Akhirnya Rodja masuk ke dalam mobilnya. Dia merogoh kunci mobil di kantung jas dengan tangan gemetar. Sekali, dua kali, gagal. Akhirnya setelah tiga kali, dia berhasil memasukkan kunci dan men-starter mobilnya.
Aku gak mabuk. Jadi, nyetir no problem. No problem. Piece of cake, pikirnya berulang-ulang, seolah sedang menghipnotis diri sendiri.
Setelah sepuluh menit, akhirnya mobilnya sudah melaju di jalan utama. Rodja merasa lebih tenang, dan mengembuskan napasnya perlahan.
Reminder di ponselnya itu. Sudah lama sekali, sejak terakhir kali Rodja salat tahajud. Dia selalu heran, kenapa dia tak pernah bisa lagi terbangun salat tahajud. Bahkan di hari-hari saat dia sengaja tidur lebih awal. Sudah lama sekali.
Lalu dia mulai men-setting reminder di ponselnya. Reminder itu dipasang bersamaan dengan sebuah notes. Kadang dipasang jam satu, kadang jam dua, kadang jam tiga. Hasilnya sama. Dia tetap tidak bangun. Kalau pun terbangun, refleksnya adalah mematikan alarm lalu kembali tidur.
Namun reminder itu selalu dipasangnya lagi dan lagi.
Dan malam ini, reminder itu telah menyelamatkan dia.
Ah tidak. Tepatnya, Tuhan telah menyelamatkan dia, melalui reminder itu.
***
Rodja akhirnya tiba di rumah. Dia merasal lega luar biasa. Mobilnya sudah diparkir di garasi, dan dia mengunci pintu gerbang dan pintu garasi. Setiap akan pergi larut malam, Rodja memang selalu membawa kunci cadangan, supaya dia tak perlu membangunkan siapa pun ketika dia pulang.
Ruang tamu terlihat sunyi senyap. Lampu dimatikan, cahaya terlihat dari arah tangga ke lantai atas, dan dari akuarium di ruang keluarga. Rodja berjalan hati-hati. Dia baru saja akan naik ke tangga, ketika dia hampir bertabrakan dengan papanya.
"OH!!" Keduanya sama-sama terkejut.
Rodja refleks menutup mulut. "Oh ... Papa sudah pulang?"
Papanya menatapnya heran. "Mestinya Papa yang tanya, kamu baru pulang jam segini?"
"Ehehe ," Rodja tertawa pelan.
Papanya menatap heran. "Kenapa kamu menutup mulutmu?" Dia mendekati wajah putranya. Rodja menjawab gugup, "Ah ... umm ... tidak. Aku ... habis makan bawang, jadi agak ... ."
Di luar dugaan, papanya mendekat ke arahnya dan mengendus. "Bau bir! Rodja! Kamu ... ?"
Rodja menutup sebagian wajahnya. "Pa, maaf. Ini adalah malam yang berat untukku." Rodja menarik nafas dan melanjutkan kalimatnya, "Maaf tadi aku bohong. Iya, aku memang minum bir. Tidak banyak. Aku ... ceroboh. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi, Pa. Bisakah kita bicarakan ini lagi nanti? Aku lelah sekali dan ingin tidur."
Papanya menatap Rodja dan menghela napas berat. " ... sana ke kamarmu. Tidurlah."
Rodja menunduk permisi dan menaiki tangga.
Joni, papanya Rodja, berjalan ke arah dapur, mengambil gelas. Pria itu sangat terkejut. Tak menyangka hari ini akan datang. Hari dimana darah dagingnya melakukan hal yang dilakukannya dulu sewaktu muda. Minum minuman keras. Hal yang disesalinya, bahkan hingga saat ini.
Dan bukan hanya itu. Joni juga mencium aroma parfum wanita, sangat menyengat. Dia harus melakukan sesuatu, tapi sebelumnya, dia perlu minum air putih. Yang banyak.
Air putih segelas penuh diteguknya. Awalnya dia keluar dari kamar ke dapur, karena haus. Dipikirnya Rodja pasti sudah pulang dan sedang tidur di kamarnya. Tak dinyana, ternyata anak itu baru pulang menjelang dini hari. Sungguh terlalu!
***
Kepala Rodja masih terasa mengawang-awang. Dia berbaring di kasurnya. Kamarnya gelap. Lampu sengaja dibiarkannya mati. Hanya ada cahaya dari luar jendela yang tirainya terbuka.
Rodja memejamkan matanya.
Apa aku sudah sholat Isya? ... Oh tidak. Aku belum salat, karena tadi kupikir aku akan menundanya setelah sampai di rumah.
Apa aku boleh salat sekarang? Di bawah pengaruh minuman keras?
Mendadak Rodja merasa jijik. Dia berlari ke kamar mandi dan berusaha memuntahkan semua isi perutnya. Setelah tujuh menit, terdengar suara siraman flush toilet. Pintu kamar mandi terbuka, memunculkan Rodja dengan wajah memerah.
Dia kembali ke kamarnya. Berpikir apakah sebaiknya dia mengambil air wudu dan salat. Tapi dia merasa tak pantas. Malu rasanya. Rodja berbaring di kasur, berusaha tidur, tapi tak bisa.
Aku sudah muntahkan semuanya.
Tuhan ... aku sudah keluarkan kotoran itu dari tubuhku.
Apa aku ... dimaafkan?
Sepi. Hanya hampa yang dirasa dalam kalbunya.
Entah sudah berapa lama, sejak terakhir kali dia merasakan kekhusyukan salat. Dua tahun lalu saat dia belum begitu populer di sekolah, tak begitu penting baginya, pujian dari manusia, dan perasaan ingin dipandang oleh makhluk.
Tapi bahkan saat itu, dia tetap memiliki perasaan iri pada teman-temannya yang memiliki ibu. Di saat berat seperti sekarang ini, akan sangat menyenangkan jika dia bisa meletakkan kepalanya di pangkuan mamanya. Dan mungkin mamanya akan membelai rambutnya.
Membelai rambutku? Bagaimana mungkin itu terjadi? Mama bahkan meninggalkanku saat aku masih bayi.
Dadanya terasa sakit. Seharusnya dia tak perlu mengingat mamanya lagi. Mungkin papanya benar. Mungkin wanita itu bahkan tak pantas disebut dengan panggilan 'Mama'.
Tuhan ... aku janji tidak akan meminum kotoran itu lagi. Aku janji.
Tolong ... jangan tinggalkan aku.
Lagi-lagi hanya sepi yang dirasa. Bulir air mata menetes di pipinya. Remaja itu tertidur kelelahan.
***
Suasana kantin siang hari ramai seperti biasa. Di meja yang paling dekat dengan lapangan, Ray, Toni dan Andre sedang duduk menikmati makan siang.
"Kalian tau Rodja ada dimana?" tanya Ray pada kedua temannya.
"Mungkin di masjid," jawab Toni setelah menelan makanannya.
Ray mengerutkan alis. "Rodja biasa makan di mana ya? Kok dia gak pernah makan bareng kita lagi?"
Toni dan Andre berpandangan. Andre menjawab "Kemarin, Rodja ke luar gerbang. Mungkin dia makan di warung luar sekolah."
Ray terlihat heran. "Makan di luar?" Sudah dua minggu ini, sejak mereka pergi ke acara DJ Corry di HR, Rodja tak pernah membalas chat-nya. Ditelepon pun tidak diangkat. Setiap Ray mampir ke kelas Rodja saat istirahat siang, Rodja tak pernah ada di sana.
Ray menghela napas, kemudian menatap kedua temannya. "Apa kalian tahu, apa ada sesuatu yang terjadi antara Rodja dan Vira, di malam terakhir kita ke HR?"
Toni melihat Ray dengan bingung. "Maksudmu?"
"Yah ... maksudku, malam itu di HR saat kita sedang asik joget, kulihat Rodja lari ke luar. Kukejar. Dia bilang ada urusan mendadak di rumahnya. Tapi kayaknya ada yang aneh. Kutebak, terjadi sesuatu antara Rodja dan Vira. Setelah Rodja pergi, aku cari Vira, tapi ternyata dia sudah gak ada di sofa."
Toni mengusap dagu dengan kernyitan di dahinya. "Hmm ... kalau kulihat, malam itu mereka memang cukup dekat. Eh ... tepatnya, Vira kelihatan agresif. Aku memang sudah nebak, Vira mungkin sudah mengincar Rodja sejak awal. Ya ... seperti biasa, kalau ada perempuan cantik mau gabung ke meja kita, biasanya karena ada Rodja di sana, bukan begitu? Ha ha ha!" Andre ikut tertawa.
Ray mengalihkan pandangannya ke Andre "Kalau kamu gimana, Ndre? Apa kamu perhatiin ada yang aneh dengan mereka?"
Andre menjawab enteng, "Heemm ... sebentar. Ah maaf. Aku sama sekali tidak memperhatikan. Soalnya tanganku terlalu 'sibuk mengurus' Ria. Ha ha ha!" tawa Andre disambut tawa Toni. Ray terlihat agak kesal. Dia merasa kedua temannya ini memang sepasang idiot. Tak bisa melihat bahwa Ray sedang membahas Rodja dengan serius.
Ray tak peduli dan tetap melanjutkan pembicaraan. "Kalian tahu? Aku sering merasa, Rodja terlalu 'serius'. Mungkin ... aku perlu membuatnya sedikit ... santai." Ray mengatakan itu dengan ekspresi nakal di matanya.
Toni dan Andre saling bertatapan. "Kamu mikir apa, Ray?" tanya Toni.
Ray tak menjawab, dan malah balik bertanya, "Dia lagi di masjid, 'kan? Mungkin nanti aku mampir ke sana, menggodanya sedikit."
Wajah Andre terlihat berubah. "Hei Ray, apa pun yang kamu pikirkan, sebaiknya kamu tidak mengganggunya di masjid."
"Lho? Kenapa? Aku cuma pengin bercanda dikit aja. Maksudku 'kan baik. Supaya dia bisa nongkrong lagi sama kita," jawab Ray cuek.
Toni meletakkan sendoknya di piring. "Betul kata Andre, Ray. Sebaiknya kamu gak ganggu Rodja di masjid. Maksudku, bagaimanapun, Rodja berbeda dengan kita, Ray. Dia menganggap serius agamanya. Lhaa ... kalau kita 'kan, memang sudah AMBYAR dari 'sana'nya!" ujar Toni diiringi derai tawa berjamaah dengan Andre. Duo sobat itu saling berjabat tangan seolah baru saja membuat kesepakatan penting.
Ray menatap datar kedua manusia di hadapannya. FIX! Mereka memang Idiot.
***
Wajah Rodja basah oleh bulir-bulir air wudu menetes dari ujung dagu.. Dia berjalan menaiki anak tangga ke teras masjid, lalu masuk ke area salat.
Ponsel dikeluarkan dari kantong celana dan diletakkan di sajadah karpet. Rodja berdiri dan mengembuskan napas. Tadi setelah dia selesai makan di luar, ternyata salat berjamaah sudah selesai. Sekarang tersisa satu anak lelaki di ujung barisan safnya, nampaknya sedang berzikir.
Apa yang salah? Apa? Aku sudah coba menjauhi mereka, tapi kenapa aku masih juga sulit untuk khusyuk?
Rodja juga masih belum bisa terbangun untuk salat malam, entah di mana salahnya. Ia berusaha fokus sebelum mengangkat kedua tangan, takbiratul ihram.
Anak yang duduk satu saf dengan Rodja, baru saja menuntaskan zikir. Dia bersiap bangkit dari duduknya, tapi urung saat melihat seseorang masuk ke area salat berjingkat-jingkat, lalu meletakkan sebuah buku di ujung sajadah Rodja. Setelahnya, anak itu buru-buru pergi.
Rodja menelan salivanya susah payah. Dia melihat dengan jelas, siapa oknum yang meletakkan benda nista di ujung sajadahnya tadi.
Entah apa yang merasuki oknum tersebut, tega nian memajang majalah porno di sajadahnya! Buyar sudah khusyuk yang berusaha dibangunnya.
Seorang anak mendekati Rodja. Setelah cukup dekat, dia terkejut ketika sadar kalau buku yang ditaruh secara mencurigakan itu ternyata adalah majalah porno, dengan sampul foto wanita bule berpose seronok.
Rodja membungkuk ruku. Anak lelaki itu panik, merasa harus melakukan sesuatu sebelum Rodja sujud. Dia segera mengambil majalah itu dan menyelipkannya di bawah karpet di saf belakang Rodja. Dia duduk menunggu Rodja menyelesaikan salat.
Setelah salam, Rodja memutar tubuhnya ke belakang dan menyalami anak lelaki itu. "Thanks," katanya tanpa basa-basi, dengan senyum menghias wajah. "Maaf, siapa namamu?" tambah Rodja.
"Riko," jawabnya seraya membalas senyum Rodja.
Karena sudah tanya nama, Rodja merasa sepantasnya dia juga menyebut namanya. "Namaku --"
"Rodja 'kan?" tebak Riko segera.
"Ah ... kamu sudah tahu?" tanya Rodja sungkan. "Kamu kelas berapa ya?" Rodja lanjut bertanya.
Riko tertawa ringan "Kita satu angkatan. Aku anak kelas 12-5."
"Oh ... maaf aku gak tahu," ucap Rodja merasa tidak enak.
"Santai saja. Aku memang anaknya gak stand out." Riko terkekeh.
Bukan, batin Rodja. Dirinyalah yang mungkin selama ini kurang memperhatikan sekitarnya. Berteman dengan anak-anak yang dicap gaul dan terkenal di sekolah, mungkin membuatnya merasa lebih dari anak-anak kebanyakan. Selain dengan geng Ray, Rodja hanya berinteraksi dengan teman-teman sekelasnya.
"Tadi ada anak yang taruh majalah ini, terus dia pergi buru-buru," kata Riko berusaha menjelaskan duduk perkaranya seraya mengambil majalah asusila itu dari bawah karpet. Dia menggulungnya hingga bagian sampulnya tidak terlihat.
Rodja segera mengambil gulungan itu seolah khawatir ada orang lain melihat dan bisa menimbulkan kesalahpahaman. Nanti disangkanya ada transaksi pinjam-meminjam majalah porno di dalam masjid. Sungguh kenistaan yang teramat sangat.
"Ya. Aku tahu kok siapa," kata Rodja dengan ekspresi kesal. "Biar kukembalikan ke orangnya. Kira-kira gimana cara yang pas untuk ngembaliin ini ke dia? Dilakban ke mukanya, ide bagus kayaknya."
Riko tertawa. Rodja yang ini nampak beda dengan Rodja yang dikenalnya selalu terlihat cool.
Mereka berjalan sambil mengobrol. Riko anak yang menyenangkan diajak bicara. Sebelum kembali ke kelas masing-masing, mereka sempat membuat jadwal makan siang bersama besok.
Rodja merasa, dia harus berterima kasih pada Ray. Si anak bengal itu sudah mempertemukan dia dengan Riko, walaupun dengan cara yang aneh.
***