Chereads / BE THE LIGHT / Chapter 4 - Kami tidak membutuhkan anak seperti mu!

Chapter 4 - Kami tidak membutuhkan anak seperti mu!

"Mereka orangtua mu, kan? Kau ingat, pas sakit asam lambung mu kambuh. Siapa yang paling khawatir? Mama kan?" kata Ryota dengan membujuk.

Alena hanya menggeleng pelan.

"Sekarang sudah beda dok, mama udah nggak seperti dulu," lirih Alena kembali terisak. Ia terus menghapus air matanya meskipun terus keluar. Ryota langsung memeluk tubuh Alena erat. Dia memberikan semangat dan juga dukungan untuk Alena.

Flashback off

•••

Hari sudah sore, Alena diantarkan pulang oleh Ryota. Gadis itu keluar dari mobil dan tak lupa mengucapkan terima kasih pada dokter yang sudah merawatnya selama di rumah sakit.

Ryota tersenyum dan pamit pulang. Setelah memberikan semangat ke Alena, dia langsung melajukan mobilnya. Gadis itu masih menatap mobil itu sampai belok ke pertigaan.

Alena berjalan masuk dengan jantung berdegup kencang, sedari tadi dia mengelus dadanya untuk menetralisir rasa takutnya, dan tidak terlalu tegang. Karena Alena bahkan sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Kevan yang baru saja sampai rumah sedikit terkejut sekaligus senang saat melihat Alena yang baru saja datang.

"Alena?" Kevan berlari mendekat, dia langsung memeluk tubuh Alena dari belakang dengan erat.

"Alena, ke mana aja? Kakak sangat khawatir sama kamu." Kevan melepas pelukannya, dia membalikkan tubuhnya dan mengelus pipi Alena dengan lembut.

"Em, Al-Alena ...."

"Kamu sakit? Wajah mu terlihat sangat pucat," tanya Kevan menatap lekat wajah Alena dengan rasa sangat khawatir.

Ceklek.

Pintu itu terbuka, terlihat wanita paruh baya yang melotot ke arah Alena dengan mengepalkan tangannya.

"Masih ingat rumah kamu?! Saya kira kamu tidak akan kembali lagi ke rumah ini!" bentaknya

"Bu-bukan seperti itu, Ma."

"Terus apa, hah?!" Meika terlihat sangat marah. Matanya menatap tajam Alena. Alena hanya bisa menundukkan kepalanya karena takut.

"Ma, udah! Yang penting Alena pulang dengan selamat," bela Kevan berdiri tepat di hadapan Alena.

"Minggir kamu Kevan! Alena, ayo ikut mama!" Meika mendorong tubuh Kevan sampai tersungkur, tangannya menarik tangan Alena dengan kasar. Kevan yang melihat sang mama menarik paksa Alena pun langsung berdiri, dia memohon pada mamanya untuk melepaskan cengkeramannya.

Meika mengabaikan Kevan dan terus berjalan dengan menyeret Alena kasar menuju kamar mandi. Ia mengambil air dengan gayung dan langsung menyiram Alena.

"Anak tidak tau diri! Udah untung kamu tidak saya buang! Tapi masih berani kabur dari rumah!"

Meika terus menyiram Alena dengan air dingin. Alena hanya diam, dia tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Merasakan air yang sangat dingin, rasanya sangat pedih di hati.

"HEH! KENAPA KAMU DIAM, HAH?!" Meyriska menarik rambut Alena ke belakang, membuat Alena mendongak ke atas.

"Ma, Maafkan Alena. Alena ti-tidak bermaksud untuk kabur dari rumah."

Meika melempar gayung-nya dan mengenai dahi Alena, badan Alena sudah basah kuyup, Alena hanya bisa menangis dalam diam, Meika berjalan keluar dengan membuka pintu kamar mandi dengan kasar.

Saat Meika sudah keluar, dengan cepat Kevan keluar dari persembunyiannya dan langsung memeluk Alena dengan erat. Kevan juga merasakan kesedihan yang dirasakan oleh adiknya itu. Dia juga tak bisa berbuat apa-apa ketika sang mama sudah sangat marah.

Kevan langsung membawanya ke kamar. dia tak peduli pada lantai yang di penuhi oleh genangan air.

***

Seminggu telah berlalu, semenjak kejadian itu, Alena tidak berani untuk keluar kamar, dia hanya keluar ketika tidak ada orangtuanya. Alena masih takut melihat sorot mata sang mama. Kejadian pahit itu terus terlintas pada bayangannya.

Hari ini Alena masuk sekolah setelah seminggu dia izin dari sekolah. Alena mengepang rambutnya dan memakai kacamata bulat miliknya.

Setelah itu, Alena berjalan melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Sorot mata gadis itu sekilas melihat keluarganya yang sedang sarapan dengan damai, bahagia. Mereka seakan-akan mereka tidak menganggap dan tidak merasakan adanya Alena yang belum ada di sana.

Alena hanya bisa tersenyum miris. Sebenarnya dia juga ingin berada diantara mereka, berbagi cerita, berbagi canda, juga tawa. Namun, dengan cepat ia menggelengkan kepalanya, karena tidak mungkin dia bisa merasakan itu.

Kaki Alena berjalan cepat keluar rumah. Tanpa gadis itu ketahui, sedari tadi Kevan memperhatikan adiknya itu, tapi dia hanya bisa diam. Dia ingin membantu Alena. Namun, apapun usaha Kevan akan terlihat sia-sia.

***

"Aku harus membuat hidupku penuh warna, penuh kenangan. Aku tidak ingin meninggal dengan sia-sia."

"Semoga di hari terakhir ku, aku bisa menghabiskan waktu bersama keluargaku."

"Kenapa mereka masih membenci ku? Apa aku benar-benar anak pembawa sial?"

"Apa dengan aku mati semua akan kembali? Mama yang kembali lembut, dan juga papa yang kembali penuh dengan kehangatan."

"Alena!" panggil seseorang dari belakang. Seketika gadis itu menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya ke belakang.

"Kak Kevan? Kenapa?" tanya Alena dengan mengerutkan keningnya menatap kak Kevan, kak Kevan hanya tersenyum hangat.

"Ayo berangkat bareng kakak!" ajak Kevan dengan menaiki motornya. Alena tersenyum lebar dan mengangguk senang.

Alena langsung naik di belakang motor Kevan, dia melingkarkan tangannya di pinggang sang kakak. Perasaannya kembali membaik dengan perlakuan hangat Kevan.

"Cuma Kak Kevan yang masih peduli sama aku. Semoga dia enggak berubah dan tetap berada di samping ku."

"Na, kenapa melamun?" tanya Kevan yang tak sengaja melihat wajah Alena yang melamun dari spion.

"Nggak kok! Ayo berangkat," sahut Alena tersenyum.

Kevan membalikkan tubuhnya dengan memakaikan helm untuk Alena, dia tersenyum dan menepuk pelan helm itu. Lalu, tubuhnya kembali menghadap depan.

Kevan melajukan motornya meninggalkan rumah. Alena yang diperlakukan seperti itu oleh sang kakak hanya bisa tersenyum dengan menatap punggung Kevan, tangannya bergerak mengaitkan helm itu.

Hanya membutuhkan waktu lima belas menit mereka sampai ke sekolah. Namun, Alena meminta untuk turunkan di depan gerbang saja, ia langsung turun dan memberikan helm-nya.

"Belajar yang benar!" pesan Kevan saat mengambil helm itu dari tangan Alena dengan mengelus ujung kepala sang adik dengan lembut. Gadis itu hanya mengangguk sambil tersenyum.

Alena berjalan masuk ke sekolah, ia sedikit menoleh dan melihat Kevan yang masih berada di sana. Kevan melambaikan tangannya, Alena membalas lambaian tangan dengan senyuman manis. Gadis itu kembali melanjutkan berjalan masuk ke dalam koridor sekolah.

Alena langsung masuk ke dalam kelas dan duduk di bangkunya, dia mengeluarkan ponsel untuk menghilangkan rasa bosannya.

Namun, seketika matanya terbelalak lebar, dia sangat terkejut melihat satu pesan di notifikasi dari sang papa.

Alena langsung membuka pesan itu, dia menggigit bibir bawahnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Papa : Kamu sudah bosan tinggal di rumah? Kalau kamu bosan, pergi saja dari rumah. Kami tidak membutuhkan anak seperti mu!