Daisy keluar kamarnya begitu bertepatan dengan memandang pintu apartemen yang terbuka. Zen membukakan pintu untuk seorang wanita dengan pakaian minim sekali.
Wajah Daisy membeku. Lalu sekejap kemudian ia mencoba memalingkan wajahnya.
"Siap, Sayang?" tanya wanita itu dengan manja pada Zen. Zen berdeham dan menuntun wanita itu masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu ia memandang Daisy yang tak mengatakan apa-apa kecuali tegukan minum yang sedang ia lakukan.
Pintu kamar Zen tertutup. Terdengar juga suara pintu kamarnya terkunci. Kemudian beberapa saat terdengar desahan dari wanita bayaran itu. Daisy mengernyit, merasa jijik sekaligus kesal. Ia pun menaruh gelasnya dengan bantingan tanpa pecah.
Lagi, suara teriakan nikmat terdengar. Daisy benar-benar kesal mendengar itu. Padahal ia sudah ada di dalam kamarnya. Daisy pernah mendengar teriakan seperti itu, tapi tidak seheboh yang ia dengar sekarang. Entah apa yang dilakukan Zen pada wanita bayaran itu, mendadak Daisy penasaran bagaimana rasanya.
Secepat itu Zen menyelesaikan hal yang ia inginkan. Membayar wanita itu setelahnya dan membuatnya pergi dan tak kan kembali. Zen merasa puas seketika.
"Oh, sudah?" tanya Daisy mengejeknya.
Zen hanya berdeham. Ia bertelanjang dada. Mengambil air mineral dan mengabaikan Daisy.
"Saya penasaran kenapa wanita itu berteriak kencang," ujar Daisy memulai topik. Padahal ia tahu apa yang Zen baru saja lakukan
Masih, Zen tidak bersuara. Ia pun segera bergegas ke kamarnya. Namun Daisy membuatnya berhenti. "Saya lagi bicara dengan kamu, Zen!" Untuk pertama kalinya, Daisy berani memanggil namanya dengan lantang. Zen lantas menoleh.
"Kamu mau? Mau merasakan apa yang wanita itu rasakan?" tanya Zen.
"Saya nggak serendah itu!"
"Jadi lebih baik diam, pikirkan dokumen itu dan pertanyaan yang ingin kamu ajukan."
"Saya sudah menulis pertanyaan saya," balas Daisy sembari menunjukkan kertas hvs yang ia layang-layangkan di hadapannya.
Zen mendekat dan meraih kertas itu. Ia membaca dengan cepat dan cermat. Kemudian matanya memandang Daisy sembari duduk di hadapan Daisy.
"Oke, besok saya akan menjawabnya," ujar Zen.
"Sekarang. Saya mau sekarang."
***
Tidak pernah terpikirkan oleh Zen bahwa ia akan menuruti Daisy berbelanja hanya berdua saja. Biasanya ia dengan penjaganya, namun permintaan Daisy sebelum menikah adalah ditemani belanja oleh Zen. Entah apa motifnya, tapi Zen sudah waspada lebih dulu. Ia tidak akan membiarkan dirinya dibodohi oleh wanita mana pun termasuk oleh Daisy.
Kaku dan bisu, hanya itu yang Zen rasakan. Ia tidak pernah sekali pun menemani seorang wanita berbelanja. Pasalnya selama ini ia hanya sibuk bekerja dan menyewa wanita malam demi nafsunya.
Daisy membuatnya kacau. Dan Zen seolah tersihir oleh keinginnanya.
"Ayo, pulang," ajak Zen.
"Saya lapar. Kita bisa makan di food court sini."
"Nggak. Kita makan di resto pilihan saya. Ayo!" Kali ini Zen berani memegang pergelangan tangan Daisy dengan paksa. Tidak kencang, juga tidak longgar. Ia hanya ingin segera enyah dari kerumunan orang-orang.
Daisy tidak banyak bicara begitu sampai di resto pilihan Zen. Ia mengulum senyum menatap Zen yang membuka topi dan hoodie-nya demi menutupi identitas seorang miliarder.
"Apa sebegitu takutnya kamu dengan keramaian barusan?" tanya Daisy.
"Kadang ada yang harus dihindari dari mata para pengintai."
"Memangnya siapa yang mengintai kamu? Saya pikir kehidupanmu baik-baik aja dengan penjagaan ketat milikmu."
Zen menatap Daisy yang berceloteh ingin tahu. Ia tak menjawab keingintahuan Daisy.
"Ayo, pesan apa yang kamu mau makan dan minum," ujar Zen.
"Saya nggak biasa makan makanan berkelas. Jadi, saranin yang sederhana mungkin aja," ucap Daisy yang sibuk membolak-balikkan menu karena tidak tahu mau pesan apa.
"Sebelumnya kamu makan makanan berkelas dengan saya, Daisy."
"Tapi restoran ini terlalu mewah."
"Cepat pesan dan jangan mempermainkan saya," perintah Zen keras.
Bibir Daisy mencebik. Ia pun pada akhirnya memesan menu yang ia minati. Setidaknya perutnya terisi dari pada tidak sama sekali.
"Zen," panggil Daisy. Zen sibuk dengan ponselnya dan ia melirik Daisy sebentar sebelum kembali pada ponselnya lagi.
Daisy berdeham. Ini sudah lebih dari seminggu sejak ia bersama Zen tanpa suatu kejelasan. Kali ini Daisy ingin mengatakan sesuatu. Walau rasanya berat dan terasa aneh.
"Ya?" sahut Zen.
Tiba-tiba suara isak tangis terdengar di telinga Zen. Daisy menangis. Zen pun melirik ke kanan kiri. "Hei, ada apa? Apa saya membuat kesalahan?"
"Kamu udah bikin kesalahan dari awal, Zen. Kamu mengambil alih hidup saya. Sekarang saya harus apa selain mengatakan kalau saya mau menjadi istri kamu?" ujar Daisy dengan isak tangis dengan suara kecil.
Zen mengembuskan nafasnya lega. Ia tidak akan mudah merasa luluh dengan tangisan wanita. Jadi ia sedikit lega mendengar jawaban Daisy. "Hapus air mata kamu, makanan akan segera datang," ujarnya kemudian.
***
"Kamu yakin dengan wanita itu, Zen?" tanya Neva, Mamanya.
"Namanya Daisy, Mam. Dan ya, saya yakin. Mama akan menyukainya."
"Bagaimana bisa Mama menyukainya kalau kamu belum membawanya ke sini?"
"Mungkin dalam waktu dekat, Mam."
"Oke. Mama akan menunggu dia."
Usai Zen menjelaskan sedikit tentang Daisy, ia pun meneruskan dirinya untuk berenang. Ya, memang Zen kalau datang ke rumah Neva hanya ketika ingin berjemur dan berenang. Sebab kalau ia melakukna dua hal itu di apartemennya, ia tak mampu menghadapi keramaian.
Satu jam selesai berenang, Zen segera naik dan duduk di tempat berjemur. Ia membuka ponselnya dan mendapati pesan juga beberapa panggilan tak terjawab dari Tino, anak buahnya.
Daisy menghilang.
Nafas Zen tercekat begitu membaca pesan terakhir Tino. Ia memang berjanji membebaskan Daisy begitu Daisy menjawab mau menikah dengan Zen. Tapi Zen tak pernah berpikir bahwa Daisy akan kabur atau menghilang.
Berkali-kali Zen mencoba menghubungi nomor Daisy. Nomor dan ponsel yang sudah di fasilitasi Zen, namun nihil, tidak aktif.
Zen pun akhirnya segera bersiap seadanya dan bergegas secepat mungkin. Ia mendatangi rumah Daisy, rumah Ibunya Daisy lebih tepatnya.
"Jadi Ibu nggak tahu dia di mana?" tanya Zen kemudian.
Weiske menggeleng lemah. Namun sorot matanya menyembunyikan sesuatu, membuat Zen curiga.
"Saya akan mencarinya. Tapi, Bu Weiske... kalau Anda mencoba menyembunyikan Daisy dari saya, saya nggak akan tinggal diam. Bisa jadi, Daisy akan tetap tinggal dengan saya tanpa harus melihat ibu di sini," ancam Zen.
Weiske hanya diam. Ia tak menjawab ucapan Zen. Sampai Zen berdiri hendak pergi, Weiske menahan tangannya. "Nak Zen... saya minta maaf... saya..."
"Katakan saja, Bu. Kalau Ibu mengatakannya sekarang, maka semua akan baik-baik saja. Hanya saja, saya minta seminggu penuh Daisy tinggal bersama saya sebagai hukuman." Zen sudah tahu lebih dulu bahwa Weiske memang menyembunyikan perihal Daisy hilang.
"Dia ada di rumah temannya, Nak. Namanya Reza," ucap Weiske bergetar.
"Teman?" Zen menautkan kedua alisnya. Rupanya Daisy menyebut Reza di hadapan Ibunya sebagai seorang teman, bukan kekasih.
Weiske mengangguk. "Ya, Nak. Teman satu kampusnya. Ibu akan mencatat alamatnya."
"Nggak usah, Bu. Saya tahu alamatnya. Terima kasih untuk kejujuran Ibu. Saya permisi."
***
Jangan pernah bermain api dengan seorang Bos miliarder yang tahu menahu bagaimana menemukan mangsanya. Zen adalah orang yang seperti itu. Rahangnya yang mengeras, dua bola mata yang hitam pekat, menunjukkan bagaimana dirinya begitu tersulut emosi dan amarah akan Daisy.
Reza, laki-laki yang merupakan pacar Daisy, membuat Zen merasa terbakar cemburu. Seharusnya ia sudah memusnahkan Reza lebih awal agar Daisy tidak perlu melarikan diri ke arahnya. Apalagi Weiske mengenal Reza sebagai teman kampusnya saja.
Sampai rumah Reza, anak buah Zen tidak ikut. Ia membiarkan mereka di tempat saja. Zen harus mendatangi Daisy secara langsung.
Tanpa sopan santun karena amarah, Zen mendobrak paksa pintu rumah Zen.
Seketika mata Zen menemukan mereka sedang memagut bibir satu sama lain yang telah terkejut dengan suara dobrakan pintu yang Zen lakukan.
"Daisy!" lirihnya dengan penekanan yang disertai amarah.