring dekatnya langkah Zen ke arahnya. "Jangan mendekat!" lirih Daisy merasa sia-sia.
"Kenapa? Karena kamu punya pacar? Backstreet nggak termasuk pacaran, Daisy."
Daisy merasa terpojok. Dinding di belakangnya ada jalan buntu. Nafasnya tercekat begitu merasakan nafas Zen ada di hadapannya. Entah bagaimana ia tak mampu melawan Zen.
Zen tersenyum. Ia memblokir segala jalan keluar bagi Daisy. Terlebih aroma Daisy sangat memabukkan baginya. Membuatnya merasa lemah sementara, tapi ia melawan dengan keras. Zen tak bisa lemah hanya karena aroma wewangian wanita.
"Ayo, duduk. Kita bicara baik-baik," ujar Zen berbalik. Ia memunggungi Daisy. Gejolak dalam dirinya sangat begitu menginginkan Daisy, tapi ia bisa menunggu hingga Daisy benar-benar patuh pada aturan yang ia buat.
Duduk di sofa dengan meja sebagai perantara adalah hal yang kaku bagi Zen. Ia pun memberikan dokumen yang ada di amplop coklat pada Daisy. Zen harus memberikannya sekarang sebelum Daisy benar-benar memilih pergi darinya.
"Baca," perintahnya.
Daisy benar-benar membaca dokumen itu, sementara Zen meraih anggur merahnya. Ia menenggaknya seraya memperhatikan pesona Daisy.
"Bayaran? Maksud kamu, saya akan menjadi istri bayaranmu?" tanya Daisy tak percaya dengan dokumen yang baru saja ia baca.
"Yah, tapi kamu mendapatkan hak sebagai istri. Seharusnya kamu membaca tuntas dan bertanyalah yang memang kamu tidak tahu. Semua itu tercetak secara jelas, Daisy. Saya bukan orang sembarangan atau ingkar janji," jelas Zen.
"Saya mau pulang," pinta Daisy.
"Kamu nggak bisa pulang sebelum menyetujuinya. Orang tuamu sudah saya konfirmasi lebih dulu."
***
Sulit bagi Zen tidur di malam hari sementara di seberang kamarnya ada kamar lain yang di isi oleh Daisy. Ia sangat ingin tahu apa yang Daisy pikirkan. Apa jawabannya.
Tapi memang di malam-malam biasa, Zen memiliki kesulitan tidur. Pekerja keras dan miliarder sebagai gelarnya adalah hal yang membelit pikirannya. Walau ia keras terhadap sesuatu dan berkuasa, tapi ia tak bisa membuat reputasinya jatuh.
Ketukan pintu kamar Zen berbunyi. Membuatnya tersentak dan bangun dari kasurnya. Ia membukanya dan mendapati Daisy di sana. Belum mengganti pakaiannya dengan pakaian yang sudah di sediakan Zen.
"Kamu memberikan dokumen pada saya untuk dibaca," kata Daisy.
"Benar."
"Lalu kamu nggak bisa membiarkan saya pergi sebelum saya menyetujuinya."
Alis Zen terangkat, tidak mengerti maksud Daisy. "Katakan maksudmu, Daisy."
"Saya pergi atau tidak, pada akhirnya kamu tetap ingin memperistri saya, bukan? Jadi, persetujuan dari saya nggak akan berarti apa-apa buat kamu."
Zen menyilangkan kedua tangannya. Ia menatap Daisy lekat. Tidak menyentuhnya, tidak juga menggodanya. Tapi pandangan Daisy seolah memohonnya untuk menyentuhnya.
"Saya akan beri kamu waktu untuk mempercayai saya. Bahkan untuk mengenal saya lebih dalam. Dan... mungkin kamu bahkan akan jatuh cinta pada saya," ucap Zen yakin.
"Kenapa sih, kamu begitu percaya diri?"
"Karena memang akan begitu kejadiannya kelak. Ganti pakaianmu dan tidurlah, besok hari yang panjang untuk kita." Lalu Zen menutup pintu kamarnya dengan pelan, meninggalkan Daisy yang masih membatu di depan pintu kamarnya.