"Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Silahkan tinggalkan pesan setelah mendengar nada berikut! Beep!" terdengar suara operator yang menjawab panggilan.
Sudah puluhan kali Gita mencoba menghubungi nomor telepon Barra namun hasilnya nihil. Gita sudah gelisah sejak tadi malam setelah melihat bingkai fotonya terjatuh.
Gita menghubungi nomor Barra untuk meyakinkan dan meredakan kecemasannya, namun apa yang terjadi? Tidak satupun panggilan diangkat.
Sampai dini hari Gita terus berdoa sambil berusaha mengirim pesan tapi tidak juga mendapat balasan. Sampai matanya sudah tidak lagi bisa membuka. Gitapun tidur membawa kecemasan.
Dan paginya, setelah kepergian dokter yang telah menjelaskan penyebab sakitnya, Barra teringat pekerjaan kantornya yang masih menggantung tadi malam.
Dicarinya telepon genggam yang untungnya masih ada di dalam saku celananya. Dan sayangnya sudah tidak menyala karena kehabisan daya.
Dia berinisiatif meminjam charger ponsel pada perawat yang kebetulan memeriksa cairan infusnya. Setelah daya tersambung, Barra langsung memencet tombol power untuk menghidupkan ponselnya.
Alangkah kagetnya ia melihat puluhan panggilan dan belasan pesan. Dilihatnya-satu persatu siapa pengirim pesan dan pemanggilnya sejak tadi malam.
Barra membuka beberapa pesan dari kantor yang isinya sibuk bertanya tentang dokumen-dokumen pekerjaan untuk hari senin.
Selesai menghubungi beberapa rekan kerja yang bisa menghandle pekerjaannya selama ia beristirahat di rumah sakit, lalu ia memulai membaca pesan dari Gita.
Betapa terkejutnya dia membaca setiap isi pesan yang Gita kirim untuknya. Ternyata apa yang dialaminya tadi malam, sampai dirasakan juga oleh Gita.
Barra menutup aplikasi pesan dan ia beralih ke daftar favorit panggilan telepon yang ada di layar ponselnya 'GITA SAYANG'
Barra menunggu Gita mengangkat panggilan teleponnya. Namun, setelah beberapa saat tidak mendapatkan jawaban, ia memutuskan untuk mengakhiri panggilan karena berpikir, mungkin Gita sedang sibuk membantu ibu di rumah karena ini adalah hari libur. Lalu Barra memutuskan melanjutkan istirahatnya lagi dengan tenang.
Di pinggir lapangan, Gita dan Surya tengah beristirahat sambil menenggak air putih di botol yang dibawa mereka dari ruma pagi tadi.
Ternyata Gita bukan membantu ibunya di hari libur ini. Gita malah ikut Surya latihan silat yang rutin diikutinya.
Setelah solat subuh, Gita tidak tidur lagi. Gita membantu ibunya mencuci piring, membersihkan rumah dan menyapu halaman. Lalu Gita meminta izin untuk ikut menonton Surya latihan silat. Tentu saja Ibunya mengizinkan.
"Fajar mau ikut sama Mas, Mbak juga?" tanya ibu.
"Gak ikut, Bu! Nanti bosan!" jawab Fajar singkat karena Fajar ingin melanjutkan mimpinya lagi sehabis solat.
"Loh, Gita aja yang rajin ikut gak pernah bilang bosan?" tanya ibu heran.
"Ya, gak tahu, Bu! Ibu kayak gak kenal Mbak Gita! Mbak Gita, kan, tomboy. Mirip laki-laki kesukaannya!" jawab Fajar malas karena ingin segera tidur.
Fajar dan Ibunya tidak tahu saja, yang dilakukan Gita di sana. Bukannya jadi penonton, Gita malah sudah menjadi pengajar murid-murid baru setingkat kelas dua SD.
waktu istirahat seperti ini, Gita kembali menyalakan ponsel yang diambilnya dari dalam tas. Ia melihat ada banyak panggilan tidak terjawab sebanyak tujuh kali dari 'Calon Imam'. Langsung saja, Gita mengetuk simbul telepon di sana.
"Assalamu'alaikum, Gita!" jawab Barra di seberang panggilan.
"Wa'alaikumsalam, Mas! Mas ke mana aja sih tadi malam? Gita takut, Mas!" tanya Gita bertubi-tubi.
"Mas gak kemana-mana, kok. Cuma lupa isi daya batere karena sibuk kerja. Memangnya ada apa, Sayang?" jawab Barra tenang.
"Alhamdulillah. Aku kira Mas Barra kenapa kenapa. Perasaan Gita udah gak enak dari tadi malam. Terus bingkai foto kita jatuh tiba-tiba, jadi pikiran Gita jadi kemana mana," sambung Gita dengan nada lesu.
"Mungkin kontak batin kita, Yang. Mas memang kurang sehat, mungkin karena kebanyakan lembur!" jawab Barra.
Setelah berucap barusan, ponsel Barra bergetar walaupun masih berada di panggilan suara. Dan, di layar ponsel memberitahukan 'GITA SAYANG' meminta panggilan vidio.
Barra menggeser ke atas simbol telepon berwarna hijau tanda panggilan video masuk.
"Mas sakit ap-" perkataan Gita terhenti ketika sadar Barra ada di ruangan berbeda dari rumah mess-nya, "Mas, di rumah sakit? Kenapa, Mas? hiks hiks. Kok gak kabarin Gita sih, Mas?" lanjut Gita sambil menangis.
"Shuut! Udah, Yang. Jangan nangis, loh! Nanti Mas sedih juga, terus gak sembuh-sembuh. Mau gitu? Cup, sayang Mas. Jangan nangis, ya!" ucap Barra menenangkan Gita yang menangis.
Dari arah tak jauh, Surya melihat adiknya menangis sambil menghadap layar ponselnya.
"Git, kenapa nangis?" tanya Surya bersamaan dengan melihat layar ponsel adiknya yang menampilkan wajah Barra sedang berada di rumah sakit.
"Loh, Bar! Kamu kenapa? Kamu sakit? Sakit apa kamu?" tanya Surya yang juga heran.
"Aku cuma kecapean. Mungkin udah waktunya istirahat ini badan, soalnya aku paksain lembur terus, hehe!" jawab Barra sambil tersenyum.
"Jangan gitu juga, Bar! Lembur, ya lembur, tapi juga harus ingat waktu, dong! Kasihan sama badannya! Lihat tuh Gita! Jadi sedih, kan?" Surya mengomel.
"Iya, aku salah. Mungkin harus lebih jaga badan biar gak begini lagi," jawab Barra sambil mengepalkan tangan. Dalam hatinya, ia marah pada Mery yang membuatnya seperti ini.
"Ya udah, istirahat lagi sana! Aku sama Gita ada perlu sebentar!" ucap Surya pada Barra dan berpaling ke Gita, "Ayo, Git, udah telat masuk, nih!" yang dijawab dengan anggukan si adik.
"Mas, jangan terlalu capek kerjanya. Kasihan sama tubuh Mas sendiril. Mas gak sayang Gita, ya? Mau buat Gita gelisah terus mikirin Mas Barra di sini?" tanya Gita memelas.
"Udahan dulu ya, Mas. Gita udah ditunggu Mas Surya. Mas Barra istirahat lagi, ya! Gita sayang sama Mas! Lekas sehat, Sayang. Assalamu'alaikum!" ujar Gita berpamitan. Tidak lupa mengecup dua jarinya yang ditempelkan di layar ponselnya.
"Wa'alaikumsalam. Mas juga sayang kamu, Git!" jawab Barra sambil tersenyum.
Barra mengecup layar ponsel yang sudah padam tadi sambil berucap lirih, "Mas kangen sama kamu. Apa bisa Mas tahan sampai tiga tahun lagi, Gita?" tidak terasa air mata meleleh dari sudut matanya.
Tidak mungkin Barra memberitahukan kebenaran yang dialaminya semalam. Karena dia tidak ingin Gita kesayangannya terus gelisah.
Selain almarhumah ibunya, hanya Gita yang sangat disayanginya. Bukan tidak sayang keluarga, tapi hanya bersama dua wanita inilah dia merasa amat nyaman dan tenang.
Barra bertekad akan membahagiakan dua wanita kesayangannya itu. Dalam setiap doa dan cintanya.
***
Esok harinya di kantin sekolah Gita. Gita kembali menanyakan kondisi kekasihnya. Karena pagi tadi, Gita tidak ingin mengganggu istirahat Barra yang mungkin saja tertidur kembali setelah subuh.
Dengan memakai headset di telinganya agar suara bising di sekitaran kantin tidak mengganggunya.
"Mas sudah makan siang? Minum obat?" tanya Gita.
"Sudah barusan. Kata dokter nanti sore Mas sudah bisa pulang. Tekanan darah Mas juga sudah normal, kok!" jawab Barra dengan senyum.
"Jangan sakit-sakit lagi ya, Mas! Gita sedih karena gak bisa jagain Mas di sana!" ucap Gita lagi.
"Iya. Doain aja Mas sehat terus di sini. Doain juga biar harinya cepet berjalan. Menunggu tiga tahun lagi lama banget rasanya. Mas udah kangen banget sama kamu!" jawab Barra memanja.
Dian dan Anti hanya saling sikut melihat tingkah Gita yang tidak biasa itu. Karena mereka tidak bisa mendengar suara Barra dan hanya mendengar Gita bicara. Padahal kalau mereka mendengar Barra bicara, bisa-bisa mereka menunjukkan ekspresi hendak muntah karena begitu manjanya Gita dan Barra bicara.
"Itu siapa, Yang? Di belakang kamu?" tanya Barra pada Gita saat melihat laki-laki yang melihat ke layar ponsel Gita dari belakangnya.
Siapa, ya?