Chereads / RODJA (TAMAT) / Chapter 2 - Bagian 2 (Dunia Gemerlap)

Chapter 2 - Bagian 2 (Dunia Gemerlap)

Rodja memasuki ruangan, dan musik terdengar lebih keras. Orang-orang berkerumun dan berteriak di bawah, dan di atas panggung rupanya DJ Corry sudah memulai aksinya. Rodja berjalan ke area duduk. 'Biasanya Ray akan memilih sofa merah yang di pojok ... sana,' tebak Rodja dalam benak.

"Ja!!" Terlihat Ray melambaikan tangannya dari arah yang ditebaknya. Rodja tersenyum dan menghampiri mereka. Toni dan Andre sudah ada di sana dengan ada dua orang teman Toni, ikut bergabung bersama mereka. Setelah Rodja dikenalkan dengan dua anak itu, dia pun duduk di sofa, di samping Ray.

"Sudah lama di sini?" tanya Rodja.

"Belum kok, baru lima menit yang lalu. Ini DJ-nya juga baru mulai."

Wajah mereka saling mendekat setiap mau bicara, karena volume musik cukup keras. Tak lama kemudian muncul seorang perempuan cantik mengenakan baju pelayan ketat dengan atasan berwarna hitam jaring dan rok mini silk hitam. Dia membawakan nampan hitam berisi beberapa makanan cemilan di atasnya. Ada tiga kotak french fries dan dua kotak chicken strip dengan saus sambal.

Rodja terlihat bingung "Oh ... kamu sudah pesan makanan?"

Pelayan itu meletakkan satu persatu piring di atas meja. Ray menyomot beberapa potong kentang goreng, sambil menjawab, "Lumayan buat dicemil sambil ngobrol. Ayo Ja, makan."

"Thanks." Rodja menyantap beberapa kentang goreng.

"Rodja, Ray bilang papamu pemilik restoran Sea Food di daerah Lebak Bulus ya?" tanya Rizky, teman Toni.

"Iya," jawab Rodja seraya mendekat ke Rizky, agar jawabannya terdengar jelas.

"Yang dekat pom bensin itu bukan?" tanya Rizky lagi.

Rizky menatapnya kagum. "Aku pernah makan disana, enak masakannya, tempatnya juga bersih, aku suka."

"Syukurlah kalau kamu suka. Kami ada cabang di Kelapa Gading dan Meruya," kata Rodja, dengan senang hati merangkapkan diri sebagai marketing restoran keluarganya di tempat dugem ini. Sekali dayung, dua pulau terlampaui.

"Ooh ... ada cabang juga? Terus gimana rencanamu? Setelah lulus mau lanjut kuliah, atau meneruskan usaha papamu?" tanya Rizky penasaran.

"Sepertinya aku mau meneruskan kuliah, tapi sambil di-training sama Papaku."

"Nanti ikut Ujian Negri? Atau masuk Swasta?"

Ray memberi isyarat tangan seolah memisahkan percakapan mereka "Woo ... hohoho ... sebentar ... sebentar. Kita di sini untuk bersenang-senang. Apa bisa kita tidak membahas ujian? Aduuuh bikin perut mulas aja," komentar Ray disambut tawa teman-temannya.

"Kamu mau turun sekarang?" tanya Toni pada Ray. Mereka melihat kondisi di bawah. Sebagian orang berteriak dan berdansa mengikuti irama yang dimainkan DJ.

"Ah nanti sajalah. Se-jam lagi, nunggu 'panas'." Ray memberi penekanan pada kata 'panas' sambil melirik nakal. Mereka tertawa, sama-sama mengerti 'panas' yang dimaksud.

Ray meneguk air mineral, lalu meletakkannya di meja. "Oh ya. Tadi siang di koridor aku ketemu si Prapto."

Toni dan Andre nyengir. Mereka semua tahu kalau Ray tidak suka dengan anak kelas 12-10 yang namanya Prapto. Sebenarnya tak ada yang salah dengan anak itu. Dia hanya anak yang selalu nampak kikuk, berkacamata tebal, selalu ranking satu di kelasnya, dan dekat dengan para guru. Tak ada yang salah. Salahnya hanya satu : tidak disukai Ray.

"Prapto kenapa?" tanya Toni.

"Dia jalan di koridor sambil bawa setumpuk buku, mungkin disuruh guru," kata Ray dengan santai menyandarkan tubuhnya di sofa. "Isengku kumat. Kujegal kakinya. Buku-buku itu jatuh berserakan di lantai, dan kacamatanya retak."

Toni dan Andre spontan tertawa. "Kejam banget kamu Ray. Kasihanilah dia. Kenapa selalu dia yang kamu bully?" tanya Toni, masih sambil tertawa.

Rodja diam saja. Sejujurnya dia tidak pernah suka dengan kelakuan Ray yang hobi mem-bully anak-anak tertentu di sekolah.

"Yah enggak apa-apalah kalau Prapto. Itu memang sudah takdirnya. Ya enggak, Ja?" tanya Ray tertawa sambil menyenggol lengan Rodja. Yang ditanya hanya nyengir kaku.

Ray terus menerus menceritakan kejadian-kejadian yang menurutnya lucu tentang Prapto, dan terkadang disambut tawa oleh Toni dan Andre.

Tiba-tiba tiga perempuan cantik, berdiri di dekat mereka. Kulit mereka putih cerah, mengenakan terusan pendek di atas lutut. Dan seorang yang tubuhnya paling seksi di antara mereka, menatap Rodja sambil bertanya, "Maaf ... kami lihat sofa di sini masih ada yang kosong. Apa kami boleh bergabung?"

Rodja menoleh ke arah perempuan itu. Bajunya sangat minim dengan kerah sangat rendah. Lekuk tubuhnya lekat ketat dibalut baju terusan berkilau berwarna perak. Rodja terpana melihatnya.

Ray menyikut lengan Rodja, dan akhirnya Ray yang menjawab "Oh! Boleh doong ... silakan ... silakan duduk!" Ray, Toni, Andre dan yang lain terlihat sumringah, bagai melihat sumber mata air di padang tandus. Sementara Rodja masih menatap perempuan itu lekat.

Ray menyeret tangan Rodja sambil tersenyum "Ja, kamu geser ke sini dong duduknya." Perempuan yang paling seksi itu duduk di samping Rodja. Seorang perempuan temannya, duduk di antara Ray dan Toni. Dan seorang lagi duduk diapit Rizky dan Yoseph.

Mereka saling berkenalan. Perempuan di samping Rodja bernama Vira. Dan dua orang temannya bernama Shanty dan Ria. Lama-kelamaan mereka mulai akrab. Ray dan lainnya sibuk mengobrol dengan Shanty dan Ria, yang posisi duduknya lebih dekat dengan mereka.

Rodja merasa tegang duduk di samping Vira, tapi tetap berusaha terlihat tenang. Vira menggeser posisi duduknya mendekat ke Rodja, hingga paha mereka bersentuhan, hanya balutan kain yang membatasi kaki mereka berdua. Rodja bersyukur dia mengenakan celana panjang. Jantung Rodja berdebar, gelisah, pura-pura sibuk dengan minuman lemon tea-nya.

"Jadi ... Rodja. Nama kamu Rodja, 'kan?" tanya perempuan itu dengan suara yang di telinga Rodja terdengar seksi.

Rodja meletakkan gelasnya perlahan, dan meneguk habis minumannya. "Iya," jawab Rodja singkat, seraya tersenyum pada Vira yang terlihat sangat cantik dengan bentuk wajah oval, bibir sensual dengan lipstik merah marun, rambut lurus terurai hingga ke dada, dan antingnya berbentuk tali lentur menjuntai berwarna perak, senada dengan bajunya.

"Kamu bilang tadi, kalian anak SMA?" tanya Vina dengan nada seolah tidak yakin.

"Ya," jawab Rodja singkat. Dia mulai merasa seperti robot yang di hadapan perempuan cantik ini, hanya bisa menjawab dengan jawaban sama : 'iya.'

"Enggak nyangka. Kukira kamu anak kuliahan juga," kata Vira yang ternyata adalah mahasiswi, begitu juga dengan dua orang temannya. Vira merubah posisi duduk. Kaki kanan ditopangkan ke atas kaki kirinya. Baju terusannya yang sudah pendek terlihat lebih pendek lagi, tertarik ke arah pinggang. Lengan kiri Vira direbahkan ke sandaran sofa di belakang. Rodja mulai berkeringat dingin, debaran jantungnya makin tak keruan.

Tangan kanan Vira menyentuh lengan kiri Rodja dengan lembut dan merangsek menghampiri Rodja. "Kamu kelihatan lebih dewasa dari umurmu, Rodja. Tampangmu juga ... ganteng banget. Cool. Aku suka," bisik Vira. Rodja menelan saliva susah payah.

Mendadak wajah Ray muncul di depan mereka berdua. "Emm ... maaf ganggu. Kalian mau minum apa? Minuman kita sudah habis di sini. Tenang saja, biar aku yang traktir," ucap Ray menepuk dadanya. Seperti biasa, Ray yang bergaya bos, selalu membelikan makanan dan minuman untuk teman-teman nongkrongnya.

Vira mengibas rambutnya. Tersenyum sambil menjawab lancar, "Vodca."

Wajah Ray terlihat bersemangat, lalu melihat ke arah Toni, Andre dan yang lainnya "Nah! Mumpung kita kedatangan teman minum yang cantik-cantik, gimana kalau kita pesan bir? Atau mau whisky ?" Mereka akhirnya setuju memesan bir, kecuali Rodja yang nampak galau.

Rodja menepuk pundak Ray. "Ray, aku lemon tea aja ya."

Ray memukul lengan Rodja. "Kamu gimana sih? Kami mau pesan vodca dan bir, kenapa kamu malah lemon tea? Yang kompak dong, Ja!" Mata Ray mendelik dan memberi kode supaya Rodja menurut.

Tapi Rodja masih bersikukuh "Aku lemon tea ajalah."

"Ja, ayolah ... ini hari Jum'at. Besok 'kan kita libur. Enggak masalah 'kan kita bersenang-senang sedikit? Jangan terlalu tegang. Sesekali santailah Ja. Kita 'kan harus menghormati tamu," kata Ray dengan mata berkedip.

Rodja menghela napas. "Oke. Sekali ini," kata Rodja mengalah.

Ray menepuk punggung Rodja. "Nah! Gitu dong!" Ray segera memberi isyarat pada seorang pelayan wanita dan memesan minuman.

Mereka kembali mengobrol, dan tak lama kemudian minuman pesanan mereka datang.

Rodja menatap gelas besar di tangannya. Gelas itu terisi setengahnya. Warna cairan bernama bir itu agak kekuningan, dan Rodja langsung tak menyukai aromanya. Dia bisa menciumnya bahkan dari jarak agak jauh.

Ray dan yang lain mengisi gelas mereka hingga hampir penuh, dan sudah mulai meneguknya. Sementara Rodja masih menatap gelasnya. Dia tak percaya akan datang hari dimana dia benar-benar akan meminum cairan ini.

"Kenapa, Rodja? Kok mukamu pucat?" Vira menatapnya heran. Vira pun sudah mulai meminum vodca-nya sedikit.

"Oh ... enggak. Aku cuma ... ." Kalimat Rodja tidak tuntas. Dia ragu menjelaskan kondisinya.

Vira tersenyum menggoda. "Ah ... jangan bilang ... kamu enggak biasa minum?"

Rodja menangkap nada ledekan dalam suara Vira. Apa dia meremehkan aku? Apa dia pikir aku kurang jantan karena tidak biasa minum?

Rodja kembali memasang wajah tenangnya. Sedikit saja ... sedikit saja tidak akan sampai mabuk, kan? Kalau tidak sampai mabuk, tidak apa-apa, kan? Aku akan abaikan aromanya yang memuakkan. Langsung saja telan! GLUK ... GLUK ...

Setelah minum beberapa teguk, Rodja meletakkan gelasnya. Rasanya ternyata tak seburuk aromanya, dan dia merasa tenggorokan dan badannya agak hangat. Pikiran Rodja sibuk. Tunggu dulu ... kalau aku tidak menghabiskan setidaknya se-gelas, Vira akan berpikir aku tidak biasa minum. Kalau begitu sebaiknya mungkin bertahap kuhabiskan sisanya.

Rodja dan Vira kembali mengobrol, tapi kali ini Rodja merasa suasananya berbeda. Rasanya lebih rileks dan hangat. Vira sedang bercerita tentang kegiatan kuliahnya. Rodja berusaha mendengarkan, tapi sulit untuk bisa fokus, dengan begitu luas aurat yang terlihat. Rodja kembali mengambil gelas dan meneguk isinya beberapa kali.

Setelah isi gelas hampir habis, Rodja merasa kepalanya lebih ringan. Sekarang Vira bercerita tentang mantan pacarnya. Kelihatannya perempuan ini senang berbicara. Atau jangan-jangan dia sudah mulai mabuk? pikir Rodja yang berusaha mendengarkan sambil tersenyum.

"Bayangkan, Rodja. Lelaki brengsek itu meninggalkan aku dengan seorang perempuan kampungan, yang dadanya bahkan rata, mirip laki-laki! Sungguh tidak punya selera!!"

Rodja geli mendengar ceritanya, tapi Vira terlihat serius dan benar-benar kesal. Dia meletakkan gelasnya yang sudah kosong, seolah hampir dientakkan di atas meja. Dia memberi isyarat pada seorang pelayan, dan meminta satu shot vodca lagi.

Vira perlahan melingkarkan tangannya ke leher Rodja, dan wajah mereka berdua sangat dekat. "Aku belum pernah berhubungan dengan lelaki yang lebih muda. Mungkin akan jadi menarik," ucap Vira nyaris berbisik.

"Apa kamu menyukaiku, Rodja?" tembaknya langsung.

Rodja yang mulai dipengaruhi alkohol, merespon dengan anggukan. "Tentu saja. Siapa lelaki yang tidak menyukai perempuan seperti kamu?"

"Maksudku, apa kamu tertarik ingin mencoba pacaran denganku?" tanya Vira seraya mendekat ke tubuh Rodja. Jemarinya menyentuh pipi Rodja, dan tanpa permisi mengecup bibir Rodja, hingga Rodja refleks memundurkan tubuhnya.

Ray dan yang lainnya terlalu sibuk dengan perbincangan mereka, dan nampaknya tak menyadari yang terjadi antara Rodja dan Vira. Dengan santai, Ray setengah berteriak ke arah mereka berdua "Ja, Vira, turun sekarang yuk. Kayanya udah mulai seru di bawah." Musik yang dimainkan DJ memang semakin keras, dan iramanya lebih cepat. Terdengar sorak sorai orang-orang yang berdansa, jumlah mereka semakin banyak di bawah.

Rodja terlihat enggan untuk turun. Dia tak pernah suka berdansa dan bernyanyi. "Emm ... aku duduk di sini saja, Ray."

Ray yang nampaknya mulai setengah sadar, hanya menggelengkan kepala pertanda kecewa dengan jawaban Rodja.

"Aku juga mau duduk di sini aja. Kalian turun aja duluan ya," kata Vira pada kedua temannya.

Tinggallah mereka berdua di sofa itu. Teringat kejadian barusan, Rodja merasa salah tingkah. Apa yang dipikirkan Vira? Apakah aneh kalau aku menolak ciumannya?

"Rodja ... apa kamu tidak tertarik padaku?" tanya Vina memecah hening di antara mereka.

Dugaan Rodja benar. Tentu saja Vina akan berpikir begitu, jika Rodja bereaksi menjauhinya. "Bukan ... bukan begitu."

Vira menutup bibirnya dengan ekspresi tak percaya. "Atau ... tadi itu ciuman pertamamu?"

Rodja segera menegakkan posisi duduknya. "T-Tidak!! Itu bukan ... ," jawab Rodja terputus. Walaupun itu benar, aku tak mau dia berpikir begitu tentangku! batin Rodja. Setelah menatap Vira lekat, Rodja menarik tubuhnya dan mengecup bibir perempuan itu, seolah membalas ciuman Vina tadi. Kepala Rodja terasa agak melayang, tapi sepertinya dia masih sadar. Tidak. Aku tidak mabuk, pikirnya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Mereka berdua saling bertatapan. Sorot mata Vina berbeda, ada hasrat yang lebih dari sebelumnya. Bibir mereka saling pagut lebih lama. Lampu redup dan sibuknya orang-orang berdansa di bawah, membuat mereka tidak khawatir. Tidak ada yang memperhatikan.

Tiba-tiba mereka berdua dikejutkan dengan suara DJ Corry, "It's time, guys!" teriaknya. Orang-orang berteriak histeris "Yeaahh...!!" DJ Corry membuka ritsleting jaket jersey-nya, memperlihatkan bikini yang ada di baliknya. Tubuhnya basah oleh keringat. Dia mengambil sebuah botol bir, dan mengguyur tubuhnya. Orang-orang semakin histeris. Musik kembali dimainkan, dan orang-orang di bawah berjoget bak kesetanan. Beberapa perempuan kantoran yang datang masih mengenakan kemeja kerjanya, ikut terpengaruh suasana dan mulai membuka beberapa kancing atas bajunya. Beberapa pasangan berciuman dengan vulgar di tempat dansa, dan juga di area bar.

Rodja menahan napas. Meskipun dia sudah beberapa kali pergi bersama Ray ke tempat seperti ini, dia tetap belum terbiasa.

Vira menyentuh lembut pipi Rodja. "Rodja ... ayo kita lanjutkan di motel dekat sini."

Rodja menatap Vira yang baju dan rambutnya nampak berantakan, terlihat sangat menggoda. Napasnya terasa berat. Aku tidak mabuk. Aku tahu, kalau aku tidak ... belum mabuk. Lalu kenapa aku ... ?

Jari Rodja menyentuh bibir Vira. Dia mulai bimbang, apa mereka sebaiknya ke motel dan menuntaskan semuanya? Teman-temannya biasa melakukan itu 'kan? Kenapa dia tidak?

Mendadak alarm ponsel Rodja berbunyi kencang. Kelopak mata Rodja terbuka lebar. Dia segera mengambil ponsel di kantong jas. Sebuah notes reminder tertulis di layar.

SHOLAT TAHAJUD!

Rodja terperanjat. SRAK! Dia segera menggeser posisi duduknya dan berdiri.

"Ada apa, Rodja?" Vira melihatnya heran.

Rodja berdiri membelakangi perempuan itu, tidak berani menatapnya langsung. "Maaf ... aku tidak bisa. Ada urusan mendadak di rumah. Aku pergi dulu."

Vira terkejut. Tak menyangka akan ditinggal pergi setelah apa yang baru saja terjadi. "Kamu pergi? Sekarang?"

"Aku juga tidak bisa menjalin hubungan denganmu. Maaf." Rodja buru-buru pergi meninggalkan Vira, bahkan tanpa menoleh sedetik ke belakang.. Dia berjalan cepat melewati orang-orang, ke arah pintu. Sementara Ray yang sedang asik berdansa dengan Shanty di bawah, nampak heran melihat seseorang yang mirip Rodja, berlari ke pintu keluar.

"Sebentar ya Shanty," kata Ray permisi pada perempuan itu. Ray berlari mengejar Rodja yang ternyata sudah di koridor. "Ja !!" teriaknya. Rodja berhenti dan menoleh.

"Mau ke mana, Ja ?" tanya Ray terengah.

Rodja mengatur napasnya dan berusaha tersenyum tenang. "Maaf Ray. Aku ada urusan mendadak di rumah. Jadi aku pulang dulu ya. Aku buru-buru, jadi belum sempat pamitan."

Ray merasa Rodja menyembunyikan sesuatu, tapi tetap diiyakannya. "Oh gitu. Oke."

Teringat sesuatu, Rodja mengeluarkan dompetnya "Oh ya. Aku utang berapa sama kamu? Untuk makanan dan minumanku?"

Ray mengibaskan tangannya. "Enggak perlu bayar, Ja! Santai aja."

Rodja sebenarnya merasa tidak nyaman. Ray selalu royal mengeluarkan ini itu untuk teman-temannya. "Tapi aku tidak mau berutang sama kamu, Ray."

Ray tersenyum "Aku tidak pernah menganggapmu berutang. Kita kan teman, Ja."

"Kamu yakin, aku tidak perlu bayar?" tanya Rodja lagi.

"Iya," Ray mengangguk mantap.

"Ok. Thanks. Aku pulang dulu. Bye." Rodja pergi meninggalkannya, dengan langkah kaki panjang-panjang, seperti sedang melarikan diri.

Ray terdiam menatap sosok Rodja dari belakang. Sesuatu pasti terjadi, selama Rodja ditinggal berduaan dengan Vira.

***