"Aku suka kamu, Rodja." Perempuan itu nampak malu-malu. Angin membelai helai rambut pendeknya. Kulitnya putih mulus, tipikal anak remaja perempuan yang terawat dan terlindungi dari pekerjaan rumah tangga. Sapuan lip gloss merah muda, menambah manis wajahnya. Rodja memperhatikan dia dari ujung rambut sampai ujung kaki. Seperti biasanya, perempuan yang menyatakan perasaan padanya, rata-rata memiliki cara berpakaian yang sama. Lengan seragam sekolahnya digulung sehingga menjadi lebih pendek, roknya juga dipendekkan. Baju dan roknya ketat, entah karena salah ukuran atau dimodifikasi.
Itu adalah pengakuan yang keempat bulan ini. Rodja berpikir mungkin ada baiknya dia mencatatnya. Bulan lalu hanya tiga. Berarti ada peningkatan.
Sebenarnya wajah perempuan ini lumayan. Tapi Rodja merasa, dia masih belum sesuai standarnya.
"Maaf, aku tidak tertarik pacaran denganmu." Itu adalah jawaban yang terlalu jujur, mungkin. Rodja bisa saja mengatakan "Maaf, aku berambisi jadi ranking satu di kelas, jadi pacaran nanti-nanti dulu deh," atau alasan lain sejenisnya.
Tapi biarlah, pikir Rodja. Bukan bermaksud jahat, tapi sudah kepalang dijawab seperti itu.
Perempuan mungil itu masih berdiri terdiam di bawah pohon, di halaman belakang sekolah, dekat lapangan pasir. Hanya bisa menatap sosok Rodja yang punggungnya mulai menjauh. Rodja, yang notabene adalah pemuda idaman mayoritas anak-anak perempuan di sekolah. Seumur hidup, ini pertama kalinya dia ditolak. Ternyata, rasanya ditolak itu sakit, jendral.
***
Riuh suara anak-anak di kantin siang itu. Di meja panjang yang ada di pojok dekat gerobak mie pangsit, anak-anak perempuan itu sibuk mengunyah makanan sembari bergosip.
"Kamu sudah dengar? Mia anak kelas 11, baru ditolak sama Rodja?"
"Mia?? Mia yang manis itu? Serius??"
"Iya, yang itu!"
"Psst ... awas! Jangan terlalu keras!! Arah jam 9, ada Rodja!"
Yang sedang dibicarakan baru saja sampai di kantin, dan langsung duduk di meja seberang, selisih dua baris dari mereka. Rodja duduk bersama Ray dan dua orang teman sekelas Ray, Toni dan Andre.
Anak-anak perempuan yang sedang bergosip itu kembali melanjutkan pembicaraan mereka.
"Kok bisa ya Mia ditolak?"
Mereka kembali curi pandang ke arah Rodja. Yang dipandangi sedang minum teh botol sambil sesekali tersenyum mendengar candaan Ray.
"Udah, jangan diliatin terus. Ntar ngences," ceplos salah satunya diiringi derai tawa.
"Yah dipikir-pikir, kalau Rodja sih bebas mau pilih-pilih. Ganteng, cool, bapaknya pebisnis kuliner sukses, gaul, baca Qur'annya jago pula. Apa lagi kalau bukan calon menantu idaman itu namanya?" Mereka tertawa cekikikan.
"Waktu aku baru masuk sekolah ini, awalnya enggak percaya kalau yang namanya Rodja itu beneran mirip sama Nicholas Saputra."
"Level kayak Mia ditolak. Gila, tinggi banget seleranya. Penasaran kayak apa penampakan pacar Rodja nantinya."
"Penampakan? Emangnya suster ngesot?" Tawa mereka pecah.
Ray melirik ke arah anak-anak perempuan yang sedang tertawa cekikikan di seberangnya.
"Ja, kamu sadar 'kan kalau jadi bahan gosip se-sekolahan?" tanya Ray.
Rodja sedang sibuk mengunyah siomay. "Gosip yang mana?" kata Rodja, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
"Jangan pura-pura bego gitu, Ja. Kamu baru nolak Mia 'kan kemarin?" cecar Ray menyenggol lengan Rodja.
Rodja tetap fokus pada siomaynya. "Oh Mia, yang rambut pendek itu. Iya sih, kemarin," jawabnya singkat.
Ray refleks menjitak kepala Rodja.
"Aww!! Kenapa sih Ray?" protes Rodja seraya mengusap kepalanya sendiri. Toni dan Andre yang duduk di depan mereka berdua, tertawa. Pemandangan orang ganteng dijitak nampak menarik untuk dilihat, bagi anak-anak bertampang standar macam mereka.
Ray menirukan gaya Rodja sambil manyun "Oh ... yang itu ... iya. Kenapa sih kamu enggak cerita sama kita-kita?"
Rodja melanjutkan kembali prosesi makannya dengan tenang. "Soalnya, kupikir itu gak penting."
"Gimana sih? Penting banget itu! Buat jadi modal kami-kami ini untuk deketin kaum hawa yang baru patah hati. Siapa tahu ada yang nyantol, ya 'kan ?" tanya Ray melirik ke Toni dan Andre. Keduanya manggut-manggut, seperti biasa, selalu manut saja dengan 'ketua geng' mereka.
Toni menimpali dengan nada memelas, "Iya Ja. Bagi-bagi rezekilah sama teman-teman jomblomu ini."
Rodja cuek dan tetap meneruskan makannya. "Sebentar lagi bel masuk. Mending kalian buruan makan."
Tiba-tiba Ray melotot dan menepuk kedua telapak tangannya. "AHA!"
"Malam ini di HR setelah jam 10 ada DJ Corry! Tau 'kan? Yang cantik dan seksi itu!" kata Ray sambil memberi isyarat tangan menyerupai dua buah pistol diarahkan ke Rodja.
Semuanya menatap Ray. Toni dan Andre terlihat bersemangat, sementara Rodja berkomentar datar, "Oh ... yang itu. Yang hobi nyiram badannya pakai air, 'kan?"
Toni dan Andre refleks tertawa. Ray tersenyum kecut, tak terima idolanya diledek. "Lagakmu, Ja. Kamu juga suka 'kan pas adegan itu. Jangan pura-pura dalam tempurung gitulah," ujarnya seraya menyenggol lengan Rodja.
"Aku 'kan gak ngatain dia. Cuma mastiin, bener gak yang suka siram badan pakai air? Soalnya aku suka mikir, jangan-jangan dia sebenarnya belum mandi, dan baru mandi malem-malam di atas panggung," jelas Rodja enteng, kembali terdengar tawa berderai dari Tony dan Andre.
Ray cemberut. Rodja tersenyum usil. "Iya iya. Aku ikut nanti malam," kata Rodja, membuat Ray sumringah.
Setelahnya Ray tidak bisa berhenti menceritakan aksi panas DJ Corry di sebuah club yang didatanginya bulan lalu. Toni dan Andre sesekali menimpali, sementara Rodja tetap sibuk dengan makanannya.
TING TONG TING TONG! Bel tanda masuk kelas berbunyi.
Ray panik "WADUH! Ketoprakku masih setengahnya!"
Toni dan Andre buru-buru menyelesaikan mie pangsit mereka yang masih tersisa sepertiganya.
Rodja berdiri dari kursinya. "Aku duluan ke kelas."
Ray sewot. "Tega kamu pergi duluan, Ja!"
"Hahaha ... kubilang juga apa. Keburu bel, 'kan?"
***
Rodja mengambil tas ransel sebelum dia turun dari mobil starletnya. Dia baru saja tiba di rumah menjelang sore. Mang Pardi sedang menyiram tanaman di halaman depan.
"Mang, Papa belum datang?" tanya Rodja.
"Belum, Mas," jawab Mang Pardi. Rodja merespon dengan anggukan, lalu masuk ke rumah dari pintu garasi.
Papanya belakangan semakin sibuk. Rodja sebenarnya tak keberatan kalau Papanya mulai men-training dia untuk menjadi penerus bisnis sedari sekarang. Tapi Papanya bersikeras menunggu setelah Rodja lulus SMA. Usaha Restoran Sea Food di daerah Lebak Bulus awalnya dirintis neneknya Rodja, ternyata berkembang. Setelah kakek neneknya meninggal, Papanya meneruskan usaha kuliner itu, yang saat ini sudah ada tiga cabang di Jakarta yang beroperasi. Rencananya akan dibuka cabang di luar Jakarta, tapi kemungkinan masih beberapa tahun lagi.
Rodja menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap kipas angin kayu yang barusan dinyalakannya. Dia tidak begitu suka udara AC, membuat kulitnya menjadi kering. Biasanya Rodja menyalakan kipas angin dan membuka lebar-lebar jendela geser di kamarnya. Di mobil pun lebih suka membuka jendela dan membiarkan angin masuk.
Rodja sudah kelas dua belas sekarang. Dia tidak merasa terpacu mengejar gelar akademis. Papanya yang nampaknya ingin dia kuliah dan setidaknya mendapatkan gelar S1. Dia berpikir, kalau pun nantinya dia kuliah, semestinya karena dia menyukai bidangnya dan bukan karena semata mengejar gelar. Bisnis, adalah satu-satunya yang terpikirkan, mengingat dia akan meneruskan usaha papanya.
Rodja tak begitu ambil pusing dengan ranking di kelas. Biasanya rankingnya kisaran belasan, antara 11 sampai 15. Tak apa. Dia tidak mau melelahkan dirinya dengan les-les tambahan seperti yang dilakukan beberapa temannya. Dan lagi, dia sudah membuat perjanjian dengan Papanya.
'Papa tidak akan membatasimu, Rodja. Terserah kamu mau ke mana, tapi setidaknya, satu jam dalam sehari. 1 jam saja, kamu luangkan waktumu untuk mengaji.'
Rodja segera bangkit dari kasurnya, menuju kamar mandi. Sebaiknya dia segera mandi, sebelum Pak Sholeh guru ngajinya datang.
***
Rodja tengah memarkir mobilnya di basement. Setelah mematikan mesin, dia melirik jam tangannya. Pukul 22.10. Terlambat 10 menit tak masalah. Ini 'kan bukan acara pelantikan siswa teladan oleh bapak kepala sekolah.
Malam ini ia sedang berada di Basement HR, salah satu tempat dugem (dunia gemerlap) ternama di Jakarta. Tadi dia berangkat sekitar pukul 9, dan saat dia berangkat, Papanya belum juga tiba di rumah.
Parkiran basement terlihat cukup padat, pasti karena ada DJ siapalah itu, yang kata Ray cantik dan seksi. Sebenarnya Rodja tidak begitu hobi berada di ruangan yang sesak penuh manusia berjejalan. Juga dengan asap rokok dan bau alkohol di dalam. Tapi dia tahan semuanya. Itu semua dianggapnya sebagai bagian kecil, efek dari kepopulerannya di sekolah. Suatu hari seorang anak lelaki populer bernama Ray, masuk ke dalam hidupnya, lalu tiba-tiba saja ia menjadi bagian dari kelompok mereka, dan ... di sinilah dia sekarang.
Rodja menaiki tangga yang dilapis karpet merah. Dia memasuki sebuah koridor yang redup, dengan beberapa spot light dari langit-langit, dan lampu redup dari lantai. Ada beberapa orang yang lalu lalang di koridor itu. Dua orang perempuan cantik lewat dari arah depan. Keduanya mengenakan make up tebal, dengan glitter ungu di ujung kelopak mata mereka. Rambut mereka dibiarkan terurai bergelombang. Yang satu memakai baju terusan berwarna merah menyala, panjangnya sampai mata kaki, tapi belahannya sampai ke paha. Temannya memakai baju terusan pendek putih di atas lutut.
Mereka berdua tersenyum pada Rodja. Si perempuan berbaju merah berkata dengan nada menggoda "Hai ganteng." Rodja membalasnya dengan senyum. Setelah mereka berpapasan, keduanya tertawa cekikikan di belakang Rodja. Masih terdengar sayup komentar perempuan yang berbaju putih. "Mirip Nicholas Saputra ya? Versi ABG."
Seringkali jika ada perempuan yang agresif menggodanya, Rodja agak takut, tapi dia berusaha terlihat cool. Secara fisik tentu saja sebagai lelaki normal, dia tertarik pada mereka. Tapi justru itu. Dia khawatir jika memperlihatkan ketertarikannya dengan jelas, dan merespon mereka dengan keagresifan yang sama, mereka akan mejadi lebih agresif. Rodja tidak yakin sanggup menahan dirinya, jika itu terjadi. Papanya dulu pernah melakukan kesalahan itu. Tapi dia tidak mau 'itu' terjadi pada dirinya. Setidaknya, dia berusaha.
Di ujung koridor ada sebuah pintu kayu dengan ukiran modern. Pintu itu terbuka, dan mulai terdengar suara dentuman musik dari dalam. Dua orang lelaki dewasa bertubuh bidang, berdiri di samping pintu masuk, sambil memegang lembaran tiket. Salah satu dari lelaki berkaca mata hitam itu melihat Rodja, seperti memastikan apakah Rodja membawa tas atau tidak. Setelah dilihatnya Rodja tak membawa apapun kecuali ponsel dan dompet di kantong jas berwarna krem mudanya, Rodja dipersilakan membayar tiket masuk. Selembar uang seratus ribu rupiah, ditukar Rodja dengan secarik tiket. Tiket itu berwarna dasar biru muda dengan foto DJ Corry yang sedang memutar disc, mengenakan jaket jersey sporty yang agak ketat.
"Silakan masuk," kata sang penjaga pintu.
Rodja melangkahkan kaki ke ruangan yang seolah terpisah dari dunia nyata di luar. Penerangan redup, musik berdentum-dentum seolah mengetuk hingga relung dada, asap rokok beterbangan di udara.
Dunia yang tadinya tak pernah dijamah Rodja. Tidak sebelum dia mengenal seorang Ray.
Dunia gemerlap, kata mereka.
***