"Kak, aku akan pergi." Tae Jung terlihat sibuk membawa beberapa barang dan juga berkas yang ada di tangannya. Ada juga Go Hyung yang berdiri di belakang Tae Jung dengan beberapa berkas penting lainnya.
"Aku harus berbicara padamu dulu," jawab Ji Kang membuat Tae Jung menganggukkan kepalanya. Tae Jung sadar tajam tatapan kakaknya pada Go Hyung. Tae Jung melirik pria dewasa di belakangnya dan kembali memerintah.
"Tinggalkan kami paman," minta Tae Jung. "Susun dengan rapi beberapa berkas ini dan limabelas menit lagi aku akan turun," sambung Tae Jung mengatakan apa yang dia inginkan.
Tae Jung menaruhnya di lantai, dia membiarkan satu tumpuk tebal berkas itu di depan kamar Ji Kang. Keduanya mulai masuk meninggalkan Go Hyung yang menghela nafasnya berat.
"Bagaimana aku bisa keluar dari jeratan Ji Kang setelah ini," kesal Go Hyung yang berjalan keluar dengan beberapa berkas banyak di kedua tangannya.
Kembali pada Ji Kang dan Tae Jung.
"Ada apa, Kak?" tanya Tae Jung yang tahu betul jika yang ingin Ji Kang katakan ladanya benar-benar hal serius untuknya. "Hari ini kau ingin kemana?" tanya Ji Kang memastikan pada adik sepupunya jika tujuan mereka seharusnya tidak sama.
"Lima pelabuhan," jawab Tae Jung cepat membuat Ji Kang langsung paham saja begitu mengingat jika sekarang ada penjualan hampir delapan pembelian di sana. "Lalu, Eun Ra?" tanya Ji Kang mengkhawatirkan keadaannya.
"Haruskah aku mengurus wanita bodoh itu? Buang atau bunuh saja, aku muak melihatnya. Sialan," kesal Ji Kang membuat Tae Jung menatap tajam dan kesal pada ji Kang.
"Apa kau benar-benar tidak kasihan padaku?" Ji Kang memutar bola matanya malas. Dia benci mengatakannya hanya saja Eun Ra bagi Ji Kang memang wanita bodoh dengan banyak sekali menyusahkannya.
"Berikan pada Tae Hyun, lebih baik berikan padanya agar kau tidak perlu membuatku kerepotan di tiga titik sekaligus," titah Ji Kang membuat Tae Jung memutar bola matanya malas.
"Aku tidak akan membiarkan Eun Ra tinggal dimanapun. Jangan sampai Eun Ra menginjakkan kakinya ke tempat lain atau semuanya akan semakin buruk," jawab Tae Jung sama sekali tidak ingin dan tidak senang melihat seberapa ide gila yang Ji Kang sarankan membuatnya pusing.
"Kenapa aku harus mematuhimu?" tanya balik Ji Kang membuat Tae Jung terdiam mendengarnya. "Berikan padaku, akan ku robek bibirnya karena aku membencinya," jelas Ji Kang membuat Tae Jung memutar bola matanya malas.
"Berhenti mengatakan omong kosong, Kak." Tae Jung terlihat tidak senang dimana Ji Kang selalu membahas soal membunuh. "Aku membeli Eun Ra bukan untuk dibunuh," jelas Tae Jung yang kali ini serius, Ji Kang terkekeh mendengarnya.
"Lalu?"
"Akan kau apakan dia? Bukankah kau dengan dia tidak memiliki hubungan yang baik dan serius, kau dan dia bukan dua orang yang perlu bersatu dan saling melindungi."
"Uangmu sudah kembali kan? Berikan aku membunuhnya, aku benci hidup dengan satu wanita yang akan menghancurkan hidup orang lain dan keluarga kita Tae Jung," jelas Ji Kang seberapa dia belajar dari masalalu dengan sangat baik saat ini.
"Ingat kau memanggilmu ke ruang kerjamu untuk mengambil kembali uang yang kau beli dari mendapatkan Eun Ra? Aku membawa uang itu kembali, wanita bernama Yoon Sa dan mencuri semua uang yang mereka miliki."
"Bukankah kau terlalu banyak mengatur Tae Jung? Seharusnya Eun Ra sudah menjadi milikku karena aku sudah mengembalikan uangmu dengan utuh, lalu dengan hasil aku mencuri pelelangan waktu itu," sambung Ji Kang mengingatkan posisi Tae Jung saat ini, dimana keberadaan Eun Ra benar-benar membuat masalah terus ada.
Lebih kejam dari yang Ji Kang kira. Sebab, Tae Hyun bukan pria kurang dewasa yang akan mengakhiri hidup seseorang. Terlebih jika itu karena api cemburu atau karena iri terhadap Ji Kang atau Tae Jung.
Sebab sejak dulu, dia tidak begitu perduli sama sekali dengan hidupnya sendiri, bagaimana Tae Hyun perduli dengan kekayaan kakeknya jika dia saja benar-benar tidak bisa diandalkan sama sekali.
"Kak, apa yang sedang kau--"
"Berikan Eun Ra, aku kewalahan melihat perang dingin antara kau dengan Tae Hyun. Aku akan membunuhnya saja agar kau atau Tae Hyun tidak semakin merusak hubungan satu sama lain. Mengerti?"
○○○
"Sayang, apakah benar ini tempatnya? Kenapa kosong," bingung suara istri pada suaminya begitu menyadari jika yang dia dapatkan justru keanehan yang tidak dia inginkan. "Tae Gwang mengatakan jika ini benar alamatnya."
"Tapi, bagaimana bisa tidak ada bangunan yang terlihat di sini," jawab suaminya membuat wanita dewasa tersebut terlihat sangat kebingungan.
"Coba tanyakan pada penduduk sekitar, dan kenapa--" Wanita tadi menggelengkan kepalanya tidak bisa menyelesaikan ucapannya.
"Percaya pada tuhan, yakinkan dirimu. Anak kita pasti masih hidup, percaya padaku. Okey?" Na Ra terlihat menghela nafasnya banyak-banyak untuk mengondisikan dirinya sendiri.
"Tapi, duapuluh dua tahun itu waktu yang tidak mungkin. Jika Kak Tae Gwang mengatakan Eun Ra memang masih hidup aku percaya, tapi jika melihat tempat ini. Aku tidak percaya sekarang, sayang." Tae Joon terlihat tidak begitu yakin juga.
Sebagai suami, kepala keluarga, dan seorang ayah, dia menghilangkan segalanya yang ada dan tidak ada. Contohnya sekarang, Tae Joon berusaha tidak perduli pada pikiran dan isi kepalanya sendiri yang terus bekerja keras meyakinkan dirinya sendiri jika anaknya sudah meninggal.
Nyatanya naluri seorang ayah benar-benar sangat kuat sejak duapuluh dua tahun yang lalu. "Ayo tanya saja, sayang," ajak Na Ra membuat Tae Joon terlihat tenang-tenang saja saat itu. Tae Joon mencari beberapa orang yang tinggal tidak jauh dari perbatasan pedesaan kota Seoul itu ke beberada penduduk.
"Permisi, paman. Bisakah saya menanyakan sesuatu?" tanya Tae Joon dengan menurunkan kaca mobil miliknya untuk bertanya pada pria yang lebih tua padanya.
"Iya, nak. Ada apa?" tanya balik pria tadi dengan sopan karena Tae Joon terlihat sopan juga pada pria tersebut. "Bangunan cukup panjang dan lebar di sudut sana." Tae Joon terlihat menunjuk tempat dimana alamat tersebut ada pada tanah luas dan lapang milik seseorang.
"Bukankah dulunya ada bangunan? Dimana bangunan tersebut, paman?" tanya Tae Joon dengan menguburkan apa yang dia rasakan sejak tadi namun memilih menelannya bulat-bulat.
"Ya, limabelas tahun yang lalu memang ada bangunan tinggi dan luas juga diperbatasan itu, hanya saja dua bulan yang lalu bangunan tersebut meledak. Tidak ada yang tahu terjadinya ledakan, karena semua yang berada di dalam sana mati dan hangus semuanya," jelas paman tadi dengan menggebu-gebu karena dia tahu dan memiliki apa yang menurutnya perlu diperjelas saat itu.
"Meledak?" tanya Na Ra, istri Tae Joon di sampingnya. "Iya, nona. Ada beberapa pemadam kebakaran yang perlu memadamkan kebakaran listrik juga, hampir dua rumah di samping bangunan tersebut langsung terjadi koslet listrik serius. Beberapa ada yang mengira jika ledakan yang terjadi karena gas tempat dimana gas tekanan besar dari kompor itu naik ke atas dan api menyambar."
"Bangunannya ambruk, kebakaran menyala dan semuanya hampir hangus. Ada hampir lima mobil pemadam kebakaran yang datang saat itu. Kejadiannya hampir pukul dua pagi," sambungnya membuat Na Ra menganga tidak percaya dengan cerita yang dijelaksankan padanya.
"Bisakah saya menghubungi pemilik bangunan tersebut? Setidaknya tanahnya. Saya ada keperluan dengan pemiliknya, paman." Pria paruh baya itu memilih memikirkan apa yang berusaha dia keluarkan.
Namun, gelengan kepalanya yang berhasil Tae Joon terima. "Maaf, nak."
"Saya tidak memilikinya, hanya tahu jika pemiliknya bukan orang Korea. Kau bisa bertanya pada Dewan Tanah, jika begitu," jelas paman tadi membuat Tae Joon menganggukkan kepalanya menurut.
"Terimakasih paman, kami pamit. Saya harus ke Dewan Tanah untuk mengurus beberapa, sampai jumpa paman." Tae Joon pamit dengan suara dan maksud baik kali ini.
"Sayang, apa benar jika--"
"Berhenti berpikir yang tidak-tidak, kamu percaya jika putri kita sudah meninggal sejak pertama. Tapi saat aku menemukan Tae Gwang dan kau mendengar faktanya, kau merasa tidak percaya." Tae Joon menjelaskan seberapa dirinya tidak putus asa mencari adiknya dan juga anak perempuannya saat itu.
Baru saja dilahirkan, adiknya membawa Eun Ra cantiknya pergi menjauh dari jangkaunya.
"Jadi?"
"Tidakkah kita harus tidak tahu diri satu kali lagi, Na Ra? Karena jika kita masih menganggap putri kita masih hidup satu kali lagi. Kita akan dipertemukan dengannya bagaimanapun caranya."
Sama-samar Na Ra terlihat menganggukkan kepalanya dengan cepat menambahi dengan pelan.
"Aku akan memaksa diriku sendiri untuk percaya, tapi segalanya memaksaku untuk berpikir yang tidak-tidak karena beberapa faktor."