Tony mendengarkan cerita itu dengan begitu serius. Entah karena Eric yang pandai dalam bercerita, atau ia yang terlalu terpaku pada ceritanya. Yang pasti ia tau, cerita itu begitu menarik.
Semuanya terkesan seperti sebuah karangan, hal yang hampir mustahil terjadi. Tapi raut serius Eric saat menceritakan semuanya membuatnya terasa nyata.
"Ini bukan karanganmu?"
Pertanyaan Tony tidak membuat Eric kesal sama sekali, ia faham dengan reaksi itu karena dulu pun ia juga berfikiran sama.
"Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sama yang kuajukan ke kakak beberapa kali, setiap kali dia merasa sesuatu akan terjadi. Tapi mungkin karena reaksi sebelumnya tidak seheboh saat kejadian yang akan menimpa kami saat itu, aku sama sekali tak percaya", Eric menjelaskan sambil menyeruput teh buatan ibu Tony.
Tony mengerutkan keningnya, ada hal yang sangat ingin ia tanyakan. "Apakah kejadian saat toko itu terbakar bukan kali pertamanya?"
Eric dan Peter menggeleng bersamaan. "Bukan. Sama sekali bukan", ucap Peter.
"Aku tak tau kapan pertama kali untuknya. Tapi untukku, itu sekitar 5 tahun yang lalu. Cukup lama, bukan?", Eric tersenyum menatap Tony.
"Sebenarnya aku tak terlalu memikirkannya saat itu, bahkan bisa dibilang kalau aku muak dengan omong kosongnya. Tapi setelah kejadian saat itu, aku benar-benar memikirkan lagi, kapan aku pernah mendengarkan hal yang hampir sama. Pada saat itu, kami sekeluarga sedang dalam perjalanan tamasya dan kami menggunakan mobil yang sama. Kak Bella yang ada di sebelah kanan tampak begitu senang melihat kendaraan yang melintas dari samping jendelanya, sampai aku bisa mendengarnya bersenandung, entah lagu apa. Tapi kemudian lagu itu berhenti, wajahnya tampak pucat dan matanya melotot dengan sorot ketakutan."
"Peter yang juga menyadarinya dan duduk di sampingnya berusaha untuk menyadarkannya dengan menarik tangannya. Kak Bella sedikit terkejut sebelum berbalik menatap kami. Tapi saat kami tanya, ia bilang tak ada apapun yang terjadi dan ia pun baik-baik saja"
Eric berhenti bercerita, kemudian meminta Peter yang duduk di sampingnya untuk melanjutkannya.
"Kau bisa menceritakan apa yang terjadi setelahnya saat kita pulang", Eric mulai memakan cemilan yang tadi diberikan berbarengan dengan teh.
"Kecelakaan terjadi di tempat yang sama saat Bella bertingkah aneh. Lebih tepatnya kecelakaan beruntun. Ehm..Eric", dengan malu-malu Peter menarik ujung baju Eric yang masih menikmati makanannya.
Kurasa aku bisa faham dengan situasinya, untuk orang seperti Peter yang jarang berbicara dan berekspresi pasti akan sulit jika disuruh menceritakan sebuah kejadian di depan orang yang baru dikenal.
Diluar perkiraan, ternyata memang itulah yang di rencanakan Eric. "Bagus..bagus.. Kamu sudah melakukannya dengan baik", Eric memberikan jempolnya pada Peter, dan Peter pun tersenyum karenanya.
"Baiklah… bolehkah ku lanjutkan?"
Eric pun melanjutkan ceritanya setelah aku mengangguk menyetujuinya. "Saat kita sudah sampai di tempat rekreasi Kak Bella tampak memaksakan ekspresinya, karena memang hanya kami yang tau apa yang terjadi di perjalanan tadi-"
"-Entah kenapa melihatnya seperti itu membuatku merasa tak enak juga, dan itu yang membuatku kesal padanya. Aku yakin Peter juga merasa tak nyaman saat itu, kami ingin mengajaknya bicara, tapi rasanya terlalu canggung. Saat itu, kami tak sedekat itu dengannya."
"Saat di mobil, kami duduk di posisi yang sama saat berangkat. Dan seperti awal pula, di hanya melihat jendela, tapi ekspresinya berbeda. Yang awalnya begitu ceria saat berangkat, tapi saat pulang, hanya wajah cemas yang bisa ku tangkap dari raut wajahnya"
"Mobil kami berhenti sebelum mencapai tempat seharusnya, secara otomatis aku dan Peter melihat ke depan dan beberapa mayat terkapar tepat di depan mobil, darah bercerceran di aspal. Dan saat aku kembali mengingat, saat itu Kak Bella sama sekali tak melihat keluar, ia menutupi wajahnya dengan jaket dan berpura-pura tidur"
"Saat itu kufikir dia benar-benar tak peduli. Tapi setelah dipikir lagi sekarang, mungkin saja dia sedang menangis disana", Eric mengangguk mendengar kalimat dari Peter. Tiba-tiba saja Peter berbicara begitu ia selesai bercerita, mungkin saja karena ia merasa bersalah.
Tony menyurai rambut kepalanya, semua cerita ini masih terasa aneh di telinganya. Tapi cerita si kembar terasa begitu nyata, mungkin dia hanya bersikap normal.
Takkan ada orang yang percaya hal diluar nalar tanpa melihatnya langsung di depan mata.
"Aku tau kau masih belum percaya"
Eric tertawa begitu kencang melihatku yang masih kebingungan.
"Tenang saja, itu wajar kok. Kami dulu juga seperti itu, kan?", Eric merangkul Peter menunjukkan bahwa mereka dulu juga seperti Tony.
Tony berfikir lagi apa yang ingin ia tanyakan, sesuatu masih terasa mengganjal. Kemudian ia ingat apa yg terjadi di rumah tetangga mereka saat itu.
"Saat itu, saat aku bertamu ke rumah kalian, kenapa kalian membuat dia menyapa semua orang? Apa dia tak bisa melakukan semuanya sendiri?"
Kali ini Eric dan Peter melihat satu sama lain, tampak agak ragu untuk menceritakan yang satu itu.
"Kurasa, mungkin karena kemampuan aneh yang dia miliki itu, dia jadi ragu untuk bersosialisaasi dengan orang lain. Jadi, aku dan Peter disini berusaha untuk membantunya membangun kepercayaannya lagi", Peter mengangguk mendengar penjelasan Eric.
"Tak ada orang yang bisa hidup sendiri. Bahkan aku selalu membutuhkan bantuan Eric, meski aku sadar suatu hari nanti pasti akan ada hari dimana aku harus berjuang sendiri"
Sejenak ruangan menjadi sunyi.
Sebuah ketukan di pintu membuat kami semua berbalik menatapnya, ibu sedang berdiri disana dengan senyum sumringah.
"Sayang, ada tamu lagi"
Seorang gadis muncul dari balik punggung Bu Rika, wanita yang menjadi topik pembahasan kita sejak tadi.
"Kak Bella?!"
Bella mengerutkan keningnya, "Kenapa kalian begitu terkejut melihatku? Apakah aneh melihatku keluar dari kamarku?"
Gadis berkacamata itu tampak santai saja masuk ke kamar dan duduk tepat di sebelah Tony. Sama sekali tak terlihat kurang bersosialisasi seperti yang diceritakan si kembar.
"Namamu….ehm", Bella mengingat-ingat lagi memori semalam, "Tony?"
"Ya, itu namaku", Tony mengangguk. Keadaan sedikit canggung sekarang di dalam kamar, karena orang yang sejak tadi dibicarakan ikut duduk di antara mereka.
"Bagaimana bisa kalian seakrab ini padahal kalian baru pertama bertemu?"
"Biasa, kak. Lelaki memiliki caranya sendiri", Eric menunjukkan deretan giginya. Sedangkan Bella justru memandangnya aneh.
Eric, Peter, dan Tony yang masih mereasa canggung sama-sama meminum teh di depan mereka, sedangkan Bella justru mengamati Tony dengan begitu lama.
"Kenapa kau melihatku seperti itu? Kau bisa membuat lubang di kepalaku?!"
"Berhenti bicara omong kosong seperti itu". Dengan wajah datarnya, Bella menasihati Tony yang melebih-lebihkan ucapannya. Tapi seperti yang bisa diduga, untuk Tony yang sudah mendengar cerita tentang Bella, menurutnya Bella lah yang justru berbicara omong kosong.
Tapi daripada mengucapkan apa yang ia fikirkan, Tony memilih untuk mengucapkan hal lain. "Kenapa kau melihatku seperti itu?"
"Karena kita akan bersekolah di tempat yang sama, ayo jadi teman"
"Hah?!"
***