Barra tidak menjawab. Padangannya seolah kabur disertai serangan sakit di kepalanya.
"Kamu kenapa, Mas? Sakit? Ya, udah. Pulang aja, gih! Kamu kecapean itu, Mas!" tanya Mery bersimpati.
"Gak tau nih, Mer! Tiba-tiba kepala aku sakit, terus rasanya gak nyaman banget badan aku!" ucap Barra sambil memijat dahi dan mengusap tengkuknya yang merinding tidak karuan.
"Ya udah Mas, pulang aja, yuk!" ajak Mery sambil menyentuh tangan Barra yang membuatnya tersentak kaget. Pasalnya, sentuhan Mery membuatnya merasakan sensasi geli di kulitnya.
"Tolong Mery, jangan sentuh aku, aku bisa jalan sendiri!" sanggah Barra menolak bantuan Mery. Tapi, baru saja hendak berdiri, Barra sudah sempoyongan dan brug!
"Mas, Mas kenapa? Mas Barra!" panggil Mery membangunkan Barra. Namun, saat dia tahu Barra sudah tertidur, wajah paniknya berubah menjadi senyuman licik.
"Kena jebakan aku, kan, kamu Mas! Siapa suruh kamu terus nolak aku? Hari ini kamu milikku, Mas!" ucap Mery sambil mengelus pipi Barra yang terlelap.
***
Di dalam kamarnya, Gita sedang asik membaca komik yang baru ia beli tadi sore bersama ayahnya. Angin yang kencang pertanda akan segera turun hujan, membuat Gita beranjak menutup jendela yang masih terbuka.
Prang!
Bunyi kaca pecah yang jatuh berserakan di lantai kamarnya. Gita berbalik kaget melihat bingkai foto pertunangannya dengan Barra jatuh ke lantai. Secepatnya ia memungut selembar foto mereka. Tapi, jarinya terluka terkena serpihan kaca yang berserakan.
"Astagfirullah, pertanda apa ini? Kenapa pikiranku jadi gak tenang gini, sih?" gumam Gita sendiri, "Ya Allah, lindungi kami, terutama Mas Barra yang jauh dariku. Jauhkan dari hal buruk, ya Allah!" pinta Gita dalam doanya.
***
"Gita! Tungguin Mas, dong! Jangan cepat-cepat larinya! Mas capek nih, ngejar kamu terus!" jerit Barra memanggil Gita yang menggodanya sambil berlari. Namun, Barra terjatuh saat mengejarnya.
"Mas! Mas Barra! Bangun dong, Mas! Ayo, Mas kejar Gita lagi! Kalau Mas bisa tangkap Gita, nanti Gita kasih cium!" ucap Gita membangunkan Barra. Tapi, Barra hanya tersenyum bahagia saat Gita terus memanganggilnya untuk bangun.
"Mas! kok diam aja, sih? Mas bangun, dong! Mas Barra! Mas Barraaaa!" jerit Gita membangunkan Barra hingga membuat Barra membuka mata.
Barra membuka matanya perlahan, sembari mengamati langit-langit bangunan tempatnya berbaring. Dilihat sekeliling ruangan penuh nuansa feminism khas wanita.
"Oh, pasti kamar perempuan!" gumamnya santai, "Hah! perempuan?" Barra tersentak sesaat kemudia dan bangkit dari kasur empuk tersebut.
Diperhatikan sekelilingnya dan pandangan tertuju pada bingkai foto di meja nakas, 'foto Mery' gumamnya dalam hati.
Pandangan beralih ke kasur tempatnya tidur tadi dan tangannya tidak sengaja meraba pakaian wanita yang cukup minim. Barra jadi membuka matanya lebar-lebar.
Dari arah kamar mandi dia mendengar suara orang yang sedang mandi. Pikiran Barra langsung kemana-mana. Barra segera memeriksa pakaiannya sendiri yang masih lengkap, hanya terlihat sedikit kusut karena berbaring.
Dengan kesadaran yang belum terkumpul, Barra beranjak bangkit dan membuka pintu kamar lalu menuju pintu utama rumah itu yang terkunci dari dalam.
Barra keluar dengan langkah sempoyongan hingga ke pinggir jalan. Lalu ia memberhentikan sebuah taksi yang melintas. Kemudian Barra menyuruh driver taksi tersebut untuk membawanya ke klinik atau rumah sakit terdekat. Karena ia merasa tubuhnya sangat panas dari dalam dan rasanya aneh.
Sepanjang perjalanan sambil merasakan sakitnya, Barra terus berpikir apa yang sebenarnya sudah dialaminya.
"Kenapa aku bisa dibawa Mery ke tempatnya? Bukannya aku di kantor sedang memeriksa proposal mesin produksi yang baru? Lalu, aku bicara dengan Mery sebentar dan minum kopi. Selepas itu kepalaku pus-," Barra menggantungkan kalimatnya sembari melebarkan mata setelah mengingat sesuatu.
'Aku baik-baik saja sebelum minum kopi yang dibawa Mery, kan?' lanjutnya dalam hati. Sambil memastikan kecurigaannya pada Mery tadi.
Hingga taksi berhenti tepat di depan sebuah klinik umum daerah. Dengan bantuan supir taksi tersebut, Barra langsung diberikan penanganan medis.
Setelah mendapatkan penanganan awal dari dokter dan perawat di klinik, mereka menyarankan Barra untuk ke rumah sakit besar supaya mendapat penanganan lebih lanjut. Dia tidak mengira sakit yang dirasanya ternyata lebih rumit dari kelihatannya.
Barra dinaikkan ke dalam ambulans dan ditemani perawat yang bertugas dari klinik tadi.
Sesampainya di rumah sakit besar, Dokter langsung membaca laporan kesehatan Barra dari pemeriksaan di klinik. Dokter jaga di ruang IGD segera melakukan tindakan medis sesuai diagnosa. Hingga akhirnya demam dan rasa panas dalam tubuh Barra berangsur mereda. Barra bisa mengistirahatkan mata serta tubuhnya untuk tidur dengan tenang.
Hingga keesokan hari di Rumah Sakit Citra Sehat, Barra bangun dari tidurnya. Setelah merasa badannya mulai ringan dan sudah lebih nyaman, walaupun kepalanya masih sedikit sakit, Barra bertanya kepada dokter yang sedang visit ke kamarnya, perihal yang dialami tubuhnya tadi malam.
"Dokter, sebenarnya saya sakit apa tadi malam, Dok?" tanyanya kepada sang dokter.
"Bapak tidak sakit. Hanya saja respon obat perangsang yang Bapak konsumsi mengakibatkan tubuh Bapak mengalami demam dan panas dari dalam. Sehingga bisa membahayakan nyawa Bapak sendiri!" tutur Sang dokter.
"Obat Perangsang, Dok? Saya belum pernah tahu obat itu seperti apa? Dan saya tidak memakannya. Tadi malam saya habis minum kopi sebelum pusing dan pingsan. Mungkin, karena saya lelah akibat sering lembur," jawab Barra jujur.
Dokter menggelengkan kepalanya, prihatin pada sikap polos Barra.
"Mungkin kopi yang Bapak minum mengandung obat perangsang, Pak. Dan obat itu akan terus menyakiti tubuh anda bila anda tidak mengeluarkan 'itu'," ucap sang dokter.
"Keluarin apanya dok?" tanya Adimas polos.
"Bapak sudah berkeluarga?" tanya Dokter yang mendapatkan gelengan kepala Barra.
"Sudah punya pasangan atau pacar?" tanyanya lagi. Kali ini Barra mengangguk lalu menjawab, "Saya punya tunangan tapi di kampung halaman saya, Dok!"
"Aduh, bagaimana menyampaikannya, ya?" gumam dokter.
"Begini ya, Pak Barra. Obat perangsang memiliki zat yang berefek memicu keinginan untuk melakukan hubungan intim, dan bila setelah minum zat tersebut, dorongan akan hubungan intim tadi semakin memuncak dan akan membahayakan tubuh bila tidak mendapatkan pelepasan. Pastinya Bapak sudah mengerti tentang Seks, kan? Jadi saya tidak perlu menjelaskan lebih panjang ya, Pak!" seru sang dokter menjelaskan.
"Iya, Dok. Saya sudah faham!" sahut Barra agak malu.
"Intinya Bapak harus menjaga pergaulan dan lingkungan. Tinggal di kota besar seperti ini harus pintar membawa diri. Semoga lekas sehat, Pak. Saya akan buatkan surat istirahat untuk Bapak!" saran sang Dokter.
"Baik, terima kasih banyak, Dokter!" sahut Barra sebelum dokter tersebut keluar dari kamarnya.
'Mery, aku gak sangka, ternyata kamu gadis seperti itu!' gumamnya dalam hati.
"Alhamdulillah, Ya Allah. Engkau masih melindungi hamba!" ucap syukur Barra sambil mengusap telapak tangannya ke wajah.
Bersambung....